Pelajaran dari Jagong Jeget Gayo Aceh : "Saat Alam Turun Tangan Menyatukan Manusia"

Kecamatan Jagong Jeget adalah tempat terdingin di Dataran Tinggi Gayo , Aceh Tengah. Kehidupan masyarakatnya yang harmoni dengan alam mengajari banyak hal.

SHARE :

Ditulis Oleh: Makmur Dimila

Foto oleh Khairruzzaki

Suhu paling dingin di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, katanya ada di Kecamatan Jagong Jeget. Anggapan itulah yang membuat saya penasaran dan melakukan perjalanan ke satu kecamatan di Aceh Tengah itu.

Alam menyatukan manusia

Dari Kecamatan Pegasing, saya dan sepupu mengendarai sepeda motor melaju dalam awan yang mencair di pagi hari. Melalui jalan utama Isaq dan Atu Lintang. Nama terakhir ini mengingatkan saya pada berita di koran lokal dua hari sebelumnya. Berita tentang seorang nenek meninggal dalam kecelakaan mobil di Jalan Atu Lintang – Jagong Jeget. Ia bersama keluarganya terjun ke jurang di Gunung Jejem. Penyebabnya sopir belum pernah melintasi jalan berkelok tersebut dan rem mobil blong. Dengan hati-hati, saya mengamati sambil lewat. Pita kuning polisi terpasang di lokasi kecelakaan, di tepi jalan yang menjadi bibir jurang. Hanya tersisa rerumputan hijau kusut ditiup angin pegunungan. Di desa berikutnya, nampak kerangka mobil yang seperti kertas diremas-remas, diparkir di halaman Pos Polisi Weh Ilang; bangunan yang tak saya percaya sebagai kantor polisi jika tak melihat papan namanya. Sebuah pesan bahwa di balik keindahan perjalanan ke kawasan puncak, jika kita tak hati-hati, ada maut yang menanti.

Mobil hancur karena kecelakaan diparkir di halaman kantor polisi. Foto oleh Makmur Dimila

Kami melanjutkan perjalanan. Rumah-rumah menyembul di lereng-lereng gunung, tampak dari jauh, dengan tower operator seluler menjulang di tengah-tengah. Ternyata itu bukan tujuan saja. Justru kampung yang saya tuju tertutup bukit-bukit dan perkebunan kopi.

Danau Jagong sempat menghibur perjalanan kami. Hingga tiba di Kampung Gegarang, sekitar 50 km dari Pusat Kota Takengon. Sekitar jam 11 siang, dua jam setelah keberangkatan. Pendeteksi suhu di layar telpon saya menampilkan angka 19 derajat celcius. Tak begitu dingin. Mungkin akan menggigil di malam hari.

“Mau duduk di depan boleh, di belakang juga bisa,” Dhani kawan saya mempersilakan.

Saya memilih di belakang. Di meja panggung. Melepas alas kaki. Duduk bersila menghadap segayung kopi yang sudah diseduhnya. Saya langsung suka pada harumnya, arabika khas Dataran Tinggi Gayo.

“Kalau duduk di belakang artinya akan lebih lama,” sebut Dhani.

“Harus menunggu makan siang, ya?” celetuk saya.

Dua jam kemudian, ayahnya sudah di hadapan kami. Seorang guru bersarung, berpeci, beruban, dan berbaju safari. Bapak Isa, menyambut kami dengan senyum. Kami berbincang banyak.

Ia bercerita bahwa ia mulai tinggal di Gegarang tahun 1984 saat Sekolah Dasar dioperasikan pertama kali di sana. Saat itu, banyak warga transmigran sudah lebih dahulu menghuni Jagong Jeget, semenjak ditetapkan sebagai daerah transmigrasi dua tahun sebelum ia datang.  Orang Jawa, Sunda, Gayo, dan Aceh, hidup berbaur di tengah-tengah pegunungan. Isa sendiri asli Gayo. Ratusan warga multikultur itu harus hidup dengan lampu teplok hingga listrik masuk pada tahun 2002. Namun, konflik yang mendera Aceh mengikis statistik penduduk transmigran.

“Sebelum tahun 90-an, ada 90 % warga transmigran. Namun kini sudah berimbang, 50-50” cerita Isa.

Pun demikian, saya masih bisa melihat ragam jenis wajah saat keluar jalan-jalan di Desa Gegarang dan Telege Sari. Ada warga transmigran malah tidak ingin kembali daerah asalnya, kata Isa. Mereka hidup dengan berkebun kopi dan sayur-mayur.

Cerita tentang pemakaman guru yang harus menunggu anaknya pulang

Foto oleh Peri

“Yang meninggal tadi pagi adalah tokoh pendidikan di Aceh Tengah. Dialah yang pertama menghadirkan sekolah di Jagong. Tapi ada bisikan warga, katanya jenazahnya masih di rumah sakit sebab tidak ada satu pun anaknya di sana,” Isa melanjutkan ceritanya.

Jumat menjelang siang itu, kami memang melewati sebuah rumah di Gegarang, yang sudah dipasang tiang bendera merah di jalan depan rumah duka. Sudah dipenuhi beberapa warga.

Ketika pulang, jam 4 sore, puluhan warga tampak menunggu di halaman rumah duka. Barangkali menanti kepulangan anak mendiang. Saat-saat seperti itu membuat saya langsung teringat orangtua di kampung.  Bagaimana jika kita tak sempat melihat tatapan terakhir orangtua akibat asik jalan-jalan?

Ciri khas orang Gayo ada di ruang belakang rumah

Kami dan keluarga Dhani duduk melingkari nasi dan menu makanan lainnya di atas meja panggung terbuat dari kayu. Di bagian belakang di dalam rumah. Berdekatan dengan dapur. Beralas tikar, di sanalah kami bertukar-cerita. Serasa kerabat dekat.

“Sehebat apapun orang Gayo, mau tinggal di Jawa atau Bali, tetap ada satu tempat khusus di bagian belakang dalam rumah. Ini salah satu ciri khas orang Gayo,” cetus Isa.

Di bagian belakang itu biasanya anggota keluarga berkumpul. Untuk makan, rapat, santai, hingga menjamu tamu. Jarang sekali terlihat duduk di teras rumah. Saya pun kerap mendapati halaman rumah warga di Takengon yang sepi. Hanya sesekali ibu bersama anak perempuannya—mungkin juga tetangga— duduk melingkar di halaman rumah; berteduh di bawah pohon mencari kutu sambil bercengkerama.

“Enak ya di Aceh, tidak dingin seperti Gayo”

Foto oleh Makmur Dimila

Komentar seorang pemuda asli Takengon, yang mengenakan sarung bermotif karawang Gayo, melindungi tubuhnya dari dingin yang disebabkan hujan dan angin.

“Tidak juga, Bang. Di luar Gayo itu panas, mending di sini, dingin. Tidak keringatan,” balas saya.

Kami bertutur-sapa saat sama-sama singgah di sebuah kedai pinggir jalan dekat jurang, sebab hujan turun disertai pelangi yang melengkung di atas pegunungan. Ia hendak ke Jagong, saya baru pulang dari sana.

Dalam hati saya menertawakan omongan kami di atas. Sungguh aneh manusia,  rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU