6 Hal yang Saya Pelajari Saat Menyusuri Bantaran Kali Code Jogja

Bantaran Kali Code Jogja ternyata menyimpan banyak kisah menarik yang tak diketahui orang banyak.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

photo by Shabara Wicaksono

Begitu menjejakkan kaki di tanah Jogja, keingintahuan pada tempat itu makin menguat. Sebuah perkampungan di bantaran sungai dengan sejuta cerita.

Kisah Romomangun dan Kalicode-nya benar-benar melekat di hati.

Kisah yang hanya pernah kudengar dari “kata orang”, “penjelasan guru SMPku dengan kacamata berbingkai tebal dan rambut beruban yang selalu dicat hitam setiap pagi” dan “sebuah artikel blog tentang Romomangun yang kubaca saat aku masih hobi meramban di warnet dekat rumah dulu.”

Aku berhasil membujuk seorang kawan lama yang tinggal di Jogja sebagai guide. Awalnya cukup susah meyakinkan kawan satu ini. Sambil mengernyitkan dahi dia protes.

“Apa tak ada tempat lain yang harus dikunjungi? Pantai Pok Tunggal, Candi Ratu Boko, Pantai Jogan mungkin? Aku yang 4 tahun disini saja tak pernah terpikir ingin ke Kalicode”

“Nggak” jawabku pendek.

Perjalanan menuju perkampungan Kali Codepun dimulai.

1. Jalanan Jogja Tak Seramah yang Kukira

photo by Shabara Wicaksono

Kami meluncur menembus ganasnya jalanan jogja berboncengan menggunakan sepeda motor.

Jogja terkenal dengan keramahan warganya. Namun ternyata saat turun ke jalan tak ada yang berbeda dari kota-kota lain yang pernah kukunjungi.

Jalanan Jogja tak seramah yang kukira. Klakson sana sini, motor-motor dengan knalpot penghancur gendang telinga, pemotor yang menerobos macet lewat pedestrian, dan juga tak ada “kulo nuwun” saat menyalip kendaraan lain.

Mungkin mereka oknum pendatang -yang tak tahu adab bertamu- dan sering didengungkan warga lokal telah merusak image Jogja yang tenang dan nyaman.

Disebuah perempatan, kami berhenti di belakang garis “Ruang tunggu sepeda”. Tiba-tiba sebuah mobil bertipe sedan berwarna hitam mengklakson kami berkali-kali.

Terlihat kendaraan-kendaraan di sisi kanan dan kiri persimpangan memang telah berhenti, namun lampu lalu lintas didepan kami masih menyala merah. Sangat jelas terlihat kurasa.

Kulihat plat mobilnya, ternyata plat luar Jogja. Dari kaca depan terlihat seorang pria dengan topi merah dan kacamata hitam memberi aba-aba pada kami agar segera maju. Aku memberi kode bahwa lampu masih merah. Si supir nampak emosi dan langsung mengambil jalur kiri untuk menyalip kami sembari memencet klakson dengan nada panjang dan menggeber mobilnya.

“Dia pasti kebelet,” seloroh kawanku.

2. Mencari Jalan Masuk Kampung Kali Code Bagai Mencari Harta Karun Di Tengah Pulau Terpencil

photo by Shabara Wicaksono

Hal yang cukup mengejutkanku, meski kisah tentang perjuangan Romomangun di Kali Code cukup populer, namun tak semua tahu dimana jalan masuk menuju tempat itu, bahkan termasuk warga lokal.

Setelah sempat tersesat beberapa kali, sampailah kami di kampung legendaris. Jalan masuk menuju perkampungan yang dibangun Romomangun ternyata berada di daerah Gondolayu Jogja. Jalan masuknya berupa sebuah gang kecil dengan gapura kayu kecil kusam. Kecil yang kumaksud disini benar-benar kecil. Dua motor berpapasan di pintu masuk gang ini pun tak akan muat.

3. Disambut Keramahan Geng Ibu-ibu Kali Code

photo by Shabara Wicaksono

Pertama masuk ke kampung ini kami seperti disambut. Sekumpulan ibu-ibu sedang bercengkrama duduk di anak tangga lorong perkampungan.

Ada sekitar 5 ibu-ibu paruh baya, seorang nenek dengan kebaya dan kain jarik, serta seorang gadis muda yang menggendong bayi kecil yang tertidur lelap seolah tak terganggu suasana riuh disekitarnya. Gema tawa dan obrolan-obrolan menggunakan logat bahasa daerah yang kental memenuhi lorong masuk menuju perkampungan ini. Waktu seperti berhenti di sekeliling mereka.

Menyadari kedatangan kami berdua, mereka bergeser ke pinggir. Dengan berjalan menunduk dan mengucap salam kami melewati mereka.

“Ooh iya mas silakan-silakan, hati-hati jalannya agak licin,” nenek dengan kebaya dan kain jarik berwarna coklat gelap agak berteriak mengingatkan kami sembari tersenyum. Jalanan perkampungan ini memang cukup licin. Mungkin karena hujan hari sebelumnya dan lumut-lumut yang tumbuh.

Aku menoleh mengucap terima kasih sambil membalas senyuman si nenek. Dengan rambut putih yang memenuhi kepalanya, kuterka usianya berkisar 80an tahun. Suaranya ternyata masih cukup nyaring dan jelas. Sebuah hal sepele yang mulai jarang kutemui dikota besar lain di Jawa.

Keramahan warga lokal Jogja ternyata tak pernah berubah. Masih sama seperti saat pertama kali aku berkunjung kesini sewaktu kecil dulu. Keramahan yang membuat siapapun betah berada di Kota ini.

4. Obrolan Singkat Bersama Seorang Kakek Tua Kurus yang Pernah Dibentak Romomangun

photo by Shabara Wicaksono

 Karena malas membaca buku, Romomangun membentak saya. Saya malu kalau ingat hal itu

Di bagian dalam perkampungan terdapat suatu bangunan yang nampak seperti ruang pertemuan. Bangunan tersebut di cat warna-warni. Lantai kayunya berderak saat kuinjak. Seorang kakek tua kurus duduk seorang diri di dalam bangunan tersebut. Badannya hanya dihiasi sebuah kaos dalam putih dan celana pendek berwarna hitam. Keriput-keriput dan rambut ubannya menunjukan kematangan seorang manusia.

“Silakan mas, ada perlu apa?” Kakek tua menyapaku terlebih dulu. Aku tersenyum sembari mendekati si kakek.

“Dipakai saja mas, kotor nanti,” ujar si Kakek yang melihat gelagatku akan melepas sandal. Aku melepasnya karena melihat si kakek tak menggunakan alas kaki.

Kesempatan mendapat kisah langsung tentang Romomangun dari warga lokal tak kusia-siakan. Si Kakek ternyata memiliki kenangan tersendiri tentang Romomangun. Seorang yang menurutnya sangat baik hati, namun juga keras. Keras pada hal-hal buruk.

Dirinya teringat pernah dibentak Romomangun karena tak mau bergabung dengan kelompok belajar yang dibuat oleh beliau. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut si Kakek sebenarnya tak cukup jelas. Namun inti-inti ceritanya dapat aku pahami.

Aku sempat berpikir Romomangun dalah warga asli bantaran kali code. Ternyata beliau orang luar.

Romomangun rela tinggal membaur dengan masyarakat Kali Code selama bertahun-tahun hanya demi merubah kebiasaan warga kali code yang sering membuang sampah sembarangan di sungai.

Perlahan Romomangun merubah mental warga dengan memberi teladan, bukan larangan dan ancaman seperti pejabat masa kini.

Romomangun pula yang menata perkampungan Kali Code menjadi lebih tertib dan indah.

Membenahi mental dimulai dari membenahi pendidikan. Melihat rendahnya tingkat pendidikan warga Kalicode, Romomangun berjuang membentuk kelompok-kelompok belajar untuk warga dari semua usia. Karena sempat tak mau bergabung dengan kelompok belajar itulah dirinya dibentak oleh Romomangun. Si kakek yang saat itu masih cukup muda mengaku malas jika harus membaca-baca buku.

“Dia itu orang luar, tapi sangat baik. Saya jadi malu ingat dulu sempat tak mau bergabung.” Si Kakek diam dan memandang keluar melalui celah jendela yang terbuat dari potongan-potongan bambu tipis. Hal yang luar biasa menurutku. Tak hanya turun ke jalan dan berkoar-koar menuntut perubahan pada pemerintah, Romomangun lebih memilih aksi nyata. Beliau membuat perubahan itu sendiri.

Merasa tak ada kepentingan lagi, kami memilih untuk berpamitan.

“Terima kasih mas,” Si kakek tersenyum lebar memamerkan mulutnya yang tak terdapat sebuah gigipun disana.

Aku melangkah pergi sembari kebingungan mengapa si Kakek berterima kasih. Teringat ucapan seorang teman, pada dasarnya semua orang suka bercerita dan didengarkan. Mungkin si Kakek kesepian dan tak punya teman ngobrol.

5. Sepinya Museum Romomangun di Siang Hari

photo by Shabara Wicaksono

Dengan segala imajinasinya, suatu saat anak ini akan menciptakan sandal masa depan yang tak pernah terpikirkan orang-orang berkulit putih dan berambut pirang diluar sana.

Museum Romomangun terletak dipojok kampung. Terdiri dari 2 lantai dan dicat warna-warni serta ditulisi berbagai kata mutiara. Seorang bocah kira-kira berumur 5-7 tahun duduk dilantai depan museum. Kulitnya putih bersih dengan rambut berwarna coklat kemerahan.

Dia memasukan sebuah sandal jepit dengan tali berwarna hijau ke tangannya. Kedatangan kami samasekali tak mengusik keasyikannya memainkan sandal.

Saat kutanya apa didalam ada orang, bocah tersebut hanya menganggukan kepalanya sembari tetap memainkan sandal. Dia menggerak-gerakan sandal itu seperti anak kecil yang bermain pesawat mainan. Entah apa yang ada dalam imajinasi bocah tersebut.

Kulongok bagian dalam museum melalui celah gorden yang tersingkap. Gelap dan tak terasa tanda kehidupan disana.

Si bocah benar-benar cuek pada kami. Karena bingung, aku dan kawanku mencoba naik kelantai 2. Ada sebuah ruangan yang ternyata juga tergembok dengan rapat. Sebuah kunci berwarna kuning kusam menancap di gembok tersebut.

Tiba-tiba seorang pria melongokan kepalanya dari ruang sebelah.

“Mau berkunjung mas? Buka aja gemboknya, tapi nanti jangan lupa dikunci lagi”

Pria tersebut masuk kembali kedalam ruangannya, meninggalkan aku dan kawanku yang masih kebingungan.

Aku memberanikan diri membuka kunci. Suasana didalamnya berantakan dan cukup pengap. Bau debu menyengat hidung. Ada beberapa rak buku dengan kayu yang mulai mengeropos. Buku dipilah berdasar bidangnya. Ada buku pelajaran sekolah, buku pengetahuan umum, buku agama, bahkan adapula komik-komik jadul. Kondisi buku-buku tersebut masih cukup layak, hanya saja banyak terdapat debu didalamnya, tanda tak pernah dibuka.

Di salah satu rak terdapat deretan majalah tentang komputer bulanan. Di bagian atas terlihat tulisan “edisi tahun 2013”. Lengkap dari Januari hingga Desember. Kawanku nampaknya sangat tertarik dengan majalah-majalah tersebut. Dia berkali-kali membolak-balikan halaman majalah yang nampak kusam itu dengan antusias. Seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.

Yang paling menarik perhatiaanku adalah komik-komik jadul berjejer disalah satu rak. Ada beberapa judul komik populer jaman dulu. Tatapanku berhenti pada salah satu komik bertuliskan “Shoot” di sampul depan.

Aku serasa bernostalgia. Aku sering menyewa komik ini saat SMP. Sebuah komik buatan Jepang tentang tim sepak bola anak sekolahan. Hobiku bermain sepakbola saat SMP menjadikanku gemar membaca komik-komik sejenis ini. Serasa kita tergabung dengan tim didalamnya.

Kertas sampulnya masih bagus. Begitupun bagian dalamnya, tak berwarna kekuningan layaknya buku lama. Bahkan bau kertas baru tercium saat aku membolak-balikan halamannya.

6. Pesan-pesan Kalicode untuk Indonesia

photo by Shabara Wicaksono

photo by Shabara Wicaksono

photo by Shabara WIcaksono

Sayang orang-orang mulia pemegang tampuk diatas sana mulai keblinger oleh kekayaan negeri ini, seolah milik mereka pribadi.

Di dinding-dinding lorong perkampungan Kali Code banyak beterbaran pesan-pesan bijak kehidupan. Pesan ditulis menggunakan cat dinding berwarna cerah sehingga nampak semarak. Aku tak tahu siapa yang menulis pesan-pesan itu. Karena didalam kampung ternyata suasana sangat sepi. Si kakek adalah warga terakhir yang kutemui. Niat untuk mencari tahu siapa pembuat tulisan-tulisan itu kuurungkan.

Pesan-pesan kehidupan yang mungkin jika kita mau meluangkan waktu barang sejenak untuk merenungkannya sesungguhnya kita akan mendapat makna mendalam dari tempat ini.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU