Setelah hidup di era demi era dunia pendakian, saya amati banyak sekali istilah-istilah baru di dunia pendakian. Salah satu yang paling menggelitik sanubari saya adalah kemunculan ‘pendaki kertas’ yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang.
Bisa dibilang, pendaki kertas adalah mereka para pendaki yang hampir tidak pernah melupakan spidol dan kertas dalam perjalanan mereka. Pendaki jenis ini biasanya akan membuat berbagai pesan mereka kepada teman-teman yang tidak bisa mengikuti pendakiannya dan berinisiatif untuk menuliskan ungkapan perasaannya melalui kertas yang ia bawa.
Sependek pengamatan saya, pendaki kertas mulai mewabah pada tahun 2013 hingga saat ini, jadi sah-sah saja saya menyebut pendaki jenis ini adalah spesies baru. Kalau tak percaya, coba cek di kumpulan foto-foto pendaki lawas ini, tak ada satu pun yang bawa kertas.
Di luar sana, banyak sekali komentar-komentar mengenai jenis pendaki ini. Pro-kontra atas pendaki kertas pun mencuat tajam di dunia pendakian.
Beberapa media sempat membahas secara kritis tentang pendaki yang suka membawa kertas kemana-mana. Yap, kebanyakan media mengolok-olok mereka yang secara sengaja menulis, memfoto, dan meninggalkan kertas-kertas mereka di gunung.
Contohnya artikel dari Kaskus di thread ‘jenis-jenis pendaki kekinian’. Di sini mereka mengupas langsung apa dan siapa pendaki kertas itu. Nampak si penulis menghujat keberadaan jenis pendaki ini.
Begini kira-kira tulisan dalam artikel tersebut:
“Nah, ini nih yang sekarang ini mulai rame dan makin ngehits! Entah ide siapa dan siapa juga yang ngajarin kalau yang namanya naik gunung jaman sekarang itu harus bawa spidol dan kertas! Iya, sepertinya spidol dan kertas ini adalah barang wajib buat para Pendaki Kertas ini.”
“Mungkin juga mereka nggak peduli dengan peralatan survival atau bahkan perlengkapan mendaki gunung yang lain. Mungkin juga para Pendaki Kertas ini merasa bisa survive di gunung cuma dengan bermodalkan kertas dan spidol. Asal bisa selfie sambil bawa kertas, peduli amat meski pulang tinggal nama? Iya nggak?”
“O iya, ngapain juga sih sebenarnya bawa gituan ke gunung? Apalagi kalau ujung – ujungnya kalian buang tuh kertas sembarangan digunung. Mending kalian selfie sambil monyogin bibir deh! Itu jauh lebih keren daripada kalian foto selfie pake bawa kertas, terus dibuang begitu saja.”
Baca juga: Saya Malu Disebut Pendaki Gunung
Ada juga curhatan dari beberapa teman dari sebuah obrolan kecil di kedai kopi di salah satu sudut kota Semarang. Ia mengaku sangat kesal dengan para pendaki spesies baru ini.
“Saya nggak habis pikir, buat apa lho bawa-bawa kertas dan coret-coret begituan ke Gunung. Coba deh pikir aja mereka itu boros, kertas itu berasal dari kayu kan? mereka cuma membuang2 kertas dengan urusan yang gak penting! Gak konservatif banget!”
“Apalagi tulisan-tulisan dalam kertas yang mereka foto itu tulisan yang provokatif, kebanyakan ngajakin naik gunung. Padahal belum tentu orang-orang yang mereka ajak naik gunung itu pendaki yang smart (sering buang sampah sembarangan), belum lagi urusan finansial, mendaki juga bukan kebutuhan primer kan? Buang-bunag waktu!”
“Itu juga, sampah-sampah gunung itu paling juga kerjaan para pendaki alay ini.”
Begitu kira-kira komentar seorang kawan. Agak kurang menyenangkan, tapi itulah komentar orang-orang yang tidak menyukai pendaki yang kerap berfoto dengan kertas-kertas mereka.
Baca juga: 4 Hal yang Harus Direnungkan Pendaki Gunung
Selain para pendaki yang kontra dengan segala hal tentang pendaki kertas, ternyata ada beberapa orang yang mengaku pro dengan pendaki kertas. Karena ini media yang penuh dengan khilaf, demi kemaslahatan dirinya dan mantan-mantannya, saya akan menyamarkan nama teman saya ini.
Jadi, singkat cerita, si ‘anonymous’ ini mengaku memiliki pandangan yang positif pada para pendaki kertas.
“Jangan salah sangka ya, saya rasa beberapa orang itu salah memandang para pendaki kertas ini, mereka itu sebenarnya sekumpulan orang-orang kreatif.. Mereka bebas mengekspesikan diri mereka dengan berbagai pesan yang mereka tulis di kertas. Apalagi mereka sangat sugestif dengan teman-teman mereka yang belum pernah naik gunung dengan tulisan-tulisan mereka”
“kalau soal buang kertas sembarangan menurut aku itu hal yang tidak prlu di khawatirkan, kertas itu tidak berbahaya bagi lingkungan. Kambing aja bisa makan kertas dan gak mati kok!”
***
Lalu, bagaimana sih kita menanggapi komentar-komentar pro dan kontra para pendaki kertas ini? Jalan mana yang seharusnya Kamu tempuh sebagai golongan orang-orang yang juga mencintai foto dengan kertas dan golongan orang-orang yang mengharamkan ke-alay-an para pendaki kertas ini?
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari komentar-komentar pro kontra yang bisa kita ambil bersama adalah:
Pertama, Pendaki berproperti kertas memang orang-orang kreatif, tapi sebaiknya mereka bertanggung jawab dengan ajakan sugestif itu kepada orang-orang yang mereka ajak. Dengan memberikan nasihat sebelum pendakian tentang bagaimana aturan membuang sampah, bagaimana manajemen pendakian, dan apa yang harus dipersiapkan dan dihindari saat pendakian agar salah faham bisa diatasi.
Kedua, meskipun kertas adalah materi yang bisa terurai di alam, tidak sepantasnya membuang kertas yang berisi pesan-pesan itu ditinggal dan dibuang di sembarang tempat.
Ketiga, tidak seharusnya kita para pendaki saling menyalahkan atas segala kerusakan alam yang terjadi di gunung kepada orang-orang tertentu. Lebih baik para pendaki bersama-sama meluangkan waktu bersama untuk sekadar sharing ilmu pendakian untuk kenyamanan bersama.
Baca juga: Saya Malu Disebut Pendaki Gunung (2)