Pembangunan Bandara Kulon Progo dan Penggusuran Lahan Petani Temon; Darah dan Tanah Milik Siapa?

Atas nama kemajuan peradaban, barangkali selalu ada pengorbanan dalam tiap proyek pembangunan. Namun bila pembiaran ini masih saja dibiakkan, bagaimana bisa kita masih dikatakan sebagai manusia?

SHARE :

Ditulis Oleh: Himas Nur

Problema pembangunan Bandara Kulon Progo di Kecamatan Temon, Yogyakarta masih bergulir hingga kini. Megaproyek ambisius milik pemerintah ini menjadi kian bermasalah ketika dihadapkan pada tanah pertanian warga.

Baca Juga: Menteri Perhubungan Tindak Tegas Monopoli Taksi Bandara Ahmad Yani 

Problema agraria kita

(Foto/Triyo Handoko)

Berdasar Dokumen Survei Pertanian yang disusun oleh WTT disimpulkan bahwa lokasi yang akan dibangun bandara merupakan kawasan dengan lahan pertanian yang sangat produktif baik lahan kering (tegalan) maupun lahan basah (sawah). Bila lahan ini akan menjadi bandara maka akan menggusur lahan hortikultura.

Padahal lahan ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan pemerintah, dan pengembangan pengetahuan masyarakat setempat). Contohnya adalah keuntungan petani cabai sepanjang Februari hingga Agustus 2014 sebesar Rp 705.870.000,00.

Upaya pemerintah mengadakan rencana pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo secara praktis tidak memerhatikan kearifan lokal yang selama ini ada.

Sebab masyarakat setempat telah memilih untuk bertani, namun rencana pemerintah tersebut justru mengancam penghidupannya dengan menggusur tanah.

Hal ini sama sekali tidak mendasar apabila pemerintah hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui megaproyek sementara menekan peruntungan masyarakat hingga titik terendahnya, yakni menghilangkan modal utama mereka berupa tanah.

Tentu berbeda dengan pendekatan pemberdayaan yang menekankan perubahan sosial secara berkelanjutan.

Proyek ambisius pemerintah

(Foto/New Yogyakarta International Airport)

Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2015 terdapat korban tewas lima orang, tertembak aparat 39, luka-luka 124 dan ditahan (kriminalisasi) 278 orang.

Dua tahun sebelumnya, masih merujuk laporan KPA, korban tewas oleh aparat negara dalam konflik agraria bahkan mencapai 21 orang. Korban lain, 30 orang tertembak, 130 mengalami penganiayaan dan 239 warga ditahan.

Pembangunan bandara di Yogyakarta ini merupakan salah satu megaproyek infrastruktur tansportasi ambisius milik pemerintah. Hal tersebut termasuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) milik era SBY.

Proyek warisan SBY ini rupanya dilanjutkan oleh Joko Widodo. Jokowi bersikukuh mendukung proyek ini karena bandara dapat mendukung janji kampanye masa lalunya, yakni menggenjot konektivitas transportasi dan ketahanan pangan.

Konsep dalam kerangka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dicanangkan Jokowi ini pastinya akan mengincar tanah dan kebun-kebun kelapa milik masyarakat.

Kekerasan dan penggusuran paksa

(Foto/Tommy Apriando)

Terhitung sejak 4 Desember 2017, Angkasa Pura telah mengultimatum warga bahwa hari itu adalah tenggat akhir mereka untuk mengosongkan rumahnya.

5 Desember 2017, sekitar pukul 10.15, ketegangan terjadi di depan Posko PWPP-KP. Aparat gabungan mengurung posko. Pepohohan dan tanaman di halaman mesjid, termasuk sanggar, hancur. Angkasa Pura I merobohkan dikawal ratusan aparat kepolisian, tentara dan Satpol Pamong Praja Kulon Progo.

Hingga kini, perlawanan masih terus dilakukan oleh warga dan relawan yang menolak pembangunan kapitalis tersebut. Namun ketika warga menggelar unjuk rasa, aparat berusaha membungkam aspirasi mereka memakai kekerasan.

“Ibu-ibu berhadapan langsung dengan aparat. Dorong-dorongan, mau sama ibu-ibu atau siapapun, aparat sudah tidak pandang bulu. Ada warga yang sampai dicekik, udah kayak kambing itu,” kata Wiji, seorang warga, dilansir Vice.

Rakhma dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyesalkan tindakan kekerasan dalam pengosongan paksa lahan dan rumah warga.

Tindakan melalui mobilisasi aparat negara, alat berat, disertai pemutusan aliran listrik, katanya, merupakan tindakan represif.

“Penangkapan terhadap warga dan aktivis pembela hak warga di Kulon Progo juga kriminalisasi terhadap kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap negara hukum Indonesia,” ungkap Rakhma.

YLBHI, menuntut pemerintah menghentikan seluruh upaya pengosongan paksa lahan dan rumah-rumah warga. Juga menghentikan seluruh tahapan pengadaan tanah guna pembangunan bandara. Hak-hak warga, katanya, harus dikembalikan seperti semula.

“Pembangunan seharusnya meningkatkan kualitas hidup rakyat, bukan menempatkan rakyat di posisi lebih buruk.”

“Kami tak masuk akal dengan pertimbangan logis atas situasi dan kondisi yang terjadi. Penggunaan kekuatan berlebih dan penangkapan sewenang-wenang terkesan berlebihan serta menimbulkan kerugian dan korban,” tegas Yati Andriyani, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dilansir Mongabay.

Konsep indah pariwisata kita untuk siapa?

(Instagram/milikandi)

Konflik lahan dalam skena pembangunan infrastruktur dan pariwisata negara ini bukan yang pertama, sebelumnya telah banyak pengorbanan bahkan darah yang tertumpah atas nama kemajuan peradaban ini.

Pulau Sumba mencatat nama Poro Duka, seorang warga yang ditembak aparat ketika menolak pembangunan resort wisata pada April 2018. Beberapa warga yang lain tertembak di kaki.

Reklamasi Teluk Benoa di Bali juga jadi petanda bahwa pemerintah benar-benar abai. Rencana pembangunan sirkuit Formula 1 di selatan Bali ini tak mengindahkan 25 juta meter kubik pasir laut yang dirampas sewenang-wenang dari para nelayan demi sebagai bahan urukan bangunan.

Baca Juga: ASITA Kecam Kasus Pemerkosaan Turis Asing di Labuan Bajo

Kisah-kisah serupa masih ditemui pada tiap pembangunan hotel megah dan mewah, dimana warga di sekitar justru tak memiliki kebutuhan yang cukup akan air karena bersaing dengan mesin-mesin penyedot air tanah milik hotel maupun apartemen.

Atas nama kemajuan peradaban, barangkali selalu ada pengorbanan dalam tiap proyek pembangunan. Namun benarkah penyakit ini dibiarkan selama berlarut-larat?

Bila pembiaran ini masih saja dibiakkan, bagaimana bisa kita masih dikatakan sebagai manusia?

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU