Dampak dari tren wisata kekinian bagi lingkungan tak melulu mendatangkan keuntungan finansial bagi warga sekitar. Tak sedikit juga kasus wisata kekinian yang akhirnya malah merusak tempat wisata itu sendiri. Contohnya seperti kasus rusaknya taman amarilis di Gunungkidul atau sampah-sampah yang membludak di gunung-gunung. Namun, tren wisata malah membawa dampak apik bagi perkembangan hutan mangrove di Indonesia.
Berdasarkan laporan dari Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup pada Maret 2017, disebutkan bahwa Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia serta memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi. Dengan panjang garis pantai sebesar 95,181 km2, Indonesia mempunyai luas mangrove sebesar 3.489.140,68 Ha (tahun 2015).
Jumlah ini setara dengan 23% ekosistem mangrove dunia yaitu dari total luas 16.530.000 Ha. Dari luas mangrove di Indonesia, diketahui seluas 1.671.140,75 Ha dalam kondisi baik, sedangkan areal sisanya seluas 1.817.999,93 Ha sisanya dalam kondisi rusak.
Sayangnya, kabar baik tersebut tak berlangsung lama. Pada Januari 2018, dikabarkan oleh Antara, sekitar 5% atau 175 ribu hektare hutan mangrove di Indonesia hilang dan rusak setiap tahun akibat lahan dikonversi untuk penggunaan lain, hama dan penyakit, pencemaran, serta praktik budi daya tidak berkelanjutan.
Sebagian ekosistem mangrove tersebut telah rusak. Kerusakan dapat menyebabkan perubahan lingkungan yang mendorong peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dan berdampak pada perubahan iklim.
Dengan kondisi hutan mangrove yang mulai memprihatinkan ini, membudidayakan dan mengembangkan hutan mangrove melalui pembangunan tempat wisata dianggap jadi langkah yang tepat. Cara ini dipandang lebih luwes dan tidak kaku hanya sebatas menanam mangrove saja. Ada tujuan lain di baliknya, menjadikan hutan mangrove lebih lebat dengan demikian wisatawan pun banyak yang datang.
Mari kita amati sekarang, wisata hutan mangrove sudah mulai banyak didapati di kota-kota Indonesia. Di pulau Jawa saja, rasanya hampir semua kota di pesisir memiliki wisata mangrove. Di Jakarta, kita mengenal Mangrove PIK. Lalu di Surabaya ada Ekowisata Mangrove Wonorejo, Semarang punya Mangrove Edu Park, dan masih banyak lagi daerah lain yang juga punya wisata mangrove.
Ketika kita memiliki minat tinggi untuk mengunjungi hutan mangrove, tak sekadar demi feed instagram menarik, namun juga turut berupaya menjaga dan sebagai wahana edukasi, maka akan semakin banyak wahana wisata mangrove yang dibuat dan dibudidayakan. Dengan demikian, hutan mangrove pun bisa kembali lagi seperti semula.