Saat ini travelling sudah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi yang begitu pesat dan marak nya pengguna sosial media yang mengunggah foto-foto atau video-video ke berbagai tempat destinasi wisata yang indah dan mengagumkan di seluruh penjuru Indonesia.
Ironisnya, kemudian mencuat beberapa kasus tak mengenakkan di dunia pariwisata kita. Beberapa orang berwisata hanya untuk foto-foto selfie di destinasi yang mereka kunjungi, berujung rusaknya fasilitas atau alam destinasi tersebut demi mendapat angle foto terbaik. Ingat kasus taman bunga di Gunung Kidul yang rusak karena pengunjung yang berfoto selfie menginjak-injak bunga tersebut? atau Jembatan di Aceh yang rubuh saat orang-orang menumpuk di atas jembatan untuk berfoto selfie?
Dalam hal ini, saya tidak mempermasalahkan gaya atau cara travelling yang digunakan masing-masing orang. Bebas orang-orang travelling dengan cara nya masing-masing; hanya untuk senang-senang, selfie, mengenal jatidiri, mencari pembelajaran, dan masih banyak lagi motivasi orang traveling. Tak perlulah saling menyerang gaya traveling orang lain.
Yang menjadi masalah adalah ketika gaya traveling Anda merugikan orang lain dan merusak destinasi yang Anda kunjungi!
Perlu adanya edukasi khusus mengenai hal ini. Mungkin harus diperkenalkan dan diiinformasikan mengenai pendidikan “Sadar Wisata” ke masyarakat. Ini menjadi cukup penting guna melestarikan dan menjaga keaslian dan keindahan tempat wisata tersebut agar selalu terjaga setiap waktu.
“Sadar Wisata” adalah suatu kondisi yang menggambarkan partisipasi dan dukungan segenap komponen masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan di suatu destinasi atau wilayah.
Sadar Wisata sendiri erat kaitannya dengan “Sapta Pesona”, yakni konsep sadar wisata yang berkaitan dengan dukungan dan peran masyarakat sebagai tuan rumah dalam upaya untuk menciptakan lingkungan dan suasana kondusif mampu mendorong berkembanganya kepariwisataan di daerah tersebut.
“Sapta Pesona” memiliki 7 nilai-nilai dasar, yakni:
Anda bertanya mengapa pembangunan pariwisata kita terkesan berjalan stagnan saat ini? Karena pembangunan pariwisata tak hanya tugas pemerintah! Pembangunan kepariwisataan melibatkan 3 stakeholder utama; pemerintah, swasta dan masyarakat. Tiga elemen tersebut harus saling bersinergi dan melangkah bersama-sama untuk mencapai dan mewujudkan tujuan dari pengembangan Kepariwisataan di Indonesia sendiri.
Ya, masyarakat pun turut andil dalam pembangunan pariwisata negeri ini, berperan besar malah. Bagaimana mungkin negeri sebesar ini akan maju pariwisatanya hanya dengan pemerintah atau swasta saja yang bergerak di industri tersebut? Sangat berat, atau bahkan mungkin nyaris tak mungkin.
Karena itulah, dalam hal ini, Kementerian Pariwisata sebagai Lembaga Pemerintah Pusat yang menaungi Pariwisata, sangat perlu membuat gerakan atau pendidikan”Sadar Wisata” ke semua lapisan masyarakat.
Sektor pariwisata saat ini telah menjadi sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, apalagi Kemenpar sekarang memiliki target 20 Juta Wisman pada tahun 2019. Untuk mensukseskan hal tersebut, edukasi “Sadar Wisata” akan jadi salah satu strategi yang paling efektif. Masyarakat harus aktif jika ingin pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, bukan sekadar pembangunan untuk pencitraan.
Seberapa penting kah edukasi “Sadar Wisata”? Sangat penting! Ada banyak sekali manfaatnya untuk kemajuan dan perkembangan wisata di suatu tempat atau wilayah, salah satu nya adalah masyarakat dapat berperan aktif dalam mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung. Masyarakat juga harus memberikan rasa senang dan kenangan indah yang membekas bagi wisatawan. Setelah itu, tak perlu promosi besar-besaran menghabiskan banyak uang, turis-turis mancanegara khususnya, pasti akan rindu, dan ingin kembali lagi ke Indonesia.
Jika “Sadar Wisata” telah menancap di pikiran masyarakat, kasus-kasus foto selfie yang merusak alam seperti yang terjadi di Gunung Kidul beberapa waktu lalu atau kasus yang membahayakan diri sendiri seperti jatuhnya pendaki di Gunung Merapi akibat ingin selfie di puncak tak akan ada lagi.
Jika “Sadar Wisata” telah terpatri di hati, orang-orang lebih bijak membagikan keindahan alam negeri ini di sosial media, orang akan memilah tempat mana yang memang harus dibagikan, mana yang tidak. Dunia travel blogging pun bahkan mungkin akan makin ramai.
Saatnya galakkan gerakan “Sadar Wisata”!