Saat kue keranjang mulai menjamur dijajakan di pasaran atau pun pertokoan, saat itu lah menjadi pertanda bahwa imlek sebentar lagi tiba. Menyantap dan membagikan kue keranjang saat Imlek tiba sudah menjadi tradisi turun temurun yang diwariskan oleh leluhur orang-orang Tionghoa.
Belum bisa dipastikan kapan tepatnya kue keranjang ini hadir di tengah-tengah dunia perkulineran Indonesia. Namun, yang pasti, kue cokelat manis ini dibawa oleh para orang-orang Tiongkok yang migrasi ke Indonesia sejak 1-6 SM.
Dalam membuat tulisan tentang sejarah kue keranjang ini, kami mewancarai pengamat kota Semarang, Jongkie Tio, yang sudah mengenal sejarah perkembangan zaman dari masa ke masa. Jongkie Tio pun menjelaskan kepada kami bahan pembuatan kue keranjang, proses pembuatan, sejarah di balik kue keranjang, dan makna nya.
Kue keranjang disebut juga Nian Gao. Kemudian ada juga yang menyebutnya dodol China atau pun kue manis. Disebut kue manis karena kue ini memang memiliki cita rasa yang manis.
Perpaduan tepung ketan dan gula sebagai bahan dasar pembuatan kue berwarna cokelat. Namun, seiring berkembangnya tren kuliner di Indonesia, kini banyak dijumpai kue keranjang dengan berbagai pilihan warna dan rasa.
Cara penyajian kue keranjang pun beragam. Ada yang memakannya secara langsung. Ada juga yang mengirisnya tipis dan menggorengnya dengan dilumuri telor. Kue keranjang ini pun tahan lama, bisa tahan hingga 1 tahun jika disimpan dengan baik.
Proses pembuatan kue khas Imlek ini juga mudah. Adonan tepung ketan dan gula diaduk-aduk hingga mengental kemudian dikukus. Saat proses pengukusan, dibutuhkan keranjang untuk mengukus adonan tepung dan gula tadi.
Dulu, kue keranjang dikukus dan dibungkus menggunakan daun pisang. Aroma yang keluar pun lebih wangi. Namun, kini, kue keranjang hanya dibungkus menggunakan plastik bening supaya menarik hati.
Saat kami mewawancarai Jongkie Tio, ada kisah menarik di balik sejarah keberadaan kue keranjang. Memang benar, sampai sekarang pun belum tahu kapan pastinya kuliner lengket ini pertama kali diciptakan di Indonesia, namun kue keranjang ini ternyata menyimpan legenda.
Ada dua versi kisah yang menjelaskan asal muasal kue keranjang ini. Legenda tersebut dibawa oleh para orang tionghoa yang bermigrasi di Indonesia.
Pertama, kue keranjang atau biasa disebut Nian Gao ini berasal dari kisah tentang raksasa jahat dan pemuda di sebuah desa di dataran Tiongkok. Diceritakan, raksasa jahat bernama Nian tersebut kerap mengganggu manusia dan segala mahluk yang tinggal di Tiongkok. Tak hanya mengganggu, raksasa jahat ini pun memangsa manusia.
Suatu waktu, pemuda baik hati bernama Gao datang ke desa tersebut. Mendengar perbuatan jahat sang raksasa, Gao memiliki ide untuk mengusir raksasa tersebut. Dia meminta warga desa untuk membuat kue manis yang lengket untuk ditempelkan di depan pintu. Jadi, saat sang raksasa datang ke rumah untuk memangsa warga akan terkecoh dan teralihkan dengan manis dan lengketnya kue tersebut.
Kemudian, kisah lain menceritakan tentang kue keranjang yang tak bisa dijauhkan dari Dewa Dapur. Awal mula cerita kemunculan dewa dapur ini cukup panjang. Suatu hari hiduplah sepasang suami istri yang hidup dengan menjual makanan ringan. Kedua pasangan ini memiliki dua peruntungan yang berbeda. Sang suami selalu merasa dirinya kurang beruntung saat berjualan sedangkan makanan yang dijual istrinya selalu laris manis.
Karena merasa iri dengan rezeki yang didapatkan istrinya, sang suami memutuskan untuk menceraikan istrinya dan melanjutkan usahanya seorang diri. Namun, seiring berjalannya waktu, sang suami mengalami kebangkrutan dalam berusaha. Hidupnya menderita dan terlantar. Di sisi lain, sang istri malah hidup bergelimang rezeki karena kebaikan hatinya.
Suatu hari, sang istri tengah membuka dapur umum untuk para gelandangan. Dia membagi-bagikan makanan gratis. Saat itu, sang suami tak sengaja datang ke dapur umum tersebut untuk meminta sesuap nasi. Mengetahui keberadaan mantan suaminya di dapur umum, sang istri memberikan makanan yang di dalamnya terdapat barang pemberian sang suami.
Lalu, saat membuka makanan tersebut, sang mantan suami tersadar kalau barang tersebut merupakan barang milik istrinya dulu. Merasa malu dengan keadaannya sekarang, sedangkan di satu sisi istri yang dicampakkannya telah sukses, sang suami memilih untuk bunuh diri di dapur umum tersebut.
Arwahnya pun gentayangan. Menghantui rumah-rumah warga. Arwah ini pun yang akhirnya dikenal dengan Dewa Dapur. Setiap tahun sekali, dia pergi ke kayangan untuk melaporkan amal baik dan buruk pasangan yang menghuni rumah yang dikunjunginya. Jika para penghuni rumah tersebut beramal buruk, maka sang dewa akan memberikan kutukan.
Maka, agar Dewa Dapur memberikan laporan-laporan baik tentang kehidupan para penghuni rumah tersebut, warga setempat membuat kue manis sebagai penutup mulut dan melaporkan hal-hal yang manis.
Selain kisah terciptanya, kue manis berwarna cokelat ini pun menyimpan makna yang menarik untuk ditelisik.
Jika diamati, kue yang beredar di pasaran pasti berbentuk bundar. Bukan memanjang, kotak, atau pun segitiga. Menurut Jongkie Tio, kue keranjang memiliki makna khusus. Bentuknya yang bundar melambangkan persatuan. Rasa manisnya pun memiliki makna agar siapapun yang memakan kue ini akan selalu berkata yang baik-baik dan manis. Sedangkan teksturnya yang lengket bermakna agar hubungan keluarga makin erat.
Kue ini pun tak boleh disajikan sembarangan. Paling tidak jangan menyajikannya dalam jumlah 4 karena bagi orang Tionghoa, empat atau shi berarti mati. Dan ini pun bukan hal baik atau akan bernasib sial. Lebih baik menyajikannya dalam jumlah ganjil. Kalau pun akan disajikan dalam jumlah genap, paling baik disajikan 6 buah. Dan yang tak boleh dilupakan, kue keranjang disusun menjulang ke atas dengan makna agar segala doa bisa tersampaikan kepada dewa-dewa di atas.