Kadang kesan pertama menjebak prasangka saya untuk menilai baik – buruknya suatu hal
Mesin angkot menderu bising dan mulai meninggalkan pintu keluar Stasiun Bogor, namun pandangan saya masih lekat pada penjaja tahu goreng yang asyik menyusun tahu menyerupai piramida. Warna kulit tangannya yang gelap legam tak terbungkus plastik atau pakai penjepit makanan terlihat menyusun tahu. Tadinya saya sedikit tergoda untuk beli, namun tidak lagi. Meski penjaja tahu tak hanya satu, rasanya selera untuk makan langsung menguap begitu saja.
“Mba, sebenarnya kita sedang berada di Sumedang atau Bogor sih?” tanya saya pada Estu yang sedari tadi duduk di samping saya dan terdiam entah melamun atau menahan lapar.
“Kenapa, Kik?” tanyanya balik.
“Soalnya banyak yang jual tahu Sumedang” celetuk saya disambut tawa Estu.
Sempat berpikir ada sesuatu yang aneh, banyak penjaja tahu Sumedang padahal saya sedang di Bogor. Mungkin hampir sama seperti jajanan khas Medan tapi namanya Bika dari daerah lain. Jangan-jangan ini hanya efek karena saya sedang bosan terhimpit penumpag lain dan mulai kepansan. Hehe…
Saya dan Estu kembali terdiam, mata saya kembali asyik mengamati tiap jengkal perjalanan menuju Kebun Raya Bogor. Suzuki carry yang disulap jadi angkot dijejali sekitar 10 orang sudah termasuk sopir, otomatis ruang gerak saya pun terbatas. Hawanya juga semakin panas. Ditambah dengan padatnya kendaraan yang melintas, membuat angkot hanya bisa merayap.
Sebelumnya saya membayangkan Bogor adalah kota yang hawanya sejuk, rimbun oleh pepohonan. Cocok dengan julukannya sebagai Kota Hujan yang telah lama disematkan. Setelah berhasil menjejakkan kaki untuk pertama kali, bayangan itu kian menyusut. Mungkin karena angan itu lenyap di tengah padatnya lalu lintas jalanan saat ini yang didominasi oleh angkot.
Kenyataan pertama yang harus saya hadapi di Bogor adalah kendaraan tumplak di jalan, malah angkot yang lebih banyak terlihat dibanding kendaraan pribadi di sini. Saya setuju jika ada yang menyematkan julukan untuk Bogor sebagai Kota Angkot ketimbang Kota Hujan.
Setelah hampir seperempat jam, angkot berhenti di seberang persis pintu masuk Kebun Raya Bogor. Lega rasanya saya bisa bergerak dengan leluasa kembali. Saya dan Estu berhasil melenggang melewati pintu masuk dan langsung berburu tempat teduh untuk sekedar duduk dan menyantap bekal sarapan – dan makan siang sekaligus – di antara pepohonan dan ditemani rentetan kicau burung dan suara serangga. Sungguh kontras dengan situasi jalan beberapa menit lalu, pikir saya.
Luas Kebun Raya Bogor mencapai 87 hektare dan memiliki koleksi belasan ribu spesies tumbuhan. Saking luasnya, kami mengurungkan niat untuk jalan kaki berkeliling karena lebih tergoda dengan shuttle berwarna-warni yang sedari tadi mondar-mandir.
“Kita akan berkeliling Kebun Raya ya, rute kali ini akan berjalan selama kurang lebih 1 jam..” kata pemandu sekaligus sopir shuttle.
1 jam? Terjangkau banget cukup bayar 15ribu bisa keliling selama itu, pikir saya dengan lugu.
“Maksudnya 1 jam kurang 40 menit ya” sahut pemandu seolah bisa membaca pikiran saya dan saya berhasil terkecoh. Hampir semua penumpang tertawa, saya pun.
“Nah pepohonan yang berderet di depan adalah pohon damar”
“Semua pohon damar bisa dimanfaatkan mulai dari getah sampai batangnya. Batang korek api yang biasanya kita pakai itu dibuat dari batang pohon damar” penggalan penjelasan dari pemandu sambil menghentikan laju shuttle di tengah jalan.
Agathis Dammara atau yang lebih dikenal dengan pohon Damar merupakan tumbuhan asli Indonesia. Getahnya adalah cikal bakal dari kopal. Bicara tentang Damar, nama pohon ini bagus. Siapapun yang bernama Damar, bagi saya dia beruntung karena penuh dengan makna filosofis. Saya membayangkan pemberi nama menyematkan harapan supaya orang yang menyandang nama Damar kelak bisa memberi manfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Paling tidak, ia mampu membawa kebahagiaan untuk orang di sekitarnya.
Laju shuttle tiba-tiba melambat, sebelah kiri kami terhampar tanah lapang di tumbuhi rumput hijau namun ada 1 pohon aneh yang tumbuh di tengah lahan tersebut. Pemandu menyebutnya pohon terbalik. Sebenarnya tidak benar-benar terbalik, Adansonia Digitata yang disebut juga pohon Baobab memang punya bentuk yang nyeleneh. Tapi jangan salah, pohon ini punya kemampuan yang luar biasa. Baobab yang sudah berukuran besar, mampu menyerap air hingga ratusan liter.
Mungkin quote ‘Don’t judge a book by its cover’ kali ini berlaku. Baobab kalau dilihat sekilas memang nampak seperti pohon terbalik, akarnya ada di atas. Sedangkan pangkal bawah batangnya berukuran lebih besar. Pohon yang nyeleneh bukan?
Tunggu sebentar…
‘Don’t judge a book by its cover’ ?
Rasanya seperti disentil oleh ucapan sendiri. Beberapa jam yang lalu saya masih sempat menggerutu dengan penjaja tahu yang kurang higienis. Kemudian mengeluh dengan padatnya lalu lintas di balik tembok Kebun Raya. Sekarang malah hanyut dalam teduhnya suasana Kebun Raya yang ada di jantung Kota Bogor. Tanpa sadar, diri saya telah memberi kesempatan kedua untuk kota ini menunjukkan sudut cantiknya.
Saya sampai malu sendiri, sempat menilai sesuatu hanya karena kesan pertama. Padahal kesan pertama seringnya menjebak prasangka seseorang.
Ada pelajaran yang bisa saya petik dalam perjalanan kali ini bahwa menilai sesuatu tidak bisa hanya dari permukaan.
Saya harus memberikan kesempatan kedua untuk mengenalinya lebih jauh, menyelami secara lebih mendalam dan mungkin saya baru boleh memberikan penilaian. Hal ini tidak hanya berlaku untuk menilai baik buruknya suatu daerah, tetapi juga untuk semua hal termasuk hubungan antar manusia.
***
Meski hanya singgah sebentar, Bogor memberikan kesan tersendiri untuk perjalanan saya. Kini tidak boleh lagi saya terkecoh dengan kesan pertama, karena itu hanyalah sebuah jebakan.