Pantan Terong - Aceh Tengah, Tempat Berjuluk Atap Dataran Tinggi Gayo

Pantan Terong dinobatkan sebagai objek daerah tujuan wisata unik di Kabupaten Aceh Tengah. Keseluruhan Kota Dingin, kata para pelancong, terlihat jelas dari puncak bukit ini.

SHARE :

Ditulis Oleh: Makmur Dimila

Pantan Terong dinobatkan sebagai objek daerah tujuan wisata unik di Kabupaten Aceh Tengah. Keseluruhan Kota Dingin, kata para pelancong, terlihat jelas dari puncak bukit ini.

Langit Takengon yang abu-abu tak menyurutkan langkah saya dan seorang teman perjalanan pada pertengahan Oktober 2014. Kami memasuki Jalan Keramat Kecamatan Bebesan dari Simpang Empat Jalan Bireuen – Takengon. Kami disarankan warga lebih dulu mencapai Desa Empustelu, begitu menanyakan bagaiamana cara ke Puncak Pantan Terong. Di papan informasi pada satu sudut jalan desa ini dijelaskan, harus menempuh 6 km untuk sampai ke sana.

Perlahan, motor melibas lintasan beraspal. Lubang -atau kami menyebutnya “Jebakan Batman”- menganga di beberapa titik jalan Desa Empustelu yang berbatasan dengan Desa Bahgie. Hampir setiap halaman rumah warga ditumbuhi batang kopi. Bersaf-saf, berjejer rapi.

Jalanan terus menanjak saat melewati gerbang Selamat Datang di Desa Bahgie. Motor meraung membelah perkebunan yang merayapi lereng gunung. Hawa dingin kian tinggi semakin kami mendaki lintasan yang meliuk-liuk.

1. “Muniru” di sebuah gubuk

Jalan berkelok dan menanjak yang dijumpai dalam petualangan ke Pantan Terong. Foto oleh Makmur Dimila

Aroma kopi arabika, kayu manis, dan pinus hutan merebak, hingga kami berhenti usai menemui sebuah pertigaan. Belok kanan menuju perkebunan, artinya, kami harus ambil kiri jika ingin ke puncak Pantan Terong.

Kawasan Ekowisata ini sangat menggoda. Baru pada titik ini saja, suguhan panorama alam telah menggantikan hal-hal yang dikhawatirkan untuk menggapai sebuah destinasi. Perkebunan menyembul di lembah-lembah.

Kami pun berhenti dekat sebuah gubuk yang digunakan untuk muniru (menghangatkan tubuh khas gayo-red), berjalan kaki menyesap udara bersih dan segar.

 

2. Belaian lembut gumpalan awan yang berarak

Kabut menyelimuti pegunungan di Kawasan Ekowisata Pantan Terong. Foto oleh Makmur Dimila

Suara bayu pegunungan lebat saya kira tanda hujan akan turun. Hampir pula saya samakan deru angin itu dengan suara awan berarak yang lebih mendesir. Ya, di atas ini, saya bisa berdiri di jalan beraspal mulus dan merentangkan tangan merasakan gumpalan awan jika kamu memandang saya dari Empustelu.

Setelah sejenak bercengkrama dengan alam, kami langsung menuju spot Pantan Terong. Tiang pemancar menjulang dekat tiga bangunan: mushala, rumah beton dan rumah panggung. Ketiga bangunan itu terlihat dari gerbang masuk.

 

3. Objek wisata yang sempat terbengkalai

Pria berselimut sarung menyambut. Hasbullah. Andai saja kami ke sini antara bulan Juli 2013 sampai Juli 2014, kata dia, obyek ini penuh semak dan kami tak dapat menikmati teh dan mie hangat yang diseduh istrinya.

Pada kurun itu, tak ada yang merawat lokasi ini, kecuali remaja-remaja yang bercumbu rayu di tempat ini yang justru mengotorkan lokasi. Penjaga sebelumnya pamitan setelah gempa mengguncang Bener Meriah dan Aceh Tengah pada 2 Juli 2013. Trauma.

Setahun terbengkalai, akhirnya Kepala Desa Bahgie mempercayakan tempat ini pada Hasbullah. Ditatanya kembali obyek ini semenjak seminggu usai peringatan HUT RI tahun 2014. Bersama istri dan putranya Munadi, ia mengelola obyek wisata Pantan Terong sembari berkebun kol, wortel, dan kentang di perkebunan tak jauh dari pertigaan tadi.

 

4. Bercengkrama dengan si bocah penjaga wisata

Foto oleh Makmur Dimila

Putranya, Munadi, yang saat itu menjelang usia 3 tahun, tampak malu-malu. Ia kenakan jaket kecil. Saya bujuk dia untuk di foto kawan saya dengan kamera digital. Ayahnya mendukung.

Perlahan dia berdiri di halaman rumah panggung. Tegak. Satu sisi tangannya membentuk huruf V. Dia lantas kami suruh gonti-ganti gaya. Setelah pemotretan, ia tak sabar melihat hasilnya.

Pak, pak, sini lihat Onot,” Munadi berseru kepada ayahnya, dengan menyebut nama sapaannya.

Onot benar-benar sebahagia nama desa orangtuanya, setelah satu jam bermain-main dengan kami di halaman rumahnya yang mempesona.

 

5. Meneropong Gayo dari ketinggian 1.830 mdpl

Pemandangan memang memberikan nilai lebih puncak Pantan Terong, yang menurut Humas Pemkab Aceh Tengah memiliki ketinggian 1.830 meter di atas permukaan laut (mdpl). Hasbullah mengizinkan ketika kami meminjam teropong yang sering digunakannya untuk memantau sekitar. Teropong yang pernah saya miliki sewaktu usia remaja, sepuluh tahun lalu—kami sebut teropong tentara karena didesain dengan motif loreng.

Dari kompas di teropongnya itu, posisi kami di barat dan Danau Lut Tawar di timur. Di utara kelihatan Bener Meriah beserta Burni Telong gunung kebanggaan daerah itu dan Burni Gayo yang tampak kecil di selatan. Tentu saja, seluruh Kota Takengon dapat ditelusuri dengan tatapan. Karena itulah, Pemda Aceh Tengah menjadikan Pantan Terong sebagai Kawasan Ekowisata sejak 17 Agustus 2002, pada masa Bupati Mustafa M Tamy, sebagaimana tercetak pada prasasti di lokasi tersebut.

 

6. Sensasi dua balkon raksasa

Foto oleh Makmur Dimila

Objek wisata Pantang Terong menyediakan dua ‘balkon raksasa’ bagi wisatawan. Pertama, balkon atas yang sejajar dengan tiga bangunan, namun pemandangan sedikit terhalang tiang lampu. Kedua, balkon bawah dilengkapi tribun kecil yang bisa dicapai pengunjung dengan turun melalui samping kiri.

Lanskap yang saya idam-idamkan pun terpenuhi di sini. Di atas salah satu tiang beton balkon bawah, saya parkirkan teh panas yang sudah dingin. Sementara saya duduk di pagar pembatasnya berupa log besi kosong. Membiarkan tubuh ditiup angin. Seakan-akan saya duduk di balkon rumah bertingkat, menatap orang yang lalu-lalang di jalan raya sana.

 

7. Andai Jazz Gunung digelar di sini

Foto oleh Makmur Dimila

Sembari menyesap teh, saya berimajinasi bahwa gelaran-gelaran bertema wisata lingkungan sangat layak digelar di puncak Pantan Terong, semisal Jazz Gunung yang biasa digelar di Gunung Bromo. Bersamaan dengan menonton kolaborasi band lokal hingga internasional, saya dihidangkan menu ikan depik dan kopi arabika, lalu mendekati api unggun untuk muniru. Sayang, cuma mimpi saya di sore hari.

Saya berpikir, Pantan Terong cocok untuk arena olahraga paralayang. Dan cahaya gemintang di kala malam akan syahdu jika harinya cerah, hal yang sangat diburu para wisatawan pecinta alam.

Silakan berkemah di sekitar sini, asal tidak berbaur antara laki dan perempuan, dan tidak buat keributan,” ucap Hasbullah yang tak pernah melepas sarung di badannya.

Karena tidak bawa tenda, kami pilih pulang. Hanya membawa kenangan dari Atap Gayo, cerita-cerita dalam foto mapun ingatan kami.[]

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU