Faknik, si Telaga Pasang Surut di Tengah Daratan Pulau Biak

Telaga Faknik letaknya jauh dari pantai dan berada di tengah daratan Pulau Biak. Tersembunyi di balik hutan membuat tidak banyak orang yang mengetahuinya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Alvi Betmanto Sitepu

Tak hanya air laut di pantai yang memiliki fase pasang surut, Telaga Faknik di Kampung Samber Sub, Biak Barat juga ternyata bisa pasang surut. Padahal letaknya jauh dari pantai dan berada di tengah daratan Pulau Biak. Tersembunyi di balik hutan membuat tidak banyak orang yang mengetahuinya. Namun ada juga masyarakat Biak yang mengetahuinya dan bahkan beberapa orang sudah pernah memancing di sana.

Kombrane mufa di Telaga Faknik. Foto oleh Christin Simanjuntak

Untuk dapat ke Telaga Faknik kami kelompok Kombrane Mufa (#kombranemufa) sebagai kumpulan penikmat alam di Biak menempuh perjalanan selama 40 menit dengan menggunakan sepeda motor ke Kampung Samber Sub kemudian berjalan lagi sejauh lebih kurang 700 meter ke Telaga Faknik dari rumah penduduk. Perjalanan ke Telaga Faknik memiliki cerita tersendiri dan pastinya berbeda dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya bagi saya dan teman-teman.

GPS Hidup

Biasanya saat kami berjalan Yoseph selalu membawa GPS (Global Positioning System) untuk penunjuk lokasi maupun merekam jejak perjalanan kami. Tapi saat menuju telaga faknik Yoseph memang tak membawa GPS.

“Nanti kita pakai GPS hidup saja kakak”, katanya saat saya menanyakan GPS miliknya. GPS hidup adalah istilah untuk pemandu jalan. Untuk ke daerah-daerah yang jarang dikunjungi di Biak , GPS hidup adalah pilihan yang tepat. GPS hidup haruslah orang kampung setempat yang lebih mengetahui medannya dan juga untuk menghemat waktu perjalanan.

Saat sampai di Kampung Samber Sub, kami berhenti di salah satu rumah penduduk. Setelah berbincang akan maksud dan tujuan kami, dua orang bapak yang bermarga Meokbun pun bersedia menjadi GPS hidup (pemandu) ke Telaga Faknik.

Jalur Hijau

Pose di jalan setapak (jalur hijau). Foto oleh Pay Istia

Tak ada tangga ataupun jalan beton di sana, yang ada adalah jalan setapak yang membelah semak-semak nan hijau. Di bagian lain terlihat pemandangan beberapa petak kebun penduduk yang ditumbuhi tanaman Keladi dan beberapa jenis sayuran. Untuk sesaat saya berhenti mengutip buah berwarna merah dari tumbuhan semak berduri yang memiliki buah mirip murbei. Mmmf.. asam-asam manis, tapi lumayanlah untuk melepas dahaga sekaligus mengenang masa kecil yang suka mengutip buah murbei.

Telaga Pasang Surut

“Saat datang hujan de pu air ada naik, kalau datang kering (tidak hujan) dalam waktu lama, de pu air meti (surut/kering)” jelas Bapak Meokbun itu kepada kami. Inilah sebabnya mengapa Telaga Faknik saya sebut telaga pasang surut. Dari informasi yang diberikan oleh Pak Meokbun, bahwa Telaga Faknik bisa pasang ataupun surut. Tetapi bukan seperti pasang surut air laut yang terjadi akibat adanya gaya grafitasi bumi dan bulan, pasang surut air Telaga Faknik bergantung pada kondisi hujan dan tidak hujan. Saat kami ke sana air telaga sedang pasang, jadi air menggenangi semua lekukan telaga itu.

“Kalau de pu air meti (surut) air telaga menjadi kering dan terbentuk kolam-kolam kecil di sini,” kata Pak Meokbun dan Yoseph teman kami. Sepertinya saat pasang maupun surut, Telaga Faknik punya keindahan tersendiri.

Pemandangan serba hijau

Hijaunya Telaga Faknik. Foto dok. pribadi penulis

Tak ada warna lain selain warna hijau di Telaga Faknik. Mulai dari rerumputan, pepohonan sampai air telaga terlihat berwarna hijau. Kalau pun ada itu berarti warna baju kami sebagai pengunjung serta sebuah perahu kecil milik penduduk setempat. Warna hijaunya sangat menyegarkan mata. Bak vitamin A yang baik untuk kesehatan mata, nuansa hijau di Telaga Faknik menjadi vitamin bagi jiwa kami saat itu. Oh.. sungguh menyegarkan.

Perahu penyeberangan

Menyeberang ke pulau kecil. Foto dok. pribadi penulis

Jikalau selat punya kapal Fery yang biasa menjadi transportasi antar pulau, di Telaga Faknik punya perahu kecil yang memiliki peran yang sama. Sebuah perahu kecil menjadi alat kami menyeberangi dari tepi Telaga ke sebuah pulau kecil di sana. Bukan karena jauhnya menyebrang tapi sesungguhnya perahu itu tak mampu menahan beban yang berat, jadi intinya agar peralatan yang kami bawa tak tercelup ke dalam telaga.

Dua orang bapak yang bermarga Meokbun itu pun menahan perahu dan mengantarkan satu per satu dari kami, mulai dari Yoseph, Pay, Christin, Icha dan saya menyeberang ke pulau kecil itu. Tetapi satu teman kami Christen menyeberang tanpa perahu, karena memang sudah terlanjur basah saat kecebur ke dalam air saat kami berjalan di tepian telaga. Terlihat ke dalam air di lokasi penyebrangan hanya setinggi dadanya.

Telur burung angsa

“Itu telur burung Angsa, biasa mereka pagi atau sore hari terlihat ada di sini,” kata Pak Meokbun menjawab pertanyaan saya dan yoseph kepadanya. Sebelumnya saat teman-teman yang lain asyik berfoto ria, saya berjalan sendiri mencari lokasi untuk memotret telaga yang membelakangi matahari. Sesaat kemudian Yoseph dan Pay datang menghampiri. Yoseph bercerita saat berjalan menuju saya, ia melihat ada telur berwarna kebiru-biruan. Sempat kami bertiga menduga itu adalah telurnya ular sehingga sewaktu teman-teman yang lain menghampiri kami sempat merahasiakannya menjaga agar tidak ada yang panik. Ternyata dugaan kami salah setelah mendengar keterangan Pak Meokbun akhirnya kami pun tertawa lega.

Luasnya Telaga Faknik saat pasang

Suasana Telaga Faknik saat air pasang. Foto dok pribadi penulis

Telaga faknik cukup luas saat airnya pasang (penuh). Butuh banyak waktu untuk mengetahui setiap sudutnya. Namun beberapa jam di sana sudah cukup bagi kami untuk menikmatinya. Satu hal yang pasti luasnya telaga faknik serta pemandangan akan hijau dan alaminya telaga faknik akan selalu melekat di hati kami.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU