Jangan Lupa (Etika) Oleh-oleh!

Titip oleh-oleh memang telah menjadi budaya di masyarakat kita. Namun lebih bijak jika kita tak melupakan etika saat titip oleh-oleh

SHARE :

Ditulis Oleh: Ayub Anggadireja

Foto oleh Ayub Anggadireja

Sebagai orang yang menyukai bepergian sendirian, saya kerapkali mendapat request oleh-oleh. Meminta oleh-oleh seolah menjadi bagian dari masyarakat kita, entah hanya basa-basi atau sepenuh hati, tidak sedikit orang menganggap oleh-oleh adalah sebuah janji yang harus dilakukan dan ditepati, singkatnya bepergian berarti oleh-oleh.

Dalam menitip/meminta oleh-oleh, hendaknya kita memperhatikan beberapa hal :

 

1. Apakah barang yang kita titip masuk akal?

Dalam pengalaman bepergian, saya pernah dititipi beragam hal, dari hal yang bisa saya penuhi seperti foto tulisan dengan latar belakang tempat yang sedang dikunjungi atau kartu pos, sampai ke hal yang tidak bisa saya penuhi. Saya pernah dititipi untuk membelikan sepatu dengan alasan barang tersebut belum ada di tanah air.

Setiap traveler pasti merasakan bahwa mobilitas adalah prioritas, bayangkan jika saya harus mencari titipan sepatu dengan spesifikasi merk, ukuran, dan warna tertentu, maka berapa banyak waktu terpakai yang seharusnya bisa digunakan untuk mengunjungi museum, gedung tua, atau tempat bersejarah dari kota yang sedang saya kunjungi?

 

2. Harga

Kerapkali orang berpikiran bahwa mereka yang bepergian dan mengunggah foto di media sosial adalah mereka yang mempunyai banyak uang.

Tapi pernahkah terpikir mengapa mereka bisa bepergian? Bisa jadi saat teman-temannya bersosialisasi di kafe mahal, memiliki gadget canggih terbaru, dan pakaian kekinian, para traveler ini justru bekerja keras dan menabung ekstra untuk mewujudkan mimpi ke tempat idamannya, sehingga tidak heran jika kita sering melihat banyak traveler yang berprinsip mementingkan pengalaman daripada penampilan.

Selalu tanamkan dalam pikiran bahwa pasti ada pengorbanan dalam mencapai impian, jangan sering hanya melihat “akibat” tanpa peduli “sebab”.

Menitip sesuatu yang mahal dengan dalih “nanti uangnya diganti” itu sungguh menunjukkan ketidakpedulian, bisa jadi uang yang nanti toh juga diganti itu berasal dari tabungan yang harusnya digunakan sebagai bekal membeli makanan, menyewa penginapan termurah, atau tiket transportasi.

Kalaupun beranggapan membeli barangnya dengan uang sendiri bukankah lebih baik diberikan sebelum berangkat atau segera ditransfer saat itu juga tanpa harus menunggu mereka pulang?

 

3. Berat

Salah satu titipan paling absurd yang pernah saya alami adalah diminta membelikan laptop. Dengan alasan sekian ratus ribu rupiah lebih murah saya diminta seorang teman untuk membawakannya karena saya saat itu sedang berada di luar Indonesia dan uangnya akan diganti jika saya sudah pulang, tapi jelas saya menolaknya karena tujuan saya bepergian adalah untuk menikmati perjalanan bukan untuk berburu barang elektronik. Lagipula sebagai seorang fotografer amatir saya seringkali membawa peralatan memotret ketika bepergian seperti body kamera, lensa, tripod, dan aksesoris lainnya. Peralatan fotografi ini tentunya akan menghabiskan ruang  dan beban dalam ransel besar saya, bayangkan jika saya ke mana-mana membawakan barang yang sebetulnya masih bisa didapatkan di pusat elektronik terdekat hanya karena sekian ratus ribu lebih murah?

Terdengar egois? Iya, tetapi lebih egois mana dengan menitip barang tanpa peduli betapa berat barang yang harus saya bawa?

Ketika menitip oleh-oleh, meskipun hanya barang kecil setidaknya kita harus cari tahu terlebih dahulu berapa berat benda tersebut, jangan sampai keinginan untuk memiliki suatu benda membuat kita tidak peduli dengan keadaan teman yang akan membawakannya.

Ingat, berteman dengan seorang traveler bukan berarti kamu mempunyai kurir khusus yang bisa diminta membeli ini-itu.

 

4. Prioritas

Seorang traveler tentu akan membawa cinderamata khas dari tempat yang dikunjunginya. Saya pribadi pasti memiliki daftar orang-orang yang akan saya bawakan souvenir sepulang saya bepergian, antara lain keluarga, sahabat dekat, dan orang-orang yang setiap harinya saya temui (meskipun tidak semua). Namun pernah suatu ketika salah seorang teman yang sudah lama tidak bertukar kabar mendadak tanpa basa-basi mengirimi saya pesan “oleh-oleh buat gue mana?”.

Dalam meminta oleh-oleh hendaknya kita harus sadar diri, setiap orang memiliki pertimbangan prioritasnya sendiri, jangan pernah merasa bahwa kita berada pada level prioritas yang sama dengan keluarga mereka, karena kita tidak tahu apa saja titipan ayah, ibu, kakak, atau adik yang harus mereka prioritaskan, terlebih jika keluarga dekatnya pun tidak meminta apa-apa, ada baiknya tunggu sampai teman tersebut bertanya “mau titip apa?”.

***

“Lalu harus bagaimana?”

Jika mempunyai teman yang akan bepergian, kita bisa ganti basa-basi “jangan lupa oleh-oleh yang banyak” dengan “jangan lupa banyakin foto dan cerita pengalaman di sana”, bukankah oleh-oleh terbaik adalah yang bisa memacu semangat untuk menyusul mereka?

 

“Tapi ada barang yang pengen banget  gue beli dan mumpung dia lagi di sana”

Zaman sudah berubah ke era e-commerce, berbelanja sudah bisa dilakukan lewat internet tanpa mengenal batas negara atau benua, tinggal klik dan semua bisa kamu dapatkan.

 

“Ongkos kirim kan mahal”

Memangnya temanmu bepergian tidak membeli tiket?

 

Gue nggak ngerti cara belanja online”

Belajar atau bertanya, ada banyak tutorial yang bisa didapatkan dengan mudah di internet.

***

Secara singkat oleh-oleh adalah hak prerogatif seorang traveler, janganlah kita menuntut apalagi marah jika seorang teman tidak membawakan buah tangan setelah bepergian yang mungkin karena keterbatasan waktu ataupun dana, yang bisa kita lakukan adalah mendoakan keselamatan dan selalu berusaha agar kelak bisa mengunjungi tempat yang sama dengan teman tersebut.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU