Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Mendaki Gunung

Saya mengenal dunia pendakian saat berusia 28 tahun. Orang bilang terlalu terlambat. Saya tak peduli, karena tak pernah ada kata terlambat untuk mendaki gunung,

SHARE :

Ditulis Oleh: Ade Setiawan

Foto diambil dari sini

Saya seorang pegawai kantoran berumur 30 tahun-masih lajang, yang biasa-biasa saja.

Bangun pukul 05.00, cukur kumis dan jenggot, mandi, sarapan dengan beberapa lembar roti dan selai kacang – terkadang telur rebus, berangkat kantor menggunakan motor dengan kredit tersisa beberapa bulan lagi, mengerjakan apa yang harus dikerjakan, dimarahi bos, makan siang di kantin, merevisi pekerjaaan, kemudian pulang setelah hari gelap, mandi, menonton beberapa acara komedi di tv, pergi tidur.

Terus berulang tiap hari – kecuali awal bulan karena saya punya anggaran berlebih untuk nonton film dan mentraktir pacar saya di restoran.

Saat akhir pekan saya telah menyiapkan amunisi penuh. Jumat malam saya menyewa beberapa dvd film horor dan laga asia untuk mengisi akhir pekan diatas sofa ditemani beberapa toples cemilan dan botol soda.

Saya yakin hidup saya “sempurna”, untuk seorang dengan pekerjaan biasa, di perusahaan biasa dan juga gaji yang biasa tentunya.

Hidup yang sangat biasa, hingga terkadang saya merasa jenuh.

Pendakian pertama setelah 28 tahun saya hidup di dunia

Suatu ketika saya mencapat titik jenuh terhebat dalam pekerjaan.

Saat itu banyak pekerjaan menumpuk, protes dari bos dan juga bentakan dari konsumen. Setelah semua usai, entah kenapa kepala terasa sangat berat. Saya ingin berteriak sekencang mungkin di suatu tempat.

Pucuk dicinta ulam tiba.

Dalam kondisi fisik dan pikiran hancur, seorang sahabat lama asal Semarang semasa kuliah tiba-tiba menelpon dan mengajak saya mendaki Gunung Merapi.

Tanpa ba-bi-bu,  Sabtu sore saya sudah berada di basecamp Selo Boyolali dengan tas carrier besar dipunggung hasil pinjaman seorang teman. Sahabat lama saya sudah menunggu dengan sebatang rokok dimulut – gaya khasnya sejak zaman kuliah dulu. Dia tertawa keras melihat muka lusuh saya.

Selama perjalanan kami banyak mengobrol mengenai masa-masa kuliah.Nostalgia yang menyenangkan. Sedikit menghibur hati dan pikiran yang penat.

Di kejauhan nampak seekor burung dengan sayap yang sangat lebar terbang rendah. Sahabat saya berkata itu adalah elang hitam, spesies sangat langka dan hampir punah. Saya beruntung dapat langsung melihatnya dipendakian pertama saya.

Medan menjelang puncak cukup curam. Berpasir dan juga banyak batu rawan longsor dari atas sana. Sahabat saya mengajarkan saya mendaki teknik scrambling, mendaki menggunakan bantuan kedua tangan dan tali untuk menjaga keseimbangan.

Akhirnya kami berhasil mencapai puncak dengan susah payah. Sahabat saya menancapkan bendera merah putih jahitannya sendiri beserta logo kelas kami semasa kuliah dulu.

Saya mencari tempat berpijak yang nyaman dan berteriak sekencang mungkin. Saat itu mendung, tak ada sinar matahari hangat yang sering dibicarakan para pendaki. Saya tak peduli, saya hanya ingin berteriak dan saya mendapatkannya disini. Air mata saya tak terasa menetes. Semua beban seperti rontok dari kepala dan pundak saya.

Sebuah sensasi luar biasa yang baru pertama kali saya rasakan. Sempat terlintas rasa sesal mengapa saat kuliah dulu saya selalu menolak ajakan untuk mendaki bersama teman-teman saya kaerna alasan tugas, praktikum, kegiatan ekstra dan segala macamnya.

‘Tak ada kata terlambat bro, gunung tak akan pergi kemanapun, dia selalu berdiri tenang disini menanti untuk kita daki,’ sahabat saya menepuk pundak saya dengan keras.

Tak ada kata terlambat!

Suatu sore saat akhir pekan saya menemukan tulisan mengenai “12 Alasan Harus Mendaki Gunung Sebelum 25 tahun” di Phinemo. Saya meng-iyakan semua perkataan penulisnya.

Memang benar, mumpung masih muda sempatkanlah mencicip sensasi puncak gunung. Tapi, bukan berarti jika telah melewati usia tersebut kita sudah terlambat untuk mendaki.

Sepulangnya dari Merapi, saya seperti mempunyai tujuan hidup baru.

Tak lagi hanya sekedar bangun, berangkat kantor, dimarahi bos, pulang dan tidur. Saya sibuk memilih gunung-gunung yang akan saya daki sebelumnya, mencari info rute menuju sana, mencari tips budgeting ataupun menabung untuk membeli peralatan gunung sendiri.

Saya selalu menemukan hal baru tiap selesai mendaki gunung.

Sahabat-sahabat yang mengajarkan lagu berbahasa ngapak yang saya temui saat pendakian Gunung Slamet, pertemuan dengan seorang pendaki wanita yang tersesat seorang diri dan tiba-tiba menghilang saat saya mencari sumber air di pendakian Semeru, ataupun matahari terbit Rinjani yang mengubah warna langit menjadi 3 warna- biru,pink,merah yang sangat luar biasa.

Sebuah hidup baru. Sahabat saya benar, tak ada kata terlambat untuk mendaki. Kadang justru diri kita sendiri yang menganggap kita “terlalu tua” untuk mendaki.

Gunung tak akan pergi kemanapun. Mereka masih setia berdiri, menanti kita untuk mendaki, untuk mengenalkan kita pada alam

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU