Indonesia dan Laos telah menandatangani kesepakatan ASEAN Open Sky setelah sebelumnya Myanmar, Thailand, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Singapura telah menandatanganinya terlebih dulu.
Dilansir dari Ch-Aviation, perjanjian Open Sky ASEAN bertujuan untuk meningkatkan konektivitas regional dan domestik, mengintegrasikan jaringan produksi dan meningkatkan perdagangan regional dengan memungkinkan penerbangan dari sepuluh negara anggota ASEAN untuk terbang bebas di seluruh wilayah.
Namun, berbeda dengan kebijakan serupa di Eropa, di ASEAN beberapa negara masih membatasi kota-kota tertentu yang boleh didarati maskapai ASEAN.
Indonesia sendiri saat ini masih membatasi hanya 5 bandara yang menerapkan kebijakan Open Sky ASEAN; Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Kuala Namu Medan, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Ngurah Rai Denpasar , dan Bandara Hasanuddin Sulawesi Selatan.
Pembatasan untuk pelaksanaan Open Sky ASEAN hanya di 5 bandara di Indonesai ini disinyalir demi menyiasati kepadatan dan kompetisi maskapai.
Open sky ASEAN sendiri merupakan pengembangan kerjasama Keamanan, Ekonomi, Sosial Budaya di antara negara-negara ASEAN, terutama dalam industri penerbangan. Ini berarti akan terjadi persaingan bebas antar maskapai di masing-masing negara ASEAN.
Akibat perjanjian Open Sky ASEAN, persaingan antar maskapai penerbangan di ASEAN akan semakin ketat. Tarifpun akan dipasang semau maskapai, karena kebijakan ini tidak akan membatasi frekuensi penerbangan maupun pengaturan tarif.
Industri penerbangan akan sepenuhnya berjalan dengan “survival of the fittest”, maskapai yang penuh inovasi akan mampu bersaing dan semakin eksis, dan sebaliknya maskapai dengan layanannya yang buruk dan bertarif mahal akan ditinggalkan oleh konsumen.
Kebijakan open sky ASEAN ini tidak hanya berlaku untuk pesawat penumpang, tetapi juga untuk pesawat kargo. Kementerian Perhubungan telah menetapkan tujuh bandara internasional yang akan melayani hilir mudik pesawat kargo tersebut.
***
Meski kemungkinan besar akan terjadi perang tarif antar maskapai, sayangnya, kebijakan Open Sky ASEAN ini sesungguhnya tidak menjadi jaminan akan mendorong wisatawan ASEAN berbondong-bondong datang ke Indonesia. Melihat tren saat ini, kemungkinan yang memiliki peluang lebih besar terjadi, justru semakin membuat wisatawan dari Indonesia pergi berlibur ke luar negeri, yang berarti malah membuat destinasi dalam negeri akan ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena perang tarif yang terjadi membuat penerbangan ke luar negeri lebih hemat. Jika penerbangan domestik masih mahal dan kurang rapinya pengelolaan tempat wisata domestik tidak segera dibenahi, wisata domestik tentu akan nampak ‘tidak seksi’ bagi masyarakat Indonesia sendiri.
Semoga prediksi saya salah.