Ritual Manene di Toraja, Sulawesi Selatan telah berhasil mencuri perhatian turis mancanegara. Media asal London, The Sun memberitakan para turis asing terlihat antusias mengikuti serangkaian ritual Ma’nene yang dipimpin oleh kepala adat.
Beberapa di antara mereka mengambil foto bersama mayat yang baru saja dibersihkan dan didandani. Kegiatan berfoto bersama mayat ini sudah umum dilakukan. Meski bertemakan ‘kematian’, ritual adat warga Toraja ini nyaris tak menampakkan duka.
Usai berfoto dengan mayat, para turis asing tersebut pun mengikuti prosesi di mana mayat tersebut berjalan dengan sendirinya mengikuti garis lurus yang telah disiapkan tetua adat.
Ritual Ma’nene ini dilakukan setiap 3 tahun sekali. Ritual ini biasanya diselenggarakan mulai tanggal 20-30 Agustus sesuai dengan wilayah yang menyelenggarakannya.
Pada saat melangsungkan ritual tersebut, masyarakat Toraja ‘menggali’ mayat keluarga, teman-teman, anak-anak, bayi sekalipun. Leluhur yang meninggal tidak dimakamkan dengan cara yang biasa. Pada saat meninggal, jasad leluhur itu diberi pengawet sehingga akan tetap utuh ketika ritual manene dilangsungkan.
Pada saat memasuki area pekuburan, tetua ada akan membacakan doa sebagai permohonan izin sekaligus meminta rahmat dan keberkahan bagi masyarakatnya. Setelah itu, jasad leluhur dibawa untuk dimandikan dan digantikan pakaiannya oleh anggota keluarga mereka.
Tujuan diadakannya tradisi ini selain untuk meminta rahmat dan berkah bagi sawah mereka, juga untuk menyatukan anggota keluarga, baik yang sedang merantau atau pun berada di kampung halaman. Semua anggota keluarga berkumpul dan menggelar acara makan besar bersama.
Ritual Ma’nene di Toraja ini memberi arti bahwa hubungan keluarga tidak akan putus hanya karena kematian. Oleh sebab itu, semua prosesi ini harus dilakukan dengan suka cita. Menangis atau menunjukkan perasaan berkabung sangat dilarang di sana.
Setelah dibersihkan dan didandani, mumi-mumi tersebut berjalan di sekitar desa, mengikuti jalur yang telah dibuat oleh tetua adat. Mitosnya, garis-garis itu terhubung dengan Hyang, entitas spiritual dengan kekuatan supranatural. Bagi warga Toraja, jiwa orang yang meninggal harus mengikuti jalan Hyang untuk mencapai akhirat.
Setelah menuntun mayat ke tempat perisitirahatan terakhir, penduduk akan mengorbankan tedong (kerbau) dan babi sebagai bentuk persembahan agar para arwah bisa berjalan bebas menuju surga. Peti yang rusak juga akan diperbaiki atau diganti.