Meski dikenal sebagai salah destinasi unggulan di Indonesia, Sekwan DPRD DIY, Drajat Ruswandono menyampaikan, Yogyakarta masih harus berkaca pada Bali dalam bidang pengelolaan wisata.
DIY memang memiliki misi menjadi pusat budaya, wisata, sekaligus pendidikan pada 2025. Namun sampai saat ini masih ada kekurangan yang dimiliki DIY, seperti misal masalah tata ruang pedagang kaki lima dan angkutan umum.
Menurut Drajat dalam pertemuannya dengan Pemprov Bali beberapa waktu lalu, di Bali, trotoar sudah rapi, sementara di Yogyakarta masih semrawut oleh pedagang.
Bali memang lebih rapi dari segi pengelolaan wisata. Bahkan di pulau dewata, sektor wisata sudah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat setempat.
“Kami ingin belajar dari Bali. Kami juga punya desa wisata, tapi di Bali desa wisatanya sudah sangat bagus. Selain itu penataan kaki lima di sini juga sangat tertib,” ujar Drajat.
Hasil pertemuan dengan Pemprov Bali ini akan menjadi bekal tersendiri bagi pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan dan pengembangan wisata di DIY.
Sementara itu Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata, Dinas Pariwisata Bali, Nyoman Wardawan mengemukakan, kebanyakan pengelolaan lokasi wisata di Bali dilakukan oleh desa adat setempat.
“Seperti Pantai Pandawa dan Pantai Kuta, pengelolaannya langsung oleh desa adat. Kalau diserahkan ke desa adat biasanya lokasi wisata lebih berkembang dan maju,” ujar Nyoman.
Desa adat memiliki sanksi mengikat yang juga berperan sebagai regulasi langsung dalam aktivitas di setiap tempat. Sehingga pengembangan dan pengaturan destinasi wisata di Bali lebih mudah dilakukan.
Nyoman juga menjelaskan, keunggulan Bali dalam mengelola sektor wisata disebabkan oleh faktor waktu.
Bali memang telah dikenal sebagai lokasi wisata sejak 1920-an, lebih dulu dari DIY.
Lalu, Mengapa PKL Bali dapat tertata rapi? Hal ini karena pengelolaan pedagang kaki lima juga dilakukan oleh desa adat setempat. Begitupun dengan keberadaan desa wisata. Saat ini Bali memiliki 42 desa wisata yang sudah tersebar di berbagai kabupaten. Adapun target pengembangan desa wisata dari Pemprov Bali sebanyak 100 desa.
Namun begitu Nyoman mengakui, pariwisata di Bali belum sempurna. Masih ada kekurangan di berbagai hal. Termasuk kebiasaan masyarakat sekitar tempat wisata yang terkadang sering memaksa wisatawan untuk membeli dagangannya.
“Untuk hal-hal semacam ini kami sudah memberikan pembinaan pada masyarakat. Ada juga workshop. Biasanya seluruh kepala adat desa kami kumpulkan, lalu kami beri pengertian tentang pelayanan pariwisata yang baik,” ujar Nyoman.
Untuk pengembangan destinasi, tahun 2016 ini Bali tengah mengembangkan medical tourism sebagai sektor wisata baru. Sekarang Pemprov setempat tengah mendirikan Rumah Sakit (RS) Bali Mandara di dekat Bandara Ngurahrai. Sebenarnya fasilitas kesehatan ini diperuntukkan bagi masyarakat umum. Namun di sebelah RS sengaja dibangun klinik khusus orang asing.
“Jadi kalau mau berobat tidak perlu lagi ke Singapura. Cukup di Bali saja,” papar Nyoman. Selain itu, Bali juga sedang mencanangkan program khusus bagi wisata lansia. Sehingga orang-orang sepuh bisa menikmati usia lanjutnya di Bali.