Bosan camping di gunung, kami berniat menggelar tenda di pinggir pantai, dengan nyanyian laut sepanjang malam. Ditemani gitar kecil dan segelas kopi. Bernyanyi sesuka hati. Quality time terpenuhi, galau dijamin langsung pergi.
Pantai-pantai di Pacitan, Jawa Timur yang sedang naik daun menjadi bidikan. Kami berencana berkunjung ke Pantai Srau yang masih sepi. Tak banyak yang tahu tentang pantai ini. Sepanjang perjalanan kamu akan melewati pinggiran hutan yang masih cukup lebat, jauh dari pemukiman penduduk.
Setibanya di Pantai Srau saya melonjak gembira. Pantai ini benar-benar sepi dan sangat luas, rasanya seperti memiliki pantai pribadi! Bayangkan, hanya ada 6 tenda di pantai ini, dan sisanya masih luas sekali untuk sekadar bermain voli. Di bagian tengah pantai ada sebuah batu karang besar untuk memandang ke laut lepas. Pasirnya putih bersih, dan juga hangat, nyaman untuk bergulingan diatasnya. Tebing-tebingnya dirambati beberapa jenis tanaman.
Di kejauhan nampak beberapa peselancar lokal asyik “bermain” di lautan. Ombak di pantai ini memang cukup besar, cukup “nyaman” menjadi lahan bermain para peselancar.
Kami menjaga jarak yang agak jauh dari bibir pantai dan memastikan ombak tidak akan mencapai tempat kami. Namun, kebingungan muncul saat kami akan menggelar tenda.
‘Ini cara mendirikannya gimana ya?’
Aku dan teman-teman lain berpandangan. Tak ada jawaban. Ini kali pertama kami ngecamp bukan di gunung.
‘Kayaknya sama aja deh kayak di gunung,’ aku menjawab asal sambil mulai memasang frame.
Tiba-tiba Randi, seorang teman saya, menghentak-hentakkan kakinya ke pasir. ‘Sebaiknya kita pindah. Ke situ tuh, yang dekat rerumputan.’ Kami mengikuti. Rupanya kepadatan pasir menjadi alasan Randi. Pasir di tempat yang Randi pilih lebih padat. Kami harus pasang pasak sedalam mungkin, karena pasir pantai tidak sekuat tanah pegunungan.
Setelah tenda terpasang, malam itu kami main poker, namun kali ini main pokernya sangat berbeda. Latar suara gemuruh ombak yang semakin malam semakin terdengar jelas, beratapkan langit bertabur bintang dan cahaya bulan yang cantik, juga angin pantai yang semakin lama semakin dingin. Aku merapatkan jaketku.
Kami membuat aturan bagi yang kalah, dia harus jongkok sampai ia berhasil menjadi pemenang pertama dalam permainan. Di putaran selanjutnya yang jongkok menjadi dua orang, tiga orang, karena saya selalu menjadi pemenang yang pertama. Rara, salah satu temanku iseng mendorong Randi yang masih jongkok, lalu ia menimpa Ali yang juga masih dalam posisi jongkok. Mereka roboh berurutan, mirip boneka daruma berguling! Hahaha.
Lelah bermain poker, kami lapar. Andi, berinisiatif menggali pasir. Berbeda seperti saat di gunung, menyalakan api unggun di pantai harus sedikit cerdik.
‘Nih, kalau mau bikin api unggun di pantai, harus menggali pasir sedikit untuk membuat pondasi api. Biar nggak mati mulu ketiup angin!‘ begitu katanya. Setelah mengorek pasir sekitar sedalam 10 cm, ia memasukkan kayu kering yang awet dibakar. Setelah itu susun kayu agar api awet menyala.
Api menyala, Andi mengeluarkan kantong keresek hasil membeli hasil tangkapan nelayan tadi siang. Nelayan di sini biasanya memancing ikan panjo, mirip ikan cucut tapi warna tulangnya hijau agak kebiru-biruan. Ikan 1 ekor harganya sekitar 40 ribuan. Kami membakarnya dan memakannya ramai-ramai. Ternyata, camping di pantai tidak kalah mengasyikan dibanding camping di gunung!