Sukses tidaknya sebuah perjalanan bukan hanya perkara destinasi, tapi lebih pada bagaimana cara kita menikmatiya.
Mungkin pikiran semua orang akan sama ketika mengunjungi sebuah destinasi yang sesungguhnya memikirkan pun enggan. Seperti saya saat saya harus berkujung Jakarta Timur beberapa waktu lalu untuk mengunjungi orang tua. Sebenarnya 4 hari bukanlah waktu yang lama bagi orang-orang yang menyukai perjalanan mereka- dan juga jika destinasinya meman menarik. Jakarta Timur, tak ada hal bagus yang terpikir saat saya mendengar harus berada di sana selama 4 hari.
“Kamu akan menemukan kemacetan dan lalu lintas yang carut marut,” begitu komentar banyak orang.
Ternyata perkiraan saya salah. Jakarta Timur tidaklah terlalu buruk, bahkan bisa dibilang cukup menyenangkan. Ketika orang-orang pergi ke Bali dengan pantai Jimbaran dan Kuta nya atau ke Papua dengan Raja ampatnya. Jakarta Timur menjadi langkah awal saya menikmati libur di bulan Juli lalu.
Banyak yang belum mengetahui, bahkan saya sendiri, sebelum bapak paruh baya yang saya temui di angkot memulai perbincangan.
“Dari Jogja, Neng? Kunjungi KBT nanti malam, bagus.” Rasa penasaran itu bertambah ketika bapak itu mengacungkan kedua jempolnya dengan mantap.
Sebelumnya yang saya ketahui, KBT merupakan kanal yang dibangun untuk mengatasi banjir pada Jakarta bagian timur. Begitulah yang saya lihat ketika angkot biru yang saya naiki melintas di KBT ini. Ternyata tidak untuk malam hari, KBT siang dan malam hari seperti 2 dunia yang berbeda. Sepanjang KBT akan banyak ditemui orang dari berbagai generasi. Dari yang membawa keluarga hingga para remaja dengan teman sebayanya membaur jadi satu menikmati keindahan KBT pada malam hari. Sekadar untuk nongkrong atau membeli kuliner sebagai cemilan malam.
Jagung bakar, satu porsi kerang pedas, dan teh panas menjadi teman setia saya kala itu. Lengkap dengan panorama yang syahdu sepanjang Kanal yang dihiasi lampu kota dan pohon-pohon trembesi yang tertata apik.
Tidak ada orang yang tidak mengetahui miniatur indonesia yang masih berada di kawasan Jakarta Timur ini, Taman Mini Indonesia Indah atau sering disingkat menjadi TMII. Ia adalah bentuk kecil dari seluruh provinsi di Indonesia. Saya menjumpai berbagai rumah adat yang disajikan menyerupai aslinya.
“Indonesia luas, pasti begitu juga dengan miniatur nya. Pasti capek,” keluh saya sebelum mendapati sepeda yang disewakan pihak TMII.
Disini berbagai wahana bisa ditemui. Kereta gantung yang memiliki tiga stasiun salah satunya, atau merasakan pegunungan salju buatan yang menyelimuti area Snowbay Waterpark. Selain itu masih banyak wahana menarik lain.
“Siapa bilang Jakarta tidak bisa seperti Jepang.” Begitu post saya bersamaan dengan foto yang saya unggah di instagram. Kereta Listrik memang sangat membantu perjalanan saya ketika ingin mengunjungi Depok. Berawal dari stasiun Tebet dan berhenti di stasiun Depok Baru. Stasiun yang nyaman, bersih dan cara membayar tiket serta pengelolaan yang baik membuat saya tak henti berdecak kagum.
Pengelolaannya sudah baik, harganya juga terjangkau, belum ada lima belas menit kereta selanjutnya sudah datang.
Orang-orang di sini cukup tertib, saya banyak menemui orang-orang yang tak sungkan memberikan tempat duduknya untuk orang yang lebih diprioritaskan. Jadi, kata siapa ibukota tak ramah?
Kaos oblong hingga yang berkerah bahkan handpone pun dijual murah di sini. Sebelum saya mengakhiri wisata saya di Jakarta Timur saya memebeli beberapa oleh-oleh baju dan aksesoris di Jatinegara. Kaki saya melangkah pukul lima pagi bebarengan dengan pedagang kaki lima yang akan mulai menjajakan dagangannya.
Sejauh mata memandang deret bangunan dan beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan, ternyata jam tangan berwana biru menarik perhatian saya, cukup tiga puluh ribu rupiah kini jam tangan itu dapat terbeli.
Di sekitar sini juga banyak peninggalan sejarah berupa rumah-rumah Tionghoa lama. Pasar ini juga sudah terkenal pada jaman penjajahan Belanda hingga deret bangunan yang masih kental dengan bangunan Belanda.
***
Perjalanan bukan soal tujuan. Namun lebih tentang diri kita sendiri. Bagaimana kita bersikap, sehingga merasa nyaman saat berkunjung ke destinasi yang sebelumnya belum terpikirkan.