“Ah.. rindu jalan-jalan”
“Pengin ke Jogja, tapi ada jadwal lembur”
“Mau ke Jogja tapi susah banget cutinya”
“Aduh..rindu Jogja”
Curahan dari teman-teman yang sering saya dengar ketika sedang bertemu atau sekedar berbagi kabar dengan saya yang notabene tinggal di Yogyakarta. Rasanya waktu luang yang menipis jadi problem hampir semua orang.
Keadaan terasa terbalik. Saat masih kuliah, gampang banget nyuri waktu buat liburan. Meski kantong pas-pasan, bawaannya gembira. Waktu luang tersedia banyak, mudah atur waktu untuk jalan-jalan. Mau kemana? Kapan? Minggu depan? Ayo! Coba lihat sekarang ketika sudah memasuki dunia kerja, kantong memang aman tapi yakin bisa liburan dadakan? Mau ambil cuti aja butuh banyak pertimbangan. Ya nggak?
Begitu ada teman yang punya kesempatan main ke Yogya, saya langsung ajak dia jalan-jalan seharian. Nggak tanggung-tanggung, perjalanan dimulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Saya jadi ingin menamai perjalanan ini dengan Sunrise to Sunset Trip.
Saya bersama Mba Tika – teman jalan yang datang dari Semarang – berangkat setelah ibadah sholat Shubuh sekitar pukul 5 pagi dari daerah Depok, Sleman. Berdua berboncengan menyusuri jalanan Yogyakarta yang masih lengang. Kami menuju Bantul. Ada beberapa titik lokasi yang memungkinkan melihat sunrise.
Langit cerah dengan semburat jingga menemani perjalanan menuju daerah Dlingo, Bantul. Sayangnya kami melewatkan momen matahari terbit, tapi tak mengapa. Pemandangan yang ada di depan mata tetap indah kok. Saya suka tempat ini karena masih sepi, belum lama tempat ini dibuka sebagai tempat wisata. Bonus, di sana juga bisa lihat kelok kabut putih nan tebal seperti gulali.
Lokasi : Watu Mabur, Dlingo, Bantul
Belum merasa puas, kami bergegas dan mengikuti papan petunjuk menuju Bukit Mojo. Untuk pergi kesana harus melewati jalanan sempit dan tidak mulus. Jalanannya naik turun pula. Sesampainya di pintu gerbang, saya hanya melihat ada 2 motor dan 1 mobil yang sedang parkir.
Yay! Masih sepi. Kami langsung jalan kaki ikuti jalan setapak. Langkah kaki terhenti di tepian jurang. Saya memandang sejenak kabut yang berkelok menyelimuti sungai. Seperti sedang berada di dunia lain. Mungkin ini surgaloka (Okay! Bagian ini berlebihan haha). Ada beberapa titik yang disediakan khusus untuk pengunjung yang ingin berfoto. Pengunjung bisa berfoto seolah-olah sedang di atas sarang burung atau di atas perahu rakit. Ada yang berbayar, ada yang gratis.
Lokasi : Bukit Mojo , Dlingo, Bantul
Saya suka ketika mulai memasuki kawasan hutan pinus. Hawa sejuknya membuat nyaman. Ada beberapa pilihan hutan pinus yang bisa disinggahi. Kali ini saya mengajak Mba Tika mampir Bukit Lintang Sewu, lokasinya tidak jauh dari hutan pinus Imogiri.
Setelah beberapa langkah memasuki bagian dalam Bukit Lintang Sewu, kami meragu. Denah yang dipajang di depan begitu meyakinkan. Kami belum berhasil dibuat terkesima oleh Bukit Lintang Sewu. Bagian dalamnya belum dikelola dengan maksimal, kami sedikit kecewa. Sampai akhirnya kami menemukan tapak buto. Kekecewaan sedikit terobati.
Saya dan Mba Tika duduk sedikit lama di sana. Dari tapak buto, saya bisa melihat Gunung Merapi. Saya juga bisa lihat Gunung Sumbing. Panorama di tempat ini cukup bagus, sayangnya kurang tertata.
Lokasi : Bukit Lintang Sewu, Dlingo, Bantul
Sebenarnya saya tak ada niat untuk mampir ke hutan pinus. Karena Bukit Lintang Sewu tak seindah bayangan, maka saya putuskan untuk ke Bukit Becici. Begitu sampai di tempat parkir, ternyata sudah ada rombongan ibu-ibu yang juga mau masuk. Ramai, kontras dengan suasana di Bukit Lintang Sewu.
Saya ingat sekali, dulu pertama kali kesini belum ada warung. Sekarang malah menjamur. Rupa tempat wisata kadang mudah berubah. Kadang sampai pangling. Semoga pengunjung tak berulah, supaya tempat seperti ini tetap indah.
Hal paling menyenangkan saat jalan-jalan ke hutan pinus adalah bisa mendengar suara serangga. Selan itu sangat sejuk, cocok untuk piknik atau bersantai atau baca buku atau bermeditasi dengan catatan suasana sedang sepi ya. Hehe. Kalau ramai suasananya gaduh. Paling enak kesini pagi.
Lokasi : Bukit Becici, Dlingo, Bantul
Dari Bantul langsung kembali ke kota untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Setelah jalan-jalan ke Bantul yang udaranya dingin, enaknya makan yang hangat-hangat. Saya langsung kepikiran semangkuk soto. Akhirnya soto ayam Pak Man jadi pilihan.
Lapak Pak Man ada di jalan Sagan. Saya sering sarapan di sini. Sotonya punya rasa unik khas Yogya. Isian soto terdiri dari irisan kubis, taoge, potongan perkedel kentang, tempe bacem dan suwiran ayam. Cita rasanya manis. Soto ayam Pak Man paling nikmat disantap dengan sate jeroan ayam dengan bumbu bacem.
Lokasi : Soto Ayam Pak Man, Sagan, Yogyakarta
Perut kenyang, hati tenteram. Kami menyusuri Jalan Kaliurang dan terus mendekat ke kaki Gunung Merapi. Mba Tika sempat terkejut saat kami melewati pintu masuk Ullen Sentalu. Dia tak menyangka bakal diajak kesana. Dia sangat antusias.
Ini adalah museum favorit. Saya belum bosan datang kesini, padahal sebelumnya pernah kesini lebih dari 3 kali. Paling suka kesini pagi hari, masih sepi dan guide dengan leluasa menjelaskan kisah tanpa mengkhawatirkan rombongan lain yang antri di belakang. Namun tidak pada kali ini, meski kami berupaya datang pagi kesini nyatanya parkir Ullen Sentalu sudah hampir penuh. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Ya sudahlah.
Museum ini sangat eksklusif. Pengunjung dilarang ambil gambar selama di dalam museum. Untuk berkeliling selalu didampingi oleh guide. Masing-masing guide punya gaya saat bercerita. Diam-diam saya suka mengamati dan menyimak penjelasan mereka. Kadang saya merasa kurang akan penjelasan mereka. Maksudnya kurang lama jelasinnya. Hehe.
Lokasi : Museum Ullen Sentalu, Sleman, Yogyakarta
Makan gudeg di Yogyakarta sudah terlalu biasa. Saya mengajak Mba Tika makan siang dengan salah satu kuliner hit di Yogya. Dua porsi yammie pangsit tersaji di meja. Tanpa basa-basi kami menyantap mie dengan lahap. Maklum sudah memasuki jam makan siang. Perjalanan kami juga masih panjang.
Semangkuk yammie disajikan dengan topping irisan sayur, potongan ayam, dan taburan dan bawang. Tentunya ada pangsit basah yang sembunyi di balik mie. Kamu juga bisa memesan menu tambahan seperti baso goreng dan pangsit goreng. Hmm… jadi lapar. Hahaha.
Lokasi : Yammie Pathuk, Gedong Tengen, Yogyakarta
Selesai makan, mengaso di kafe adalah ide yang menarik. Dari Yammie Pathuk, kami bergegas ke kawasan pasar Kranggan. Motor berhenti di depan kafe Blanco. Bagi yang tidak bisa minum kopi, ada pilihan menu yang bebas kopi. Saya memesan coklat original dingin. Sedangkan Mba Tika memesan Green Tea Latte.
Saya jatuh hati dengan kafe ini. Membuat nyaman. Surga bagi yang gemar membaca. Koleksi bukunya banyak. Pengunjung bisa menyesap kopi sambil membaca. Ingin sekali bisa duduk di dalam, bersanding dengan rak buku. Namun tak telihat ada bangku yang kosong. Terpaksa duduk di teras. Ternyata leyeh-leyeh di teras bukan sebuah ide buruk, tetap asyik.
Lokasi : Blanco, Jetis, Yogyakarta
Kami meninggalkan Blanco sekitar pukul 4 sore. Kembali turun ke jalanan dan menuju ke arah Klaten – Solo. Kami mau kemana ya? Awalnya kami ke arah Candi Ratu Boko. Kami ingin menyaksikan sunset di Candi Ijo, karena lokasinya berada di tempat yang cukup tinggi. Namun setelah memberi pilihan pada Mba Tika, ia lebih memilih ke Candi Plaosan. Kami ingin melakukan hal yang sedikit berbeda.
Tanpa basa-basi lagi, motor putar balik dan menuju ke arah Candi Prambanan. Candi Plaosan tak terlalu jauh dari Prambanan. Candi ini sedikit tersembunyi, mencarinya harus jeli. Sempat nyasar, untungnya kami bisa kembali ke jalan yang benar.
Kami memarkir motor di tepi jalan, rupanya sudah ada yang menunggu momen indah dengan menenteng kamera. Saya ikut semangat. Langit Yogyakarta sangat cerah. Bagiku, panorama di Plaosan sangat menakjubkan. Saya bisa bercengkerama dengan teman, menyaksikan sunset dan kami tak perlu merogoh kantong untuk mendapatkan ini semua. Gratis!
***
Waktu akan terasa cukup, apabila bisa memanfaatkannya dengan baik. Saya ingin sekali membantu siapapun – yang tak punya banyak waktu – untuk menikmati Yogyakarta. Memanfaatkan waktu sekitar 12 jam untuk relaksasi di alam, menyenangkan perut dengan kuliner enak, mencicipi kafe senyaman rumah, menengok masa lalu lewat museum dan menutupnya dengan menyaksikan matahari terbenam.
Saya merekomendasikan untuk mengendarai motor, karena lebih gesit dalam segala medan. Kami hanya berdua. Untuk bahagia tak perlu banyak biaya. Setuju? Atau kamu punya ide lain kemana saja selama 12 jam di Yogyakarta?
Rincian Biaya :
Watu Mabur
– Parkir : sukarela
Bukit Mojo
– Parkir : Rp 2000
– Tiket masuk : Rp 4000 (berdua)
Bukit Lintang Sewu
– Parkir : Rp 2000
– Tiket Masuk : Rp 4000 (berdua)
Bukit Becici
– Parkir : Rp 2000
– Tiket Masuk : Rp 4000 (berdua)
Soto Pak Man
– Parkir : Rp 2000
– Makan : Rp 23000 (berdua)
Museum Ullen Sentalu
– Tiket Masuk : Rp 60000 (berdua)
Yammie Pathuk
– Parkir : Rp 1000
– Makan : Rp 26000 (berdua)
Blanco
– Parkir : Rp 1000
– Ice Chocolate Original : Rp 24000
– Green Tea Latte : Rp 25000
BBM : Rp 45000
Total : Rp 225000/2 : @ Rp 112500
*PS : Perjalanan ini dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2017, harga bisa berubah sewaktu-waktu