Saya memang belum keliling Indonesia, belum ke Eropa, belum ke benua Amerika, belum ke Australia, belum ke Timur Tengah, apalagi ke Afrika dan Antartika. Baru kunjungi sedikit negara di Asia, beberapa provinsi dan cukup banyak gunung di Indonesia. Tapi, suka kesel sih kalau ada yang “nyinyir” ngapain ke luar negeri kalau di Indonesia saja banyak tempat indah?
Setuju banget kalau Indonesia punya banyak destinasi keren. Indonesia Timur misalnya, keindahannya bisa menarik banyak turis asing buat ke sana. Pulau Komodo, Raja Ampat, Misol, Banda Neira, Ternate, Tidore, Flores, Sumba. Bahkan Raja Ampat dinobatkan sebagai pulau paling cantik di dunia oleh CNTraveler. Linknya ada di sini.
Pokoknya sudah nggak diragukan lagi, Indonesia memang cantik banget. Tapi, jangan terlalu jumawa. Di atas langit masih ada langit. Indonesia indah banget, tapi di luar sana pun ada tempat yang jauh lebih indah.
Ini pertanyaan teman saya yang bikin agak bete,
“Kamu kenapa jalan-jalan ke Angkor Wat? Bujet segitu mah bisa dipake buat jalan-jalan ke Komodo. Malah jauh lebih indah. Kata temenku Angkor Wat kotor”
Sebelum saya jawab, gantian saya tanya ke dia, Kamu sudah pernah ke Pulau Komodo dan Angkor Wat? Dan jawaban yang keluar dari mulutnya semakin bikin bete, dia belum pernah pergi ke kedua tempat tersebut. Cuma lihat di instagram dan atas dasar “katanya”.
Rasanya sombong sekali kalau Kamu bilang Pulau Komodo jauh lebih indah dari Angkor Wat sedangkan Kamu belum pernah ke sana. Lagi pula, Angkor Wat dan Pulau Komodo adalah dua hal yang berbeda, nggak bisa dibandingkan. Analoginya, seperti membandingkan seblak basah pedes banget dengan jagung manis susu keju. Beda. (Sorry, pakai analogi jajanan, lagi pengen makan seblak)
Yang bikin saya heran, kenapa ya traveling selalu dikaitkan dengan destinasi yang indah?
Mungkin, istilah narrow minded cocok di sandang oleh teman saya itu. Narrow minded bermakna orang yang mempertahankan pendapatnya dengan cara yang sempit. Dia nggak bisa membutikan pendapatnya melalui data atau fakta. Hanya berdasar “katanya”, lhah gimana bisa tahu Indonesia lebih indah? Lagi pula kan traveling itu bukan cuma tentang destinasi yang indah.
Asumsi saya, teman saya ini terlalu terpengaruh dengan promosi pariwisata, foto-foto instagram, dan acara jalan-jalan di TV Indonesia. Rata-rata memang tampilkan visualisasi pemandangan destinasi yang cuantiiikk banget.
Terlalu terfokus mencari keindahan, akhirnya malah mengabaikan apa yang ada di sekitar. Apa yang bisa ‘dipetik’ dari perjalanan? Bagaimana kehidupan dan kebiasaan penduduk sekitar?
Yah, pantas saja banyak museum di Indonesia yang sepi. Tujuan orang-orang traveling kan cari yang indah-indah.
Memang benar, tujuan traveling masing-masing orang berbeda. Teman saya jalan-jalan karena iri setelah melihat postingan foto-foto traveling yang keren. Ada yang traveling buat menghilangkan stres. Sedangkan saya, awalnya, jalan-jalan hanya karena ‘butuh’.
Lalu, setelah memulai perjalanan, keinginan meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris semakin besar, ingin belajar budaya lain, ingin tahu berbagai macam bahasa dunia, dan kecanduan bertemu dan berteman dengan banyak orang dari berbagai negara. Karena alasan itulah, sekarang ini saya lebih tertarik buat backpacking ke luar negeri dari pada ke Indonesia Timur.
Tujuan dan realitas ternyata berbanding lurus. Nggak sia-sia saya backpacking ke luar negeri. Saat di Vietnam, saya berkenalan dengan Michelle, turis asal Belanda yang penasaran banget dengan Indonesia. Dia cerita di kota tempat tinggalnya, banyak restoran yang menjual masakan Indonesia. Katanya, lumpia Indonesia lebih enak dari spring roll (sejenis lumpia) di Vietnam.
Lalu, saat di Singapura, saya pernah habiskan waktu semalaman bareng turis asal Swedia. Hasil ngobrol semalaman sama dia, saya jadi tahu bahwa turis asing seperti dia menganggap orang Indonesia adalah pejalan tangguh. Teruji di kehidupan sehari-hari yang tetap ‘bakoh’ (kuat) hidup di tengah kemacetan lalu lintas dan melawan para calo-calo bis umum. Entah ini pujian atau sarkasme, tapi saya ambil positifnya saja. Ini pujian.
Well, banyak keuntungan yang didapat dari ngobrol bareng orang baru. Apalagi dengan orang asing. Paling utama sih, kemampuan bahasa Inggris saya meningkat. Karena mau nggak mau kita dipaksa buat ngomong Inggris. Dampak positifnya, sekarang saya lebih percaya diri ngomong pakai bahasa Inggris. Sebelum ke luar negeri, nyapa turis asing aja susah.
Pernah cicipi mie asli Kamboja yang menurut saya rasanya agak aneh. Satu mangkuk mie bihun dengan kuah santan yang mirip opor lalu ada tambahan kacang panjang mentah, irisan pepaya mentah, batang bunga teratai dan mentimun.
Kuahnya lumayan enak gurih-gurih manis, tapi pas dikunyah bareng mie bihun dan sayuran mentahnya, rasa mie berubah jadi aneh. Saat itulah saya kangen mie kuah burjo pakai telor.
Saya merasakan diskriminasi ras saat makan di salah satu rumah makan di Siem Reap. Pelayan di sana sangat ramah saat melayani turis asing berkulit putih. Saking ramahnya, buat nanya mau makan apa saja ada intro yang cukup panjang sambil senyum-senyum bahagia.
Sedangkan saat tiba giliran saya, mereka cuek-cuek saja. Itu juga berlaku saat jalan-jalan di pasar tradisional. Nggak ada yang nawarin saya souvenir. Kalau ini, mungkin karena faktor wajah yang kelihatan seperti orang tak berduit.
Saat di Saigon, saya iseng tanya teman satu kamar di hostel yang berasal dari Australia tentang perlakuan orang Asia pada turis kulit putih. Benar saja, dia selalu diperlakukan bak superstar saat jalan-jalan di Asia. Well, cukup memberikan bukti kalau bule nggak hanya diperlakukan spesial di Indonesia saja, tapi di Kamboja, Vietnam, dan negara-negara di Asia lainnya.
Kita semua tahu, Indonesia dan Malaysia pernah tegang masalah sengketa pulau dan berebut hak cipta lagu Rasa Sayange. Jujur, saat itu saya ikut kesal juga. Namun, perjalanan ke Kuala Lumpur telah membuka mata saya. Bahwa orang Indonesia diperlakukan sangat baik di sana.
Suatu waktu sempat berkenalan dengan bapak penjaga loker di KL Sentral. Cukup banyak ngobrol akhirnya dia menawari saya makan bersama.
Lalu, saya juga berkenalan dengan warga lokal Malaysia. Dia sangat baik. Seharian dia menemani saya keliling Kuala Lumpur, mengajak makan, mengajari bahasa Melayu, dan mengantarkan sampai di KL Sentral.
Well, tuan rumah yang sangat baik bukan? Sebelum saya pulang, dia sempat bertanya,
” Menurut Kamu, orang Malaysia baik tak?”
Jika Kamu melihat banyak pengemis di Indonesia, di Kamboja juga banyak. Bahkan di destinasi internasional sekelas Angkor Wat pun banyak pengemis yang berkeliaran. Anak kecil mencari sisa makanan di tempat sampah sudah biasa. Coba bandingkan dengan Borobudur, meski masih kalah keren dari Angkor Wat, tapi Borobudur aman dari pengemis. Lebih nyaman.
Well, setiap pejalan punya tujuan traveling yang berbeda. Tapi, kalau traveling cuma cari keindahan, mana mungkin saya bisa dapatkan pengalaman di atas. Mungkin sepulang jalan-jalan saya cuma bisa pamer foto-foto keren.
Seminggu masih bertahan dengan euforia liburan dengan ganti profile picture hasil jalan-jalan. Saat ditanya, apa yang didapat dari jalan-jalan selain foto ini? Apa yang sudah dipelajari? Nggak ada.
Yap, mungkin karena terlalu fokus dapatkan foto cantik dengan pemandangan keren, jadi cuek dengan mereka yang ada di sekitar.
Namun, jika traveling itu benar-benar dimaknai sebagai perjalanan bukan sekadar cari keindahan, pengalaman traveling yang Kamu alami akan tersimpan rapi di loker ingatan. Yang sewaktu-waktu masih bisa dibuka, baca ulang, dan nggak pernah takut hilang.
***