Pentingnya Saling Pengertian dengan Teman Perjalanan

Berkompromi dengan teman perjalanan tapi mengorbankan keasyikan perjalanan kita? Atau menikmati perjalanan dengan bebas tapi mengorbankan teman perjalanan?

SHARE :

Ditulis Oleh: Widarti

Foto oleh SEAtravelblog

Maret lalu menjadi momen penting dalam hidup saya, itu saat pertama kalinya saya ke luar negeri! Saya memutuskan ke Bangkok karena jatuh cinta pada Sungai Chao Phraya dan kuil-kuil megah nan romantis yang ada disana.

Tapi ternyata perjalanan luar negeri pertama tak hanya tentang berisi cerita tentang destinasi-destinasi impian saya, lebih dari itu perjalanan ini membuat saya belajar banyak hal.

Saat itu, awalnya saya hanya ingin solo traveling, namun ada teman lama yang tiba-tiba ingin bergabung. Dengan pikiran baik, saya menerima dia bergabung di perjalanan saya. Saat berencana solo traveling, saya sudah menyusun itinerary yang mengharuskan saya menginap di kos teman -seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di sini, selama di Bangkok. Sehingga, saya hanya perlu mengganti uang listrik dan air selama disana. Namun ternyata teman saya yang tiba-tiba bergabung ini sedang dalam kondisi berpunya atau kaya. Sehingga, ia mengajak saaya menginap di penginapan sekitar Khaosan Road. Tiga hari tiga malam kami menghabiskan sekitar Rp 500.000,-/orang. Jumlah inilah yang membuat saya pribadi kaget, lebih kaget lagi karena pada akhirnya saya harus ikut iuran bersama teman saya membayar biaya penginapan. Kejadian ini mengajarkan saya, kita harus selalu punya plan B bahwa selalu ada hal lain yang mungkin terjadi, salah satunya pengeluaran semacam ini.

Pelajaran yang saya ambil, meski membuat hati tak enak, harus ada kompromi dengan kejadian seperti ini. Saya pribadi tidak ingin tinggal di penginapan, tapi teman saya membutuhkan partner untuk menginap di penginapan, mau tak mau saya harus menemaninya bukan? Tak apa sekali-kali mengalah dan menemani teman saya ini. Toh tidak setiap saat kami bisa bertemu dan jalan-jalan bersama. Teman saya ini bekerja di Medan dan saya di Jogja.

Selama perjalanan, teman saya ini -dia wanita, selalu memakai sepatu dengan hak semacam wedges.

Saya sudah mengingatkan dia, ‘Tidak pakai sepatu flat saja?

Ia menyahut,’lebih enak pakai ini, ada haknya.’

Kenyataannya? Hampir setiap 30 menit kami berhenti berjalan karena teman saya kecapaian. Sekali lagi, saya tak bisa berjalan sendiri atau berjalan lebih dulu. Jadi, saya selalu menunggu dia cukup beristirahat, baru kami berjalan lagi. Untunglah di Bangkok selalu ada tap water di berbagai area publik. Tap water ini yang selalu kami cari ketika pergi ke suatu destinasi. Tap water yang menghilangkan dahaga kami setelah berjalan kaki mengitari Bangkok yang lebih panas daripada Jogja.

Selama jalan kaki itu, saya selalu membaca peta yang saya dapat dari teman baik -sebelumnya ia backpacking di Bangkok selama 7 hari. Namun, teman saya dari Medan ini selalu menggunakan GPS dan Google Maps. Celakanya, handphone kami mengakses internet dari ponsel saya (tethering). Hal itu membuat baterai saya cepat habis.

Sewaktu ia tak bisa upload foto dan video ke Path atau instagram, dengan nada keras dia bertanya, ‘Internetmu mati ya? Aku mau upload nih.’

Dengan kalem saya jawab, ‘maaf baterai tinggal 10 persen, sudah kumatikan dari tadi.’

Saya sendiri selalu memanfaatkan wifi dan colokan listrik di penginapan untuk meng-upload perjalanan saya selama di Bangkok. Menurut saya, lebih baik menikmati tiap langkah di negeri asing dibandingkan selalu asyik dengan gadget setiap menit. Saya harus memenuhi keinginan saya untuk menjelajah kota ini. Saya harus tahu banyak hal, saya harus menikmati suasana kota ini, senyum manis orang-orangnya, suara Bangkok Train Station (BTS) atau semacam MRT di atas kepala saya karena jalur perlintasannya ada di atas jalan utama Bangkok. Biksu yang tiba-tiba muncul di jalan selama saya jalan kaki menjadi salah saut favorit saya di kota ini. Mereka ada di mana-mana, dalam bus, dari balik gang, dari seberang jalan.

Jadi yang terpenting dalam tenggang rasa di perjalanan ialah menghormati partner kita. Sebaiknya kita memenuhi kebutuhannya tanpa mengabaikan kebutuhan kita sendiri. Jika masuk akal, tak apa kita mempertimbangkan usulan yang diajukannya. Jika sudah tak bisa berkompromi, tak ada salahnya kita memilih jalan kita sendiri,  menjadi seorang solo traveler terdengar menarik bukan?

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU