Meski tak pernah berhadapan langsung atau sampai diserang hewan ini saat sedang mendaki, beberapa kali saya pernah melihat langsung babi hutan berkeliaran di sekitar jalur pendakian ataupun di sekitar camp area. Dan babi hutan juga biasanya punya jalur berjalannya sendiri yang kerapkali menyesatkan para pendaki, seperti yang pernah saya alam sewaktu tersesat di gunung sawal dulu.
Berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga cerita-cerita yang saya dengar kawan-kawan sesama pendaki, bisa disimpulkan bahwa babi hutan adalah salah satu hewan liar yang paling sering ditemui para pendaki gunung. Maka dari itu, kita harus waspada dengan mempelajari tingkah laku babi hutan dan cara menghindari hewan ini. Jika tak berhati-hati, bisa-bisa kita kena serangan hewan yang cukup ganas ini.
Seorang kawan pernah bercerita tentang pengalaman diserang babi hutan sewaktu berkemah di salah satu pos pendakian Gunung Slamet. Gara-gara tak sadar telah memasang tenda di jalur lewat si babi, pada tengah malam, saad sedang beristirahat dengan nyaman, tiba-tiba tendanya diserang sekelompok babi hutan hingga sobek di beberapa bagian. Beruntung cuma tenda yang sobek, kalau sampai tubuh yang kena, bisa bahaya kan.
Baca juga: Tips Menghindari Babi Hutan Saat Pendakian
Kalau di daerah Sunda, kami menyebut hewan kecil serupa lintah ini dengan nama pacet, di daerah lain namanya mungkin bisa berbeda. Yang pasti, hewan kecil ini cukup sering saya temukan, terutama saat mendaki gunung-gunung dengan karakter hutan yang lebat dengan kelembaban udara yang cukup tinggi.
Jika lintah lebih senang hidup di daerah berair seperti rawa dan sungai, pacet biasanya hidup menempel di batang pohon, dedaunan, atau rumput-rumput liar. Karena ukurannya yang sangat kecil, hewan ini sangat sulit dihindari, pergerakannya pun seringkali tak terasa, tanpa kita sadari, tahu-tahu hewan ini sudah menempel dan menghisap darah dari bagian-bagian kulit tubuh kita yang terbuka.
Gigitannya memang tak menyakitkan, bahkan tak terasa sama sekali. Efeknya paling setelah lepas, darah kita akan menetes dengan lancar dari luka bebas gigitan hewan ini. Tapi yang paling menjengkelkan adalah bekas luka tersebut bakal terasa gatal, dan sukar hilang. Jika tak diobati, bekas luka tersebut bakal menimbulkan bekas hitam di kulit kita.
Untuk menghindari hewan ini, usahakan untuk menutup beberapa bagian kulit yang sering terbuka seperti kaki, tangan, leher, dll saat sedang melewati area yang terkenal sebagai habitat si pacet ini.
Ada yang bilang, jika terkena gigitan ular berbisa, penanggulangan paling efektif adalah dengan menggunakan darah si ular tersebut sebagai obat penawarnya. Dan hal ini bakal sulit untuk dilakukan di medan hutan pegunungan yang masih cukup lebat, karena si ular biasanya langsung kabur dan menyelinap di sela-sela pepohonan. Maka dari itu, sebisa mungkin kita harus berhati-hati jangan sampai terserang ular berbisa saat tengah mendaki.
Dari pengalaman saya, baru 2 kali bertemu langsung dengan ular saat sedang mendaki. Yang pertama terjadi di sebuah sungai kecil tempat mengambil air, saat itu si ular cuma lewat saja sehingga tak ada kontak langsung yang berbahaya. Sedangkan di pertemuan lainnya, seekor ular sempat mengganggu perjalanan saya. Saat itu, seorang teman yang berada di barisan paling depan secara tak sengaja menyenggol ular yang sedang nongkrong di tengah jalur pendakian. Alhasil, si ular tampak marah dengan kepala mengembang siap menyerang siapa saja yang berani lewat. Agak panik juga hingga saya tak berani lewat, beruntung setelah menunggu beberapa saat, si ular nampak kembali tenang dan kemudian pergi begitu saja.
Baca juga: 10 Dasar Bertahan Untuk Hidup di Alam
Kalau hanya seekor atau 2 ekor saja yang tiba-tiba menyerang, pasti kita masih berani menghadapi dan coba mengusir hewan berbulu ini. Nah kalau segerombolan yang datang, apalagi jika dipimpin kepala gengnya yang biasanya berukuran lebih besar dengan taring yang tajam, pasti agak ngeri juga, kan?
Saat sedang berkemah di Gunung Galunggung, saya sempat mengalami kejadian tersebut. Sedang asyik-asyiknya memasak sarapan pagi bersama beberapa teman, tiba-tiba segerombolan monyet datang menyerang. Otomatis kita semua agak panik, apalagi setelah melihat pejantan alfa menunjukkan taring tajamnya.
Namun tenang saja, di gunung yang tak terlalu sering dikunjungi wisatawan, para monyet biasanya lebih memilih menghindari kontak dengan manusia. Hal yang perlu kita lakukan salah satunya dengan tidak membuang sisa makanan dengan sembarangan, dan menyimpan persediaan makanan kita di dalam tenda.
Bukan termasuk jenis serigala yang hidup di hutan-hutan Amerika dan Eropa, bukan pula anjing kampung yang banyak dijadikan peliharaan, ajag adalah anjing hutan khas Nusantara yang banyak ditemukan di Pulau Sumatra dan Jawa.
Ajag biasanya hidup bergerombol, perawakannya tak sebesar serigala dan tak sekecil anjing kampung, dan biasanya memiliki bulu berwarna cokelat dengan sedikit warna putih di bagian dada. Bulu di bagian ekornya lebih lebat dan berwarna agak gelap.
Hewan ini biasanya aktif berburu di malam hari, sehingga jika Anda ingin mengurangi resiko kontak langsung dengan ajag, lebih baik memilih waktu pendakian di siang hari. Di satu perjalanan pendakian, saya pernah bertemu beberapa ekor ajag. Saat itu, beberapa ajag dengan mata menyala dalam gelap terlihat mendekati tenda yang saya dirikan. Mereka tidak menyerang, hanya saja saya agak waswas dengan kedatangan hewan ini, apalagi di kejauhan terdengar lolongan-lolongan kawanannya yang lumayan bikin merinding.
Untuk mencegah kontak dengan hewan ini, hindari membuang atau menyimpan sisa-sisa makanan diluar atau dekat tenda. Bila perlu, buat api unggun agar mereka takut untuk mendekat.
Hewan ganas lain yang mungkin perlu diwaspadai adalah macan kumbang. Meski cerita pertemuan pendaki dengan hewan ini jarang terjadi, namun bukan berarti kontak dengan hewan ini tak mungkin terjadi. Apalagi jika kebetulan gunung yang kita daki merupakan kawasan konservasi tempat mereka hidup.
Sebagai upaya mencegah kontak langsung, cobalah untuk banyak bertanya informasi seputar hewan tersebut kepada para petugas, dan minimalisir pergerakan di luar jalur pendakian resmi.
***
Tak semua hewan liar bersifat ganas dan berbahaya, ada banyak pula hewan lain yang justru akan membuat pendakian kita terasa lebih menyenangkan. Beberapa di antaranya seperti burung dengan suara merdu yang sering membuat damai suasana hutan, burung atau hewan lain yang berbulu cantik dan berwarna terang tentu akan sangat sedap dipandang mata, sedangkan burung-burung berperawakakan gagah seperti elang, biasanya akan membuat kita terkagum-kagum saat mereka terbang dengan anggun di atas pepohonan.
Baca juga: 6 Barang yang Dapat Disiasati Agar Pendakian Lebih Ringan
Perjumpaan dengan hewan adalah hal yang lumrah terjadi di tengah petualangan, apalagi jika kita bertualang di wilayah yang termasuk kawasan konservasi. Maka dari itu, sebaiknya kita harus bersiap dan belajar teknik terbaik yang bisa dilakukan saat harus berhadapan langsung dengan hewan liar yang ada di alam.
Perlu untuk diingat, posisi kita saat bertualang di alam bebas adalah sebagai tamu, sebisa mungkin jangan sampai kita mengganggu apalagi merusak habitat hidup mereka. Jika kebetulan mereka menyerang, alasannya pasti karena mereka terusik oleh kehadiran kita, sehingga memunculkan sikap defensif sebagai pertahanan diri.
Semoga bermanfaat, salam lestari!