7 Kuliner Jogja yang Tidak Saya Temukan di Surabaya

Tahun pertama saya tinggal di Jogja, saya menemukan banyak kuliner menarik yang tak pernah saya temui di kampung halaman saya, Surabaya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Bayu Topan

Makanan tidak sekadar pemuas lidah dan perut. Lebih dari itu. Bagi sebagian pelancong makanan adalah bagian dari ritual perjalanan mereka. Tak jarang makanan menjadi perindu akan suatu daerah.

Saya pindah ke kota ini sejak September 2014 yang lalu.

Jogja, kota yang kata orang adalah kota sangat dirindukan untuk dikunjungi kembali. Benar, sekarang saya tinggal di kota yang dirindukan oleh banyak orang itu.

Minggu-minggu pertama saya tinggal, saya mengeksplorasi kuliner di sini. Itu harus saya lakukan untuk asupan saya sehari-hari. Dan itu tidak mudah. Ada beberapa nama makanan yang terdengar asing bagi saya di kota yang istimewa ini.

1. Menyantap magelangan di Burjo

Bila di Surabaya saya mengenal ‘giras’ untuk istilah warung kopi maka di Jogja, selain banyak ditemukan angkringan dimana-mana, juga ada ‘burjo’.

Burjo berbeda dengan angkringan, meskipun sama-sama sebagai tempat untuk minum kopi dan makan murah. Bila angkringan umumnya menggunakan rombong kayu dan tenda terpal, burjo bertempat di dalam ruangan layaknya warung makan.

Burjo sebenarnya adalah nama makanan, singkatan dari bubur kacang ijo. Namun kemudian menjadi istilah dari warung ini sendiri. Di dalam burjo ini selain bisa menyantap bubur kacang ijo juga bisa menikmati menu lainnya seperti nasi goreng, nasi ikan sarden, indomie, aneka gorengan, dan magelangan.

Nah menu yang saya sebutkan terakhir ini adalah makanan yang membuat saya penasaran pada minggu pertama saya tinggal di Jogja.

Ketika mendatangai burjo ada pembeli yang memesan menu ini. Saya pun yang penasaran melirik tanpa malu pada piring makannya. Terlihat mirip nasi goreng dan menyebul beberapa helai mie di sana.

Magelangan bagi orang Jawa Timur adalah Nasi Goreng Mawut, nasi goreng yang dicampur dengan mie dan sayuran. Mawut berasal dari kata ‘semrawut’. Dari tampangnya saja sudah semrawut karena banyak campuran. Ah, saya pun lega dan penasaran saya pun hilang.

2. Uniknya bentuk jadah manten

Ini penganan bentuknya unik dan sakral. Dan mistis. Mirip boneka guna-guna. Di Kota Gudeg lah saya menjumpainya pertama kali.

Saya membelinya di Pasar Sentul di suatu pagi untuk teman perjalanan 12 jam saya di kereta api menuju Banyuwangi.

Dibungkus dengan telur dadar dan dijepit dengan stik bambu yang ujung-ujungnya tertancap potongan buncis hijau, sangat berbau klenik.

Isi dari bungkusan telur dadar tadi adalah kepalan beras ketan yang berisi cincangan daging ayam. Jadah Manten ini boleh dibilang lemper atau semar mendem hanya saja dikemas berbeda.

3. Kuliner ekstrim seng su dan tongseng jamu

Ada warung yang menawarkan menu seperti Seng Su (Tongseng Asu), Tongseng Jamu, Sate Guguk atau Sate Scoby Doo. Warung-warung ini memang menawarkan pengalaman kuliner yang ekstrim karena bahan utama yang digunakan dalam masakan mereka adalah daging anjing.

Pernah sekali saya masuk ke warung Seng Su ini untuk mengantarkan Dimitar Lilchev, teman saya yang berkebangsaan Bulgaria. Warung ini kebetulan hanya berjarak 50 meter dari kosan saya. Saya menjelaskan padanya mengenai warung ini dan kemudian ia tertarik ingin mencobanya. Ia menyantapnya dengan lahap. “Aku tidak yakin ini daging anjing,” katanya dengan Bahasa Inggris. Saya hanya mengangkat bahu menanggapinya.

Tanpa sungkan ia menanyakan sendiri kepada penjualnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia-nya yang terbatas. Barulah kemudian ia percaya dan menyantap habis seng su ini. Sementara saya hanya menyaksikannya dan cukup sebagai pengantar saja.

4. Gudeg Permata Bu Pudjo, santapan seluarga raja

Gudeg adalah makanan khasnya Jogja sehingga dapat ditemukan dengan mudah warung-warung yang menjual gudeg. Lagi-lagi, tidak jauh dari kosan saya, ada warung gudeg yang selalu ramai dikerumuni pembeli tiap malam. Warungnya sederhana, khas warung warung emperan trotoar. Saya tidak langsung saja tertarik untuk mencobanya saat itu. Kerumunan orang membuat saya enggan.

Suatu malam yang hampir larut, sepulangnya saya syuting sebuah film pendek, saya menyempatkan untuk mampir di warung gudeg Bu Pudjo ini.

Kebetulan sekali warung sepi, mungkin guyuran hujan menjadi alasannya. Saya pun senang. Dengan ditemani teh tawar hangat, dengan jemari saya yang keriput karena kedinginan saya menikmati makanan berbahan utama nangka muda ini. Sebelumnya saya sudah mencoba gudeg di beberapa tempat di Jogja, tapi rasanya tidak sekuat gudeg, yang konon menjadi langganan Sultan selama bertahun-bertahun ini.

Terletak di pojokan lampu merah Jalan Gajah Mada, Gudeg Permata Bu Pudjo ini mulai buka pukul sembilan malam hari. Lokasi warungnya menempel pada tembok bekas gedung bioskop Permata. Oleh karena itu nama warung ini adalah Gudeg Permata.

5. Nangkring sambil melahap sego kucing

Karena porsi nasi yang sedikit, mirip dengan porsi kucing, dari situlah asal mula nama sego kucing. Nasi dibungkus dengan kertas koran sebagai ciri khasnya. Lalu bisa disantap dengan lauk pendamping yang tersedia di meja angkringan seperti aneka sate, gorengan, tahu dan tempe bacem, atau ceker ayam.

Harga yang sangat murah membuat saya bisa menghabiskan tiga hingga empat bungkus sego kucing ini.

6. Menyantap mie ayam tengah malam di emperan Malioboro

Di atas pukul sepuluh malam trotoar Malioboro dipenuhi warung lesehan, menggantikan pedagang-pedagang souvenir yang tutup.

Di ujung selatan Jalan Malioboro ada sebuah lesehan yang menyajikan menu makan yang berbeda dari semua warung lesehan yang ada di sana, yaitu mie ayam. Namanya pun unik, Mie Ayam Grabyas Tengah Malam ‘Red Door’.

Memang untuk menikmati mie ayam ini saya harus bersabar menunggu hingga tengah malam tiba. Saya cukup bersabar karena terbayang untuk menyeruput mie dengan kaldunya yang mantap, penawar dinginnya udara Malioboro tengah malam.

7. Soto lenthok, resep kuno leluhur

Saya bukan penggemar soto. Saya hanya makan soto bila benar-benar ingin memakannya. Soto lenthok pun saya coba pertama kali baru-baru ini saja.

Sama seperti soto ayam pada umumnya namun kuahnya lebih bening dan ada tambahan lenthok pada penyajiannya. Lenthok ini adalah gorengan, semacam perkedel kentang hanya saja lenthok ini berbahan dasar ubi jalar.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU