Candi Borobudur, salah satu candi yang masih berdiri kokoh di kawasan Kecamatan Borobudur, sekitar 3 km dari Kota Mungkid, Magelang, sejak sekitaran abad ke-8 hingga kini. Candi ini berbentuk punden berundak-undak, uniknya jika dilihat dari atas maka bentuknya mirip dengan kelopak bunga teratai. Dalam ajaran Budha, teratai digambarkan sebagai bunga yang identik dengan peribadatan mereka.
Kalian yang belum pernah ke Borobudur mungkin akan berfikir bahwa yang bisa kalian lakukan hanya berjalan menyusuri setiap tingkat punden berundak yang dihiasi batuan relief, berfoto dengan stupa raksasa, namun sepertinya terlalu tergesa-gesa jika kalian berpikir demikian.
Ada banyak hal yang dapat kita nikmati dari Borobudur, apalagi jika di waktu-waktu istimewa, misalnya di pagi hari menjelang matahari terbit khususnya di sekitaran bulan Juli-Agustus atau menjelang hari raya umat Budha.
Berikut adalah sisi lain Borobudur yang bisa kita explore lebih jauh;
Di satu sisi kawasan wisata Borobudur, aku menemukan sebuah bangunan museum yang begitu menarik hati, yakni Museum Samudra Raksa. Mataku dimanjakan dengan berbagai benda-benda budaya yang berhubungan dengan kapal dan pelayaran.
Di sisi kanan kiri lorong masuk, aku dibuat kagum dengan berbagai bentuk lukisan dan ornamen khas kapal. Lukisan yang bergambarkan kapal lengkap dengan aktifitas awak kapal tersebut terlihat begitu nyata dan timbul, terkesan seperti lukisan 3D.
Sedikit menilik masuk, aku kembali dibuat berdecak dengan berbagai koleksi perkakas yang mulai rusak, namun justru menampakkan kesan antiknya.
Kendi, piring, mangkok, gelas, dan perkakas lainnya diatur rapi dalam sebuah lemari kaca. Perkakas ini merupakan perkakas asli peninggalan dari kapal Samudra Raksa ketika masih berlayar dulu.
Di museum ini aku berkesempatan untuk melihat langsung dan berfoto dengan replika Kapal Samudra Raksa yang gagah. Sayang seribu sayang, pengunjung tak diizinkan menaiki atau masuk ke dalam kapal.
Puas mengulik Kapal Samudra Raksa, aku mencoba beralih ke sisi lainnya.
Ada satu bangunan sederhana bertingkat dua yang memancingku untuk mendekat. Atapnya mengadopsi bangunan khas jawa berbentuk gunungan. Struktur bangunannya agak mirip rumah adat Jawa namun dikombinasikan dengan model bangunan modern.
Di depan bangunan bertingkat dua tersebut terdapat dua buah anyaman kuda lumping dengan ukuran yang cukup besar. Adalah GUSBI atau Galeri Unik dan Seni Borobudur Indonesia.
Ada banyak koleksi unik disini. Sebuah patung Budha emas yang begitu mungil dengan warna kuning keemasan. Patung ini ditempatkan pada sebuah kotak kaca kecil.
Pengelola museum ini benar-benar juara. Di samping patung Budha yang sangat mungil itu disediakan kaca pembesar, sehingga memudahkan pengunjung untuk melihatnya lebih jelas.
Selain patung Budha terkecil, ada juga lukisan Borobudur terkecil dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Dibuat dengan warna dasar putih tulang. Candi yang digambarkan hampir mirip dengan warna candi asli yakni abu kehitaman, serta ada hiasan warna lain seperti kuning dan merah yang menggambarkan masyarakatnya.
Nampaknya semua memang dibuat serba kecil disini
Koleksi lain yang menarik hati diantaranya ada uang logam rupiah dari tahun 1945 – 2005 mulai dari nominal ½ sen hingga seribu rupiah lengkap dengan keterangan bahan logam pembuatnya.
Adapula patung pengantin laki-laki dan perempuan raksasa berbusana khas pengantin jawa berwarna hitam dan menggunakan kain jarit, manusia terkecil dengan tinggi badan hanya sekitar 50 cm, jas terbesar dengan tinggi berkisar 2 meter -aku tak habis pikir siapa yang akan memakai jas ini-, dan masih banyak lagi lainnya.
Di GUSBI ini aku juga dibuat bergidik ngeri saat menyaksikan film pendek erupsi merapi. Film dengan durasi tidak lebih dari 30 menit ini sukses membuatku takut sekaligus bersyukur karena tidak mengalami dahsyatnya erupsi merapi secara langsung. Film ini memberikan pelajaran berharga bagiku.
Alam tak selamanya berbaik hati pada kita, namun sudah menjadi kewajiban untuk tetap menjaganya demia keberlangsungan hidup kita semua .
Borobudur memang memiliki kawasan yang cukup luas, kiranya kita akan merasa lelah jika harus berjalan mengelilinginya. Apalagi kalau cuaca sedang cerah-cerahnya, energi yang terkuras pun semakin banyak.
Siang itu, aku tengah duduk beristirahat di sebuah pendopo kecil mirip bangunan joglo. Memiliki tiang di keempat sudut bangunan, dan model atap gunungan khas jawa.
Di sekitar pendopo tumbuh puluhan pohon saman, sejuk dan mampu menghasilkan angin semilir yang cukup membuat siangku menjadi dingin dan segar. Tiba-tiba sesosok hewan raksasa berjalan di dekatku dengan pelan.
“Waaah, naik gajah…!!!”, seruku saat itu pada seorang temanku.
Di kawasan Borobudur ternyata kita bisa menyewa gajah untuk ditunggangi. Gajah yang dapat disewa adalah gajah yang sudah berumur dan memiliki ukuran tubuh yang besar. Gajah yang kulihat memiliki tinggi sekitar 2 meter, lebar 1,5 meter, dengan belalai menjuntai panjang hingga 1 meter.
Gajah ini sangat kalem,tak begitu banyak bersuara. Kita bisa berputar-putar di kawasan Borobudur dengan santai sambil menikmati keindahan Candi Borobudur dari kejauhan.
“Pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Duduk di samping PakKusir yag sedang bekerja, mengendali kuda supaya baikjalnnya”.
Aku jadi teringat lagu ini saat mendengar sebuah cerita dari masyarakat sekitar. Di Borobudur, kita bisa berkeliling ke desa-desa wisata menggunakan delman. Delman merupakan kendaraan tradisional jaman dulu yang masih popular hingga kini.
Delman sering juga disebut dengan kereta kuda. Mesin penggerak utamanya adalah kuda yang diikat dengan kereta penumpang. Kereta penumpang didesain dengan tempat duduk dari kayu berhadapan, dilengkapi juga dengan atap untuk melindungi penumpang dari panas dan hujan. Satu kereta kuda dapat memuat 4-5 orang saja.
Ketika berkeliling desa, kita diberi kesempatan untuk mengenal masyarakat lokal lebih dekat, serta mengamati proses pembuatan pernak-pernik hasil karya masyarakat Borobudur.
Jika kamu adalah pemburu sunrise, maka Borobudur adalah salah satu rekomendasi tempat yang akan menggiurkanmu. Dari puncak Borobudur kita akan melihat matahari terbit dengan indahnya. Kamu bisa menyewa hotel untuk bermalam di Borobudur dan esok paginya naik untuk menikmati sunrise.
Jika kamu termasuk orang yang suka tantangan dan ingin mendapatkan pemandangan yang jauh lebih eksotis, kamu bisa mencoba datang ke Bukit Punthuk Setumbu. Bukit yang tidak jauh dari Candi Borobudur ini memiliki ketinggian sekitar 400 meter.
Dari atas bukit ini kita dapat menyaksikan keindahan Borobudur, dan juga pemandangan kota Megelang dari ketinggian. Rasanya enggan beranjak jika sudah berdiri di atas bukit Punthuk Setumbu ini.
Tempat ini selalu menjadi primadona bagi para pemburu matahari pagi. Jadi, jangan lewatkan Punthuk Setumbuk jika kamu sedang melakukan destinasi ke Borobudur.
Pada bulan Mei – Juni, saat acara puncak upacara sakral Waisak dilaksanakan di pelataran Borobudur, para jemaah yang mengikuti prosesi upacara akan menerbangkan lampion secara bersamaan. Sehingga kita dapat melihat langit yang begitu cantik dengan pendar cahaya ribuan lampion di langit Borobudur.
“Rasanya seperti melihat ribuan kunang-kunang raksasa di angkasa. Perlahan-lahan terbang kian meninggi. Tapi semakin tinggi lampion, semakin mata tak ingin lepas memandangnya”, kisah seorang kawan
Bagi Jemaah Budha, api dilambangkan sebagai cahaya yang dapat memberikan penerangan dalam kegelapan, atau juga bisa dilambangkan sebagai penerang dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, api diartikan juga sebagai media untuk menghanguskan berbagaiamalan buruk mereka.
Sekedar saran, jika masih cukup banyak waktu untuk mengatur jadwal travelingmu, coba luangkan waktu untuk berkunjung saat peringatan Waisak. Sebuah pengalaman luar biasa mungkin akan kau dapatkan.