Keterbatasan fisik bukan rintangan mencapai mimpi. Achmad Dzulkarnain atau akrab disapa Dzuel pemuda asal Desa Benelanlor, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur, berhasil mencapai puncak Gunung Ijen yang berada di perbatasan Banyuwangi dan Situbondo.
Ia memang telah lama bermimpi ingin mencapai puncak, namun beberapa kali ia urungkan karena merasa tak siap. Fisiknya agak berbeda dengan orang pada umumnya. Ia tak memiliki tangan dan kaki.
Sebelumnya, Dzuel yang menekuni hobi fotografi tersebut pernah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti hunting fotografi Ijen series, namun batal karena kondisi fisiknya. Ia khawatir akan merepotkan banyak orang.
Baca juga, Kawah Ijen Tak Hanya Tentang Api Biru
Kesempatan kedua muncul saat beberapa temannya yang bergabung dalam komunitas Art Osing Singonjuruh berencana mendaki Gunung Ijen dan menawari Dzuel untuk bergabung. Mereka punya ide bagus, yaitu menggendong Dzuel dengan tas ransel pendaki gunung.
Akhirnya mereka berangkat. Dzuel digendong secara bergantian oleh rekan-rekannya. Dzuel juga dipinjami jaket tebal untuk melindungi tubuhnya dari udara gunung. Jaket tersebut dilipat menjadi dua karena terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil.
Perjalanan ke atas bukannya tanpa kendala. Jika rekan rekannya kelelahan, lelaki lajang dengan bobot sekitar 40 kilogram tersebut, memilih untuk turun dan jalan sendiri. Saat menjelang puncak ia jalan sendiri karena sudah tidak tega melihat rekan-rekannya kelelahan menggendongnya.
Dzuel bersama lima rekannya berangkat dari Paltuding jam 2 dini hari dan baru sampai puncak Ijen sekitar 06.30 wib.
Ia gagal memotret api biru, tapi ia tak menyesal. Karena yang terpenting baginya ia bisa membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi untuk beraktivitas seperti orang normal lainnya.
Saat menginjakkan kaki di puncak Gunung Ijen, ia mengaku masih belum percaya dan langsung melakukan sujud syukur. Ia sampai memukul-mukul kepala sendiri. Beberapa temannya banyak yang menangis dan mengajak berfoto selfie.
Masalah baru muncul saat mereka memutuskan untuk turun.
Kondisi rekan-rekannya yang kelelahan membuat Dzuel tidak tega untuk meminta bantuan. Akhirnya, dia memutuskan untuk turun dengan bantuan penambang belerang.
Ia akhirnya turun dengan naik gerobak yang biasanya untuk bawa belerang. Penambang awalnya tidak meminta ongkos karena tak tega melihat kondisi Dzuel, tapi akhirnya Dzuel keukeuh untuk membayar meski tak seberapa.
Dia mengaku pengalaman pertamanya tersebut tidak akan dilupakan dan menjadi motivasi bagi dia bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika berusaha.