Hal-hal kecil yang munculnya dari interaksi berjalan kaki bukan dari motor atau mobil yang kamu tumpangi. Saya rasa ini salah satu esensi dalam perjalanan: berinteraksi dengan sudut-sudut kota. Interaksi yang sederhana, tapi memberi rasa yang nyata dan menyenangkan.
Masih lekat dalam ingatan, saya pernah berkunjung ke kota yang melahirkan band Sheila On 7 selama 10 hari di tahun 2007. Kota yang menyenangkan untuk saya yang berasal dari kota semi-metropolitan. Di Yogyakarta, seolah semua orang bergerak lebih lambat.
Lama tak bersua dengan Kota Pelajar, bulan Juni di tahun 2015 saya kembali ke Yogyakarta. Wajah Yogyakarta sekarang banyak berubah. Lebih riuh dan makin padat, seperti renjana yang saya simpan padanya, bertahun-tahun lamanya.
Berada di Yogyakarta, saya niatkan untuk melangkahkan kaki di Kotagede. Kota Gudeg yang mataharinya ada lima ini akan terasa lebih sejuk saya nikmati dengan menyeruput segelas es dawet di Warung Sido Semi. Siang hari yang matang di Yogyakarta, saya ingin melongok makam-makam Raja Mataram. Satu hal yang merangkum semuanya, saya ingin menyusuri bangunan antik sepanjang Kotagede.
Kotagede pernah menjadi pusat kerajinan dan perdagangan. Wilayah ini merupakan pusat kota Mataram. Tidak heran banyak jejak pemukiman bangsawan yang pernah atau masih tinggal di sini. Kotagede pernah mengalami kemunduran karena efek perang dunia ke II dan di tahun 80an. Namun pertumbuhan ekonomi Kotagede bangkit lagi berkat dunia pariwisata. Selain Bali, Yogyakarta adalah magnet untuk turis-turis asing.
Saya membekali diri dengan sebuah peta. Peta bangunan bersejarah. Saya mendapatkannya dari buku berjudul Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia yang ditulis oleh ahli geografi dan pemandu wisata Emile Leushuis.
Saya juga tidak menggunakan kendaraan. Sudah niat mau jalan kaki sampai terasa lelah dan tak sanggup lagi, baru lah saya memanggil becak atau sekalian saja taksi.
Sudut-sudut terbaik di Kotagede memang lebih menyenangkan dilalui dengan berjalan kaki. Saat saya melangkahkan kaki, saya tak sengaja menguping pembicaraan seorang ibu dengan anaknya, saya melihat kesibukan warung penjual Kipo, saya mengucapkan permisi pada warga setempat. Hal-hal kecil yang munculnya dari interaksi berjalan kaki bukan dari motor atau mobil yang kamu tumpangi. Saya rasa ini salah satu esensi dalam perjalanan: berinteraksi dengan sudut-sudut kota. Interaksi yang sederhana, tapi memberi rasa yang nyata dan menyenangkan.
Saya memiliki ketertarikan besar dengan bangunan bersejarah. Oh ralat, bangunan antik maksudnya. Sejarah yang saya maksud tidak melulu berkaitan dengan sejarah besar. Bangunan antik di sudut gang Kotagede memiliki sejarahnya sendiri, tidak tercatat di buku mana pun selain mungkin buku harian pemilik rumahnya.
Dalam setiap perjalanan, saya mencoba untuk menyelami hal-hal yang saya sukai. Saya jarang ke pantai. Saya tidak berswafoto. Saya tidak mencari momen yang akan menambah followers saya di Instagram.
Sesekali esensi sebuah perjalanan untuk saya lebih dari sekadar piknik. Perjalanan adalah tentang menyambangi hal-hal yang menjadi kesukaanmu, pulang ke rumah ada perasaan penuh yang entah apa namanya. Semacam habis bertatap muka dengan orang yang kamu sayang.
Label romantis biasanya berhubungan dengan perlakuan makhluk hidup. Untuk saya, benda mati pun bisa menyuarakan perasaan yang sama.
Bangunan-bangunan tua nan antik itu romantis. Apa kamu sering bertanya-tanya jika sedang mengamati benda-benda antik, siapa saja yang pernah menggunakannya? Di mana mereka membelinya? Mahal atau murah? Kalau mahal, apa profesi pemiliknya sampai bisa membeli barang semahal itu? Ke mana pemiliknya sekarang?
Well, kira-kira pertanyaan yang sama sering hinggap di kepala saya juga saat mengamati bangunan kuno. Siapa yang tinggal di sana, apa yang terjadi di dalam rumah itu, ke mana para penghuninya sekarang tinggal, bagaimana rasanya tinggal di rumah secantik itu? Apa yang mereka obrolkan saat duduk di teras rumahnya?
Saya pikir itulah seninya menyukai barang dan rumah antik: mereka cenderung membuatmu bertanya-tanya dan keheranan. Semacam kepo, tapi pada hal yang kamu tahu tak ada jawabannya.
Perjalanan menyusuri bangunan tua di Kotagede menghadirkan banyak pertanyaan di benak saya. Mereka terus mengalir seperti air kali sehabis hujan. Sering muncul keinginan mengetuk pintu rumahnya dan mengobrol dengan pemiliknya.
Tapi biarlah jarak itu tetap ada. Saya menikmati pemandangan rumah antik sebatas ‘secret admirer’. Romantisme juga bisa bersanding dengan hal-hal yang rahasia, bukan? Saya pikir itu yang menjaga pesonanya.
Perjalanan di Kotagede saya mulai pukul sembilan pagi. Cuaca masih segar meski panasnya sudah begitu terasa menggigit. Titik keringat sudah bermunculan. Maklumlah, saya orang gunung. Datang dari Bandung yang suhunya sejuk, ke Yogyakarta yang temperaturnya hangat.
Belum banyak langkah kaki saya alun, beberapa bangunan tua sudah dapat dilihat. Rumah Kalang namanya. Di mana bumi dipijak, di situ kamera dijunjung. Pasangan saya langsung memotret, sementara saya asyik mengamati kecantikan arsitektur rumah tua tersebut.
Kebanyakan gaya arsitektur di pinggir jalan raya Kotagede ini mengingatkan saya pada bangunan-bangunan Eropa, tapi masih banyak sentuhan Jawanya. Entah apa nama langgamnya. Kami hanya tahu bahwa detail pada Rumah Kalang ini sangat unik dan tentu butuh keterampilan tinggi untuk membuatnya.
Dapat memasuki sebuah bangunan tua menjadi pengalaman yang saya tunggu-tunggu. Di toko perhiasan silver bernama Silver Anshor saya melakukannya. Wah cantik sekali gedungnya. Warna bangunan putih, lantainya masih bergaya tempo dulu, interiornya yang megah, dan pilar-pilar gedungnya mencirikan pemiliknya yang berasal dari kaum bangsawan. Kebanyakan gedung-gedung kuno di Kotagede cat dindingnya berwarna putih. Warna yang sama dengan bangunan sejenis di Eropa, khususnya Belanda.
Dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu gedung ke gedung yang lain, pesona bangunan kuno di Kotagede sungguh memikat. Bahkan saya tidak melihat ada bangunan komersil yang lebih tinggi dari rumah-rumah di sini. Kelestariannya terjaga.
Bahkan di dalam ruang yang lebih sempit semacam gang, Kotagede memiliki pemandangan yang sama seksinya dengan panorama yang saya lihat di pinggir jalan raya. Bayangkan saja, terdapat gedung tua yang megah di dalam gang! Masjid Perak misalnya. Juga ada beberapa rumah tradisional Jawa, yaitu Joglo yang apik dan sederhana dan Rumah Rudi Pesik yang besar dan gagah.
Sampai di Pasar Legi Kotagede, saya berbelok sebentar ke Makam Raja-raja Mataram. Menapaki Gerbang Paduraksa rasanya terasa begitu syahdu. Ini pertama kalinya saya mengunjungi makam Raja-raja Mataram.
Sinar matahari meredup. Langit berawan. Angin semilir di kompleks pemakaman tersebut menyambut saya. Jalur jalan pelancong dan peziarah di makam ini sangat berkelok, serupa adat orang Jawa yang kalau sedang bicara terdengar berputar-putar. Cara orang membangun sebuah tempat konon persis sama dengan adat budaya cara berpikirnya.
Tentu saja makam seorang raja berbeda dengan makam orang-orang kebanyakan. Tempat yang saya kunjungi itu sangat mewah, bukan hanya makam tapi juga ada tempat pemandian bernama Sendang Seliran. Berada di kompleks Makam Raja Mataram saya harus melewati pintu-pintu berukuran besar dan pepohonan beringin. Makamnya sendiri tidak boleh dilihat sembarangan. Butuh orang dengan status tertentu untuk melihat langsung makam para Raja Mataram.
Ketika saya merasa sudah cukup bertatap muka dengan Kotagede, ternyata dua jam sudah berlalu sejak jam makan siang berlaku. Restoran atau warung makan menjadi destinasi kami berikutnya. Memesan taksi, saya putuskan kembali ke pusat kota.
Dari dalam taksi saya kembali menekuri jalanan Kotagede. Saya melihat lagi bangunan-bangunan yang saya saksikan dari dalam jendela kendaraan. Sekilas rasanya seperti sedang me-review perjalanan yang kami lakukan dari tadi pagi. Mengkaji ulang dan merekam baik-baik pemandangan dan rasa kuno Kotagede.
Berjalan kaki di Kotagede sangat menyenangkan. Saya bahkan tidak berbelanja oleh-oleh perhiasan perak di sana. Lupa! Tapi saya merekam kesukaan saya: rumah-rumah antik, bangunan-bangunan kuno.
Setelah delapan tahun akhirnya saya bisa bertemu lagi denganmu, Yogyakarta. Di Kotagede, saya menuntaskan rindu itu. Semoga kita bersua lagi ya. Masih ada sudut-sudut Yogyakarta yang ingin saya saksikan, sudut yang sama, sudut-sudut kota yang kuno dan bersahaja.