Pendakian Gunung Talang: Menjelajah Alam liar Bukan Piknik

Persiapan fisik dan mental yang kuat menjadi kunci melewati beratnya medan pegunungan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Fransisca Arnoldi

Foto oleh Fransisca Arnoldi

Naik, Pak…?” sapa seorang pendaki pada saya. Nampak dia sedang beristirahat makan bersama kawan-kawannya.
Saya tersenyum mencoba ramah karena masih sedikit bingung. Seingat saya, umur saya tidak terlalu matang untung dipanggil sebagai seorang bapak. Beberapa lama kemudian teman saya yang asli Padang gantian menyapa pendaki lain yang kebetulan berpapasan di jalan.

Pak.. Bu…” Sapanya ramah sambil nyengir karena jarang-jarang bertemu perempuan manis di atas gunung. Akhirnya saya tambah bingung. Bukan saja karena yang disapa adalah sekumpulan anak seumur SMA, tetapi juga mereka yang disapa tampak biasa saja di panggil dengan ‘bapak’ atau ‘ibu’.

Setelah bertanya, akhirnya saya tahu kalau panggilan Bapak dan Ibu itu ternyata memang sekedar sapaan basa-basi khas para pendaki di Sumatra Barat. Sama seperti ‘mas’ atau ‘mbak’ di Pulau Jawa. Karena setahu saya, hanya di Sumatra Barat orang menyapa dengan panggilan ‘pak’ dan ‘bu’ itu.

Percobaan kedua

Hari itu saya sedang diajak seorang teman untuk mendaki Gunung Talang di Solok, Sumbar.  Tahun lalu sebenarnya saya sudah pernah mendaki gunung ini, tapi melewati jalur yang berbeda.

Waktu itu saya melewati jalur yang penuh dengan pacet di sepanjang jalannya. Tak ada kaki yang selamat digigit meskipun sudah memakai kaos kaki, sepatu dan celana panjang. Asyiknya, di tengah perjalanan kami menemukan sebuah air terjun mini yang berbentuk kolam. Dan ternyata air ini adalah sumber mata air panas! Jadilah sejenak kami menikmati air terjun panas ini sembari membersihkan badan dari pacet-pacet ganas yang telah menyebar entah kemana-mana.

Sayangnya, waktu itu saya tidak sampai ke puncaknya karena di pos terakhir kami di hadang hujan lebat yang tiba-tiba. Dan kebetulan, jalur pendakiannya yang berbentuk cekungan ini akhirnya membuat kami seolah-olah berjalan melewati sungai kecil yang deras. Jalur sempit ini ditambah hujan lebat dan banyak kerikil, sudah cukup untuk mematahkan semangat kami untuk menuju ke puncaknya. Baru kali ini saya mendaki gunung yang “kebanjiran”. Dan dipastikan, misi kali ini saya gagal.

Dan sekarang, di gunung yang sama namun jalur yang berbeda, saya kembali mencoba menggapai puncak Gunung Talang.

Shelter Pos 1, Rumah Reyot Alternatif Bagi Para Pendaki yang Tak Bawa Tenda

Jalur kali ini memang sedikit panjang, namun tidak kalah ekstrim dibanding jalur pertama yang saya lewati.

Di pos 1 kami beristirahat di shelter yang berbentuk sebuah rumah reyot yang tidak terurus. Meskipun masih berdiri, rumah panggung ini kehilangan salah satu kaki penyangganya dan setengah dari lantainya. Meskipun begitu, pos ini lumayan bersih dan rumahnya masih mampu menampung 3-4 orang untuk sekedar dijadikan tempat istirahat bagi mereka yang tidak membawa tenda.

Dari pos ini hingga pos terakhir, medannya bisa dikatakan monoton karena hanya melewati hutan yang disertai tanah lembek yang kadang berlumpur. Salah satu teman saya mulai mengganti sendal gunungnya dengan sepatu. Jalur kali ini memang tidak membuat saya sampai harus merangkak seperti jalur pertama. Tapi, jalur yang ini membuat saya harus hati-hati dan bertumpu pada beberapa pohon karena jalannya yang licin dan becek. Terkadang, jalurnya juga tertutupi oleh pohon-pohon besar yang tumbang menghalangi jalan.

Sesampai di pos terakhir, sebuah lapangan luas sudah menanti. Ditambah hidangan beberapa kawah aktif dan sungai panjang yang mengalir di depan mata. Lapangan ini merupakan kawah datar luas yang difungsikan sebagai campground di gunung ini. Di sini, aliran sungai kecil membelah tepat di tengah-tengah. Airnya bersih dan mengalir pelan. Dari campground ini hanya tinggal 30 menit saja untuk mencapai puncaknya. Dan tepat di bawah puncaknya, mengepul asap belerang dari beberapa kawah yang masih aktif.

Puluhan tenda sudah terparkir rapi di sini. Kabut dan sedikit gerimis mulai turun menandakan suhu mulai tidak bersahabat. Mencari air merupakan perkara mudah, tapi siapa yang akan memasak di tengah suhu sedingin ini yang masih menjadi persoalan. Kami bertiga mulai malas-malasan untuk menentukan siapa koki malam ini. Dan akhirnya supaya adil, siapapun yang memasak, semua harus keluar dari tenda. Keluar dari zona nyaman.

Menjelajah alam liar bukan piknik!

Kemegahan alam Gunung Talang. Foto oleh Fransisca Arnoldi

Setelah pagi datang, kami merencanakan summit attack demi melihat sunrise. Namun apa daya, suhu dingin dan sleeping bag merupakan kombinasi sempurna bagi para pelaku hibernasi. Dan akhirnya kami hanya sanggup menuju puncak setelah matahari meninggi.

Meskipun kesiangan, pemandangan dari atas puncak benar-benar membuat saya senang. Perpaduan 3 danau dan awan-awan putih menjadi sedap sedap siang itu. Setelah mencari beberapa spot berfoto akhirnya kami turun karena cemas akan asap belerang yang kian menyebar di sana-sini.

Setelah puas di puncak, akhirnya kami berkemas dan bersiap untuk turun . Sialnya, baru beberapa meter turun, hujan lebat tiba-tiba turun. Karena dirasa tanggung, hujan kami tembus saja sambil berjalan cepat. Dan setelah hujan sedikit reda, kami kaget melihat jalur di sepanjang jalan.

Tanpa ampun hujan telah merombak semua jalan di sepanjang jalur menjadi kolam lumpur raksasa hampir setinggi 30 cm. Mulai dari pos terakhir hingga ke pos 1 jalan hampir didominasi lumpur basah yang tebal. Satu jam pertama, sol sepatu kiri saya mulai lepas. Satu jam berikutnya yang kanan menyusul berikut alas kakinya. Dengan berat hati akhirnya saya menyusul kedua kawan saya yang semula saya tertawakan karena sudah terlebih dahulu bertelanjang kaki. Sepasang sepatu dan 2 pasang sendal gunung telah menjadi korban di Gunung Talang hari itu. Benaman lumpur yang melewati mata kaki telah memperlambat laju kami.

Jadilah kami bertiga menuruni Gunung Talang dengan style ceker ayam selama 4 jam. Benar-benar pengalaman yang mengharukan. Teman saya sampai menangis saking hebatnya, bukan karena terharu, tapi kakinya tertusuk duri dan membentur beberapa akar keras. Licin, basah, becek, luka, memar dan lumpur dimana-mana.

Habis sudah hari itu kami dibantai medan yang menurut saya lumayan ekstrim. Karena baru kali ini saya menuruni gunung bertelanjang kaki. Menuju basecamp pun kami menjadi tontotan bagi pendaki lain karena bentuk yang sudah acak-acakan. Untunglah sebelum pulang ke rumah kami sempatkan untuk mandi dan menghangatkan diri dengan makanan dan minuman.

***

Sesampainya kami di basecamp, ratusan pendaki sedang memarkir kendaraan dan mengantri registrasi masuk. Saya baru tahu ternyata gunung ini ternyata banyak juga penggemarnya. Kebanyakan merupakan anak-anak SMA yang memang sedang libur panjang.

Saya tersenyum getir melihat mereka masih memakai pakaian ala-ala mall. Baju baru, celana jeans, sepatu kets/olahraga, dan tas-tas sekolah yang memang tidak layak sebagai peralatan pergi ke gunung. Sedangkan kami yang sudah turun saja sudah hancur begini bentuknya. Dan mereka baru akan mulai naik? Yang artinya juga, mereka akan melewati 2 kali lipat keadaan kami sekarang. Dan saya harap mereka baik-baik saja menghadapi cobaan tersebut. Semoga saja.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU