Datang seorang diri ke Alun-alun kidul Jogja seorang diri saat malam minggu adalah neraka. Tempat itu dikuasai pasangan-pasangan yang dimabuk asmara. Ekpektasiku, seperti halnya alun-alun di daerah asalku dimana ada penerangan dimana-mana, Alun-alun kidul ternyata sangat gelap, minim penerangan.
Berjalan seorang diri menembus tingginya rumput yang tak terawat, menenteng kamera berpura-pura memotret apa saja yang ada didepanku – tanpa flash, di tempat yang gelap- , bertingkah layaknya seorang Wira Nurmansyah fotografer Wonderful Indonesia yang sangat menikmati perjalanan, justru membuatku terlihat bodoh. Seolah semua mata menatap kearahku.
Tak bertahan lama hanya sekitar 30 menit saya memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Di tiap artikel tentang traveling yang kubaca diinternet selalu ada himbauan – seolah menjadi peraturan wajib – untuk berinteraksi dengan warga lokal agar mendapat pengalaman berbeda. Sayangnya artikel-artikel itu tak membahas bagaimana cara membedakan warga lokal yang malaikat dan mana yang tidak.
Sayangnya lagi, semua yang ditulis di artikel-artikel itu seolah semua warga lokal adalah malaikat penolong – tentu karena tujuan artikel itu mempromosikan tempat tersebut – . Sangat banyak warga lokal dengan sikap ramah dan terbuka diluar sana, dan begitu pula sebaliknya.
Bertanya arah menuju Kali Code Jogja pada seorang pria penjaga toko, justru bentakan yang saya dapat.
“Ndak usah nanya-nanya mas kalau ndak mau beli!”
Dan dengan senyum kecut saya berlalu.
Matahari terbenam Candi Ratu Boko sangat indah, di dalam foto. Dalam foto yang kutemukan di salah satu majalah traveling itu ditunjukan seorang pria berdiri seorang diri di salah satu sisi candi memandang sunset dengan ekspresi sangat puas.
Kenyataanya? matahari terbenamnya memang sangat indah. Sayangnya, suasananya tak setenang yang kubayangkan. Ada rombongan anak muda -mungkin SMA, karena kebanyakan dari mereka memakai behel- membuat suasana gaduh, berteriak dan tertawa dengan keras, mengeluarkan tongsis sapu jagatnya dan berfoto groufie, di spot terbaik yang tadinya telah saya incar.
Apa yang bisa saya lakukan seorang diri? Salah tingkah dan pura-pura menikmati sunset.
Berjalan kaki dari Jalan Parangtritis Jogja dengan tujuan gang sempit perkampungan Kali Code, menuju Taman Sari, menyusuri Malioboro dari ujung ke ujung-dihiasi padatnya kondisi jalanan, percayalah 2 jam disana dan saya melihat 2 kecelakaan terjadi- kemudian menuju Alun-alun kidul untuk kemudian kembali menyusuri pedestrian Jalan Parangtritis yang licin kembali ke penginapan.
Terdengar seru bukan? Padahal yang kudapatkan hanya betis yang membengkak, jari kaki yang lecet serta lutut yang serasa ingin meloncat dari tempatnya.
Saya tak menikmati perjalanan? Tentu saya menikmatinya, namun saya percaya hasilnya akan lebih bagus jika menggunakan bus atau becak saat itu.
Hanya karena mempertahankan gengsi ucapan yang keluar sebelumnya pada seorang kawan ” cara terbaik mengenal lebih dalam suatu destinasi adalah berkeliling melangkah menggunakan kedua kaki ” saya ngotot tak mau menggunakan transportasi apapun.
Kisah perjalanan bertualang dengan jalan kaki tak semenyenangkan yang kubayangkan. Tak seindah yang terlihat di video-video youtube.
Berkeliling Jogja seharian, muka kusut, cuaca panas, kehabisan bekal minum, ditambah smartphone kehabisan baterai. Powerbank dan charger tertinggal di penginapan. Lengkap.
Khawatir kawanku kesusahan menghubungi membuatku memutuskan membeli sebuah baterai baru dengan harga yang cukup lumayan di konter hp sekitar Alun-alun Kidul Jogja.
Setelah baterai hp yang masih mulus kukeluarkan dari bungkus plastik merahnya, surprise!
Saya lupa jika baterai baru hanya terisi sekitar 10 %, hanya sempat bertahan beberapa menit dan smartphoneku kembali mati. Perjalanan kembali kulanjutkan dengan – sangat terpaksa- kondisi smartphone mati.
Kopi joss Lik Man dengan arang mendidih diatasnya serta segelas es tape ketan tersaji di depanku. Keduanya sangat menggoda. Waktu yang sempit membuatku berpikir “mumpung di Jogja menyesal jika melewatkan salah satu menu andalan disini.”
Hasilnya? Hari terakhir di Jogja kuhabiskan dengan seharian meringkuk di tempat tidur dan bolak-balik ke WC penginapan karena perut melilit.