13 Hal Paling Dirindukan dari Dieng Culture Festival 2015

Dieng Culture Festival 2015 memang telah berakhir, namun ada banyak hal yang akan selalu terkenang tentang gelaran tersebut.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

1. Kemeriahan di Negeri Kahyangan

A photo posted by Phinemo (@phinemocom) on

Dieng Culture Festival 2015 berjalan meriah dan sukses. Berdasar data Dinas Pariwisata Banjarnegara, gelaran untuk ke-6 kalinya berhasil menyedot lebih dari 100.000 pengunjung! Kondisi area yang cukup jauh dari perkotaan dan suhu dingin luar bisa ternyata tak menyurutkan animo masyarakat untuk ambil bagian di Dieng Culture Festival tahun ini.      

2. Indahnya matahari terbit dari belakang Museum Kaliasa

 

A photo posted by Danung Adli (@danungna) on


Pagi itu, pukul 05.30 WIB hari ke-2 penyelenggaraan Dieng Culture Festival 2015, saya sudah bersiap mengabadikan momen matahari terbit dari belakang Museum Kaliasa. Kompleks Candi Arjuna terlihat diselimuti lautan kabut dari atas sini. Pemandangan indah luar biasa saat mentari perlahan menampakan wujudnya. Cahaya mentari menembus lautan kabut, terasa hangat di wajah yang mulai kaku karena suhu yang sangat dingin. Salah satu momen matahari terbit terindah yang pernah saya saksikan.

 

3. Fenomena embun beku akibat suhu dibawah 0 derajat celcius

 

A video posted by Phinemo (@phinemocom) on

Selepas memotret matahari terbit dari belakang Museum Kaliasa, saya jalan-jalan disekitar kawasan Candi Arjuna. Ada hal menarik di sana, rumput-rumput berwarna putih terselimuti serpihan es tipis. Saya harus cukup berhati-hati ketika melangkah di sini karena rumput menjadi sangat licin. Lapisan es tipis yang menutupi rumput tersebut bernama bun upas atau embun beku. Pada bulan-bulan Juli-Agustus di Dieng disebut sebagai musim dingin. Seperti yang sudah dijelaskan, suhu bisa mencapai -2 derajat celcius pada tengah malam – menjelang matahari terbit. Hal ini menyebabkan embun yang menempel di tumbuhan atau rumput membeku menjadi serpihan-serpihan kecil es. Saya coba mengenggam rumput dan meremas-remasnya, terkumpul cukup banyak bun upas yang menyerupai es serut. Meski terlihat indah, bun upas ini merugikan bagi petani kentang dan kubis di Dieng. Dua jenis tanaman tersebut paling tidak tahan dengan perubahan suhu drastis. Bun upas yang menempel di kentang atau kubis, setelah terpapar sinar matahari di pagi harinya akan mencair dan tak lama kemudian tumbuhan yang ditempeli bun upas ini akan membusuk.    

4. Jazz yang merakyat

 

A photo posted by Udeh Nans (@udehnans) on

 

A photo posted by Titis Krisari Wulandari (@warmad) on

Jazz Diatas Awan mengadakan pentas bertajuk “jazz kemulan sarung”, yang artinya menonton jazz berselimutkan kain sarung. menonton pentas ini, saya ambil kesimpulan bahwa jazz kini makin merakyat, tak hanya disajikan dalam sebuah ruang ekslusif. Pentas jazz di malam pertama Dieng Culture Festival di gelar di lapangan luas, berlatarkan pegunungan megah, duduk lesehan, menggigiti jagung bakar dan sebagian orang berselimutkan sarung karena suhu saat itu menyentuh angka 4 derajat celcius. Penampil di pentas “jazz kemulan sarung” adalah Geodipa (Wonosobo), Cadenza, AbsurdNation (Semarang), Batavicada, Jamming Instrumental, The Lounge (Solo), Hajar Bleh (Jakarta).    

5. Saling berbagi anglo untuk membakar jagung saat pertunjukan jazz

 

A photo posted by yovita (@yovitamr) on

Tiap pengunjung pentas Jazz Kemulan Sarung mendapat sebuah jagung mentah untuk dibakar. Lumayan bisa menghilangkan lapar dan menghangatkan badan. Di lapangan telah disiapkan anglo, tempat yang biasa digunakan untuk membakar jagung. Anglo tersebut muat untuk membakar 5-6 jagung sekaligus. Beberapa orang yang tak kebagian anglo ikut berbaur dengan kelompok pengunjung lain. Pengunjung-pengunjung yang awalnya tak saling kenal ini akhirnya menjadi akrab karena saling berbagi anglo. Tak peduli darimana asal daerah atau kelompok, semua duduk lesehan bersama menyantap jagung bakar sembari menikmati lantunan musik jazz.

 

6. Sudjiwotejo: “Pejabat tak lebih sibuk daripada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.”

Nampaknya, salah satu yang paling ditunggu pengunjung di acara Jazz Kemulan Sarung adalah penampilan dari seniman dan budayawan Sudjiwotejo. Begitu ia naik ke atas panggung penonton langsung tepuk tnagan meriah. Ucapannya yang ceplas ceplos dan blak-blakan seringkali memancing tawa dan tepuk tangan penonton. Salah saut ucapannya adalah: ” Pejabat itu tak lebih sibuk dari mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi,” yang langsung mendapat sambutan heboh dari para penonton Jazz Kemulan Sarung yang mayoritas adalah kalangan mahasiswa. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang saat itu duduk lesehan paling depan menunjukan respeknya dengan tertawa lepas sembari mengacungkan jempol pada Sudjiwotejo.      

7. Saat tak ada jarak antara masyarakat lokal, panitia, pejabat dan turis mancanegara di acara minum purwaceng masal

 

A photo posted by @bamzwilliam on


Hari ke-2 penyelenggaraan setelah selesai acara jalan sehat pengunjung, panitia dan masyarakat lokal Dieng, diadakan acara minum purwaceng masal. Purwaceng adalah minuman khas Dieng yang dapat menyehatkan tubuh dan menjaga stamina. Selain itu, purwaceng dapat pula menghangatkan tubuh.

Pejabat, panitia, pengunjung, warga lokal, semua minum purwaceng bersama. Tak ada jarak di sini. Dan ternyata tak hanya pengunjung lokal yang tertarik minum purwaceng ini. Beberapa turis mancanegara terlihat begitu antusias mencicip purwaceng. Salah seorang turis wanita mancanegara bahkan menghabiskan hingga 2 gelas purwaceng dan mengacungkan jempol pada panitia tentang rasanya.

 

8. Kompaknya penampil dan penonton dalam pertunjukan tari api

A photo posted by Phinemo (@phinemocom) on

Sebelum diadakannya pesta lampion dan kembang api, ditampilkan pertunjukan tari api . 4-5 orang penari membawakan sebuah tarian menggunakan tongkat yang kedua ujungnya membara terbakar. Seorang penari yang nampak sudah cukup berumur menjadi pusat perhatian penonton. Beberapa kali ia gagal melakukan atraksi dna menjatuhkan tongkatnya, bahkan sempat tongkat yang terbakar itu mengenai tubuh si bapak. Penonton begitu histeris, beberapa berteriak memberi semangat. Dua orang penonton wanita yang duduk di samping saya tak hentinya memberi semangat, ” Ayo Pak, Bapak bisa!” Saat si bapak berhasil menyelesaikan atraksinya penonton memberi tepuk tangan sangat meriah.      

9. Tulisan harapan di lampion

 

Suasana begitu semarak malam itu. Sekitar 4000 orang berada di venue, bersiap menerbangkan lampion. Beberapa orang menuliskan harapannya di lampion. Kembang api dan ribuan lampion menyemarakkan langit Dieng malam itu. Orang-orang saling berangkulan memandang panorama menakjubkan di tempat berjuluk negeri kahyangan itu. Sekilas terlihat beberapa orang mengusap air mata haru. Pemandangan malam itu adalah salah satu yang paling saya rindukan dari Dieng Culture Festival 2015.      

10. Mbah Naryono: “Bocah rambut gimbal bukan pembawa sial!”

 

Saat saya bersama beberapa rekan jurnalis mengobrol dengan beliau Mbah Naryono, tetua adat di Dataran Tinggi Dieng, sebelum prosesi kirab anak bajang menuju lokasi ruwatan, beliau menyatakan dengan tegas , bahwa bocah rambut gimbal adalah pembawa berkah dan pelindung bagi keluarganya. Beliau merasa perlu menegaskan hal tersebut karena cukup banyak orang-orang yang masih menganggap bahwa bocah rambut gimbal membawa sial. Sebagai keturunan Tumenggung Kala Dete -kyai berambut gimbal yang disebut sebagai pemimpin Dieng zaman dulu kala, bocah rambut gimbal memiliki daya linuwih dibanding orang biasa sehingga perlu mendapat perlakuan istimewa. Warga pun tak berani bertindak sembrono pada mereka.      

11. Bocah rambut gimbal: “Mas dari mana?”

 

A photo posted by enci (@sucirohmayni) on

Anak bajang atau bocah rambut gimbal adalah bintang utama gelaran ini. Sebelum prosesi kirab menuju lokasi dilakukannya ruwatan, banyak pengunjung Dieng Culture Festival 2015 memanfaatkan hal ini untuk berfoto bersama para anak bajang. Yang membuat saya heran, anak-anak bajang ini sangat ramah melayani permintaan foto bersama. Mereka adalah anak-anak berusia 4-7 tahun, namun cara mereka menanggapi permintaan berfoto dari pengunjung terlihat dewasa. Mereka tak menangis atau merengek sebagaimana bocah kecil pada umumnya.

Salah seorang anak bajang yang mengenakan baju serba putih kala itu bahkan bertanya ramah sembari tersenyum pada saya saat saya meminta izin untuk memotretnya,”mas-nya darimana?” Saya menjawab ramah sembari mengelus kepalanya. Saat itulah saya sadar bahwa mereka  memang istimewa dibanding dengan anak-anak pada umumnya.      

12. Ramahnya warga lokal Dieng

 


Sebelum menjalani jamasan dan ruwatan di Kompleks Candi Arjuna, para bocah rmabut gimbal diarak menggunakan kereta kuda dari rumah Mbah Naryono. Kereta kuda yang digunakan ternyata didatangkan langsung dari Yogyakarta, lengkap dengan kusirnya. Para kusir ini mengenakan pakaian adat jawa lengkap. Menurut salah seornag kusir yang saya tanyai kereta kuda dan kuda tersebut diangkut menggunakan truk menuju Dataran Tinggi Dieng. Prosesi kirab ini berlangsung sangat meriah, baik pengunjung maupun warga lokal tumpah ruah di sepanjang rute kirab. Saya menonton sambil sesekali loncat-loncat karena posisi saya yang berada di belakang. Saat sedang “asyik” loncat-loncat, tiba-tiba pundak saya ditepuk salah seorang pria paruh baya dan diajak untuk naik ke balkon lantai 2 rumahnya. Tanpa ba-bi-bu saya langsung naik ke balkon dan menonton prosesi kirab bersama si empu rumah dan keluarganya.

 

13. Keunikan permintaan bocah rambut gimbal

A photo posted by Donny Isa (@donny.isa) on


Salah satu syarat anak bajang atau bocah rambut gimbal boleh menjalani ruwatan atau pemotongan rambut adalah permintaan bocah rambut gimbal harus sudah dipenuhi oleh orang tua si bocah, apapun permintaan itu. Tahun ini ada beberapa permintaan anak bajang yang cukup unik, seperti permintaan dari Bangkit Pratama (7 tahun) yang meminta pertunjukan Tari Lengger. Saat prosesi ruwatan orang tuanya menghadirkan 3 penari lengger ke atas panggung. Bangkit Pratama tersenyum senang saat salah seorang penari lengger menggendongnya. Adapula Kuni Khairunnisa (7 tahun) yang meminta sekeranjang apel merah yang baru dikeluarkan dari kulkas. Saat prosesi, 1 unit kulkas harus digotong ke panggung guna memenuhi permintaan Kuni. Sementara permintaan paling sederhana mungkin permintaan dari Ahmad Bayu ( 7 tahun ) yang hanya meminta 2 buah gethuk. Saat permintaan Ahmad Bayu dibacakan beberapa penonton tertawa kecil dan bertepuk tangan untuk Ahmad Bayu yang tersenyum malu.

 

Konten ini dipersembahkan oleh

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU