Australia tak hanya soal kangguru dan koala. Saat berada di sana, saya malah lebih mudah menjumpai kawanan burung camar laut perak. Tak perlu ke daerah khusus semacam kebun binatang untuk melihat burung ini, cukup jalan-jalan di kota.
Selama lima minggu di Negara Bagian Victoria, saya cuma sekali melihat kawanan kangguru dari jarak dekat dalam perjalanan ke Talgarno, Albury-Wodonga. Selebihnya binatang berkantong itu dan koala hanya saya temukan dalam wujud suvenir, sablonan oleh-oleh, atau logo perusahaan.
Kenapa camar laut yang mudah ditemui di mana saja, tidak menjadi daya tarik pelaku industri kreatif untuk dibuatkan oleh-oleh? Padahal itu bisa jadi warna baru dalam sektor pariwisata Aussie. Perihal itu aneh bagi saya yang punya banyak kenangan dengan kawanan camar laut.
Suatu sore di minggu pertama di Taman Argyle, Carlton, Melbourne. Saya menikmati daun-daun London Plane, yang mirip bendera Kanada, bertebaran disapu angin pergantian musim. Pandangan saya lantas tertuju pada sekelompok burung camar laut. Badan burung itu berbulu putih salju dan sayapnya berwarna perak, sementara oranye mewarnai kaki, paruh, dan cincin matanya.
Dua dari mereka berjingkat-jingkat, mendekati seorang pria yang duduk di taman sembari kunyah cemilan. Sadar didekati, pria itu menjulurkan tangannya berisi secuil burger, dua ekor camar perak itu berebut meraihnya.
Saya perhatikan juga, anak-anak ditemani orangtuanya mengejar kawanan camar laut khas Australia itu. Namun para camar-camar itu tidak lari, hanya melompat sebentar lalu kembali ke taman. Suasana yang sangat langka di Indonesia.
“Kru kru kru,” saya mencoba memanggil camar perak itu agar mendekat. “Ayam, kali, dipanggil macam itu,” seloroh kawan saya asal Indonesia.
Saya tak punya makanan di tangan. Burung itu menatap saya. Lalu berjalan pelan mendekat. Pada jarak dua meter ia berhenti, lalu mundur. Saya tahu maksudnya: saya bukan perayu yang baik.
Saya coba lagi saat berakhir pekan di Pantai Saint Kilda. Kawanan camar perak berkumpul di tepi pantai. Mereka tak dengar ‘panggilan ayam’ saya. Lagi-lagi mereka tak menghiraukan saya.
Artikel Terkait: 5 Hal Romantis yang Bisa Kamu Lakukan Saat Senja di Pantai Saint Kilda, Melbourne
Ketika berjalan menyusuri dermaga Teluk Port Philip di timur pantai ini, tampak seekor camar perak bertengger di tiang lampu dermaga. Ia tak bergerak saat saya menatapnya dari bawah tiang itu, sangat cuek. Ia nampak asyik menyaksikan pengunjung yang lalu-lalang sepanjang dermaga.
Di Pantai Brighton, dua minggu kemudian, saya hampir berhasil mendapatkan perhatian mereka. Belasan camar laut terlihat berkerumun di sekitar 2 orang pengunjung –nampaknya mereka sepasang kekasih, yang bersila di tepi pantai. Burung-burung itu bak pengawal. Rupanya, sejoli manusia itu melemparkan sesuatu ke kawanan camar perak. Pantas! Sekarang saya sudah tahu triknya.
Artikel Terkait: 1 Jam di Pantai Brighton, Australia Saat Musim Dingin
Semakin hari saya perhatikan, kawanan camar laut selalu terlihat bercengkerama dengan manusia di setiap ruang terbuka hijau. Termasuk saat saya jalan-jalan sore ke Flinders Square, alun-alun Kota Melbourne. Karena banyaknya aktivitas manusia di sini, para camar perak ini hanya bertengger di pilar-pilar bangunan. Sesekali berjalan gontai di lantai alun-alun, dan akan turun jika ada pengunjung yang melempar pakan.
Rasa penasaran saya akhirnya pupus di minggu keempat. Sore itu, saya susuri pedestrian di bibir Sungai Yarra, bersebelahan dengan Flinders Railway Station.
Di tepi bantaran sungai yang sudah dibuat pembatas, sejumlah camar perak bercicit memancing ketertarikan pengunjung.
Saya dekati mereka. Berjongkok. Sebatang wafer cokelat saya remas hingga halus. Langsung saja, saya lempari umpan ini dengan pelan. Perlahan, satu sampai empat camar perak di hadapan saya berebutan makanan. Kemudian saya lempari lagi lebih dekat dengan saya, satu meter. Mereka maju ragu-ragu, hingga akhirnya saya dikerubungi.
Sesaat saja.
Sepasang angsa berbulu hitam dengan paruh merah kemudian dekati saya. Menjulurkan lehernya yang panjang. Saya sempat takut karena tidak ada lagi coklat di tangan. Untung saya sadar saya masih memiliki beberapa potong dalam tas. Lekas saya sodori sebatang, masing-masing mereka dapat setengah. Dengan tenang, saya biarkan angsa itu mengambil wafer coklat dari jemari saya. Syukurnya, saya berhasil memvideokan aksi mereka.
Di kota-kota besar di Indonesia, hanya sebuah mimpi untuk bisa bercengkerama dengan kawanan unggas di ruang terbuka. Bahkan, sebagian orang memburu burung untuk dijual atau dikonsumsi jika tak dipelihara.
Melbourne memberikan saya pengalaman persahabatan manusia dengan satwa. Sempat terlintas dalam pikir, apakah negara maju turut membuat unggas di sana berinsting ‘maju’?
Selain kawanan camar laut, hampir setiap subuh saya mendengar gagak hitam ‘berkokok’ dengan suara nyaringnya, “oak, oak, oak!” Gagak hitam ini menggantikan kokok ayam yang biasa saya dengar di Indonesia.
Saya berharap, suatu saat nanti camar perak juga menjadi ikon di Australia. Tak hanya kangguru dan koala.