Kecantikan Misterius Fulan Fehan dan Benteng Tujuh Lapis, Nusa Tenggara Timur

Fulan Fehan dan Benteng Tujuh Lapis di Nusa Tenggara Timur belum banyak dikenal para pejalan. Kecantikan mereka terasa misterius.

SHARE :

Ditulis Oleh: Dea Sihotang

Hamparan padang rumput menghijau terbentang luas di depan kami. “Wow! Akhirnya kita bisa sampai juga!!” seruku senang. Bagaimana tidak. Sudah hampir dua jam aku berusaha menahan goncangan selama menumpang di boncengan belakang kak Donny. Jalanan dari Desa Weluli menuju Fulan Fehan yang terletak di kaki gunung Lakaan ini sama sekali tidak bisa dibilang bagus.Fulan Fehan jaraknya sekitar 42 km dari Atambua. Jalanan menuju Desa Weluli memang masih bisa dibilang mulus ketika kami berangkat dari Atambua, NTT, pagi tadi. Tetapi sesampainya di Desa Weluli, kami harus setengah mati melanjutkan perjalanan melewati jalanan dengan batu-batu sekepal tangan yang terlepas dan memenuhi jalan.

Perjalanan dari Atambua menuju Weluli

‘Gila!’, pikirku dalam hati. Tanganku memegang pegangan besi di belakang motor dengan kuat. Sambil sesekali berusaha mencoba mengambil video dan foto untuk dokumentasi perjalananku. Banyaknya bukit-bukit menghijau di daerah Atambua dan sekitarnya membuat pemandangan alam terlihat cantik menarik. Beberapa rumah juga hampir tertutupi oleh lautan pohon jagung muda yang mulai meninggi. Musim hujan telah tiba. Masyarakat mulai sibuk memanfaatkan waktu untuk menanam jagung dan labu siam. Walau belum kulihat sawah-sawah mulai di bajak. Semua itu membuat perjalanan menuju Desa Weluli tidaklah menyiksa.

Jalan batuan lepas ketika menuju Fulan Fehan

Penyiksaan dimulai ketika kami beranjak dari Desa Weluli ke Desa Dirun dimana Fulan Fehan berada. Mereka bilang, untuk mencapai tempat-tempat yang luar biasa indah, ada harga yang harus dibayar. Untungnya saja setelah lelah selama dua jam berpacu dengan motor dan terguncang-guncang berkali-kali dengan rasa panik, semua terbayarkan ketika terhampar di depan kami padang rumput sabana yang begitu luas menghijau berlatarkan Gunung Lakaan yang terlihat misterius dengan gurat-gurat bayang bukit-bukitnya.

Akhirnya tiba di Fulan Fehan

“Wowwww, dimana-mana sapi dan kuda!” seruku kegirangan. Rasanya seru sekali melihat hewan-hewan ini berjalan bebas di alam luas seperti ini. Dari kejauhan terlihat seorang pengembala sedang memperhatikan kami. Mungkin jarang-jarang dia melihat orang berbondong-bondong di Fulan Fehan siang bolong seperti itu.

Ternak-ternak yang dibiarkan merumput bebas di alam

“Dulu lebih banyak lagi, Dea.” kata Oscar, salah seorang dari Dinas Pariwisata Kabupaten Belu yang menemani kami siang itu. “Sekarang sudah berkurang hewan-hewan yang ada disini,” lanjutnya lagi. Ketika tiba di Atambua, aku memang langsung menuju kantor Dinas Pariwisata setempat untuk bertanya-tanya mengenai tempat-tempat wisata yang bisa kukunjungi selama berada di Atambua. Bukan hanya menunjukkan dengan kata-kata, ternyata Oscar juga bersedia untuk menemani kami berpergian. Senangnya!

Kami lalu menuju ke satu spot yang begitu indah terletak di pinggir tebing. Dari situ kita bisa melihat hampir keseluruhan area di Kabupaten Belu. Bahkan dari kejauhan terdapat gunung-gunung tinggi yang merupakan bagian dari Timor Leste. Karena letaknya di tepi tebing, kami harus berhati-hati agar tidak terpeleset atau bahkan tertiup oleh angin. Maklum, lembah tersebut curam sekali karena lokasi kami yang begitu tinggi.

Salah satu tebing yang terdapat di Fulan Fehan

Satu yang menarik di Fulan Fehan adalah banyak kaktus yang tumbuh liar di beberapa tempat. Kaktus di atas gunung? Kaktus bisa tumbuh di dalam cuaca dingin? Unik sekali bukan?

Uniknya, banyak terdapat kaktus di tempat ini

“Ayo kita ke Benteng Kikit Gewen,” ajak Oscar kepada kami.

Kami lalu mengikuti dia menuju sebuah benteng kecil yang berada tepat di pinggir tebing lainnya. Benteng ini terbuat dari batu-batu alami yang dibuat seperti pagar setinggi dada. Rimbunnya pohon di dalam benteng membuat area tersebut terlihat seperti hutan kecil yang misterius. Menurutku hal ini aneh sekali karena di antara padang rumput yang begitu luas menghijau, terdapat sebuah benteng pertahanan para leluhur dulunya di salah satu titik dengan pohon-pohon lebat yang tumbuh subur. Lalu aku tahu kemudian, bahwa benteng ini dulu merupakan tempat para pahlawan, atau yang biasa di sebut Meo. Di benteng ini biasanya mereka akan mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dulu dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.

Benteng Kikit Gewen, benteng para Meo

Ternyata selain Benteng Kikit Gewen yang berarti burung Rajawali, ada juga benteng lain di dalam padang Fulan Fehan. Ini merupakan benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu. Benteng ini bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis 7, benteng perang tradisional ketika dulu di pedalaman Timor masih marak terjadi perang antar suku. Di benteng ini terdapat lapisan-lapisan pertahanan yang dimulai dari awal pintu masuk hingga akhirnya ke lapisan terakhir dimana terdapat sebuah area bulat dari batu membentuk sebuah tempat pertemuan, tempat dimana raja-raja waktu dulu berkumpul. Susunan bangku ruang pertemuan dari batu tersebut masih terlihat asli dan alami. Di tengah tempat pertemuan terdapat dua buah batu besar dan kecil yang konon dulu dipergunakan untuk menaruh kepala musuh mereka.

Tempat para raja berkumpul

Salah satu bangku batu terlihat spesial dari yang lainnya karena memiliki singasana batu yang lebih tinggi. Ternyata itu merupakan tempat raja Suku Uma Metan. Sebuah batu bulat pipih juga tergeletak sebagai alas duduk yang tidak boleh diduduki oleh siapapun juga, bahkan sampai sekarang. Masyarakat Timor percaya jika mereka menduduki bangku tersebut, maka nasib buruk bisa menimpa mereka. Tepat di belakang bangku tersebut terdapat sebuah batu persegi panjang yang ternyata adalah makam dari sang raja pertama Kerajaan Dirun, Raja Dasi Manu Loeq.

Makam raja pertama kerajaaan Dirun

Theo, seorang teman kami yang merupakan salah satu keturunan dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja, Theo bermaksud menyampaikan rasa hormat kami terhadap beliau. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.

Kami beranjak ke halaman belakang benteng, dimana terdapat Hol Makes, yaitu tempat memanggil pasukan atau rakyat, serta tempat khusus untuk meneriakkan perang pada waktu itu. Letaknya memang di pinggir tebing dengan lembah-lembah di sekitarnya sehingga aku yakin jika kita berteriak, akan terdengar keras sekali karena efek pantulan dari lembah-lembah tersebut. Terbayangkan bagaimana situasi pada masa itu, mungkin saja lebih hebat dari film box office yang biasa kita lihat di bioskop.

Pengalaman perjalananku menuju Fulan Fehan dan benteng-bentengnya memberikan kesan yang begitu mendalam. Sebagai anak bangsa, aku merasa kagum akan kecermatan para leluhur untuk mengamankan rakyat mereka dengan menggunakan hal-hal yang sederhana. Aku juga kagum dengan seluruh cerita-cerita budaya yang diceritakan dari generasi ke generasi hingga sampai ke telingaku. Masyarakat di Pulau Timor begitu murah hati dengan menceritakan kebudayaan mereka. Ini menunjukkan betapa kompleksnya adat istiadat yang dimiliki oleh bangsa kita dahulu kala, serta menimbulkan rasa bangga karena rakyat Indonesia sedari dulu sudah begitu gagah dan kaya akan strategi dan taktik perang. Bahkan mereka yang dulu di cap sebagai rakyat primitif nyatanya menghasilkan seni budaya yang begitu menarik dari masa ke masa.

Kami di Hol Makes, batu tempat perang diserukan

Aku teringat kepada ucapan pak Esau Nalle dari Rote, “Jangan pernah lupakan sejarah dan budaya kita, Dea, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan dari mana mereka berasal.”

Mari terus kenali budaya-budaya di Indonesia. Jika kamu ingin tahu lebih banyak tentang budaya Suku Uma Metan, kamu bisa berkunjung langsung ke tempat ini atau catat acara-acara adat mereka sebagai berikut :

Kamu juga bisa menghubungi Dinas Pariwisata Kabupaten Belu untuk tahu informasi lebih lanjut tentang acara-acara tersebut diatas.

 

Salam traveling!

Dea Sihotang

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU