Sebuah Inspirasi dari Kesuksesan Pelari Indonesia Pertama di Kutub Utara

Hendra Wijaya, asal Indonesia berhasil menyelesaikan kompetisi lari di Kutub Utara. Kesuksesannya memberi inspirasi bagi banyak orang.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto dari Arsip Likeys 6633 2015

Hendra Wijaya, seorang pengusaha garmen asal Indonesia membuat dunia terbelalak. Dia berhasil menyelesaikan sebuah kompetisi lari ultra-trail -lari jarak jauh dalam kondisi sangat ekstrim bernama Likeys 6633Ultra 2015 di Kutub Utara.

Perawakannya kecil, tak ada tampang ‘ganas’ seorang petualang.

Panitia lomba bahkan sempat meragukan keikutsertaannya di lomba, karena dia berasal dari Indonesia, sehingga mungkin tak terbiasa dengan cuaca dingin ekstrim -suhu kutub utara saat itu berkisar antara minus 15 hingga 20 derajat celcius.

Pada akhirnya, dari 27 pelari yang berasal dari 12 negara, hanya 8 peserta yang berhasil menyelesaikan kompetisi, termasuk Hendra.

Berlari seorang diri di Kutub Utara, pelindung mata beku tertutup es, lari selama 30 km tanpa minum karena tutup termos yang membeku sehingga tak dapat dibuka, tak menghentikan langkah Hendra.

Pertama saya mengetahui berita ini, saya tak dapat berkomentar apapun. Dia luar biasa. Seorang pria berumur 49 tahun, berlari sejauh 566 kilometer.

Saya mencoba membayangkan dia berlari seorang diri di tengah hawa yang sangat dingin, dan kondisi mengerikan lainnya, namun dia bisa menyelesaikan semua itu.

Membaca kisah kesuksesannya saya teringat masa awal-awal mendaki.Di pendakian Merapi, saya beberapa kali berpikir, ‘Ini batasku, tubuhku tak kuat lagi, biarlah tak mencapai puncak, wajar tak kuat, baru awal mendaki.’

Pada akhirnya saya tak berhasil mencapai puncak meski beberapa kali disemangati teman seperjalanan.

Wajar batasku disini, baru pertama kali mendaki.’ Kalimat itu menjadi tameng.

Tanpa sadar saya telah menciptakan dinding batas sendiri. Dinding yang bisa menjadi alasan untuk semua yang tak bisa saya selesaikan. Dinding ‘batas kemampuan diri’.

Beberapa orang berkata, ‘jangan memaksakan diri, ketahui batasmu.’

Hal yang perlu diingat adalah, mengetahui batas diri hanya bisa dilakukan jika kita telah ‘melakukan’ usaha maksimal, tak sekadar ‘merasa’ telah melakukan usaha maksimal.

Itulah yang pernah saya lupakan dulu.

Saat di Merapi, hanya ada 2 pilihan, terus lanjut atau berhenti. Saya berpikir, saya mungkin masih sanggup lanjut, namun akhirnya saya memilih menyerah hanya karena merasa ‘wajar, baru pendakian pertama, jangan terlalu ngotot.’

Foto teman-teman di puncak benar-benar iri. Bukan iri tentang keindahan puncaknya, saya iri mereka mampu menyelesaikan yang tak saya selesaikan.

Saat kita dengan mudah menentukan batas kita sendiri, hanya ada penyesalan yang didapat.

Saya tak tahu apa yang ada dipikiran Hendra saat berlari seorang di Kutub Utara. Tak mungkin dia tak lelah, mungkin juga dia sempat berpikir ingin menyerah.

Siapa yang peduli apa yang dia pikirkan, kenyataannya dia menang. Menang melawan diri sendiri.

Perjalanan, petualangan, pendakian bukan pertarungan untuk menaklukan rekor orang lain, apalagi menaklukan alam.

Semua itu adalah pertarungan melawan diri sendiri, bukan untuk menjadi seorang yang jumawa, namun justru menjadi orang yang semakin tahu diri.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU