Jika ada yang bertanya apa yang harus disiapkan untuk menuju Rumah Jampit, saya jawab tegas: ketabahan hati. Bagaimana tidak? Sejak masuk kawasan kebun kopi, Bondowoso, Jawa Timur, jalanan yang harus dilalui sudah rusak. Sementara saya dan teman saya pergi dari Genteng, Banyuwangi naik motor matic dan jalan yang harus dilalui seperti ini pula. Oh iya, jarak dari Genteng, Banyuwangi ke Rumah Jampit yang terletak di Bondowoso ini kurang-lebih sekitar 100 km. Bayangkan, betapa penatnya kami berdua.
Bukan hanya sakit dan pegal di badan yang saya dapatkan tapi juga bermandikan debu setiap kali ada sepeda motor yang lewat. Belum lagi saya terpaksa berjalan kaki ketika ada tanjakan, karena bebatuan yang sangat tajam ditambah debu tebal yang membuat ban motor tersaruk-saruk.
Memasuki Kawah Wurung, kami harus membayar tiket sebesar 3 ribu rupiah. Rasa lelah terobati ketika melihat hamparan bukit-bukit cokelat sejauh mata memandang. Belum lagi lekukan kawah yang terlihat sangat jelas nun jauh di sana. Rasanya saya ingin nge-camp saja di sana kalau teman saya itu tidak menyuruh untuk buru-buru karena takut akan pulang kemalaman.
Menurut cerita seorang teman, jika saya berkunjung ke Kawah Wurung pada musim hujan, maka saya akan mendapatkan pemandangan replika Bukit Teletubies yang hijau berkilau. Tapi tak apalah, karena di musim kemarau saja, pemandangannya sudah begitu mengagumkan.
Melewati Kawah Wurung, kondisi jalan sudah banyak berubah. Tak ada lagi bebatuan tajam, namun ketebalan debu yang harus dilewati masih tetap sama. Tapi tidak apalah, setidaknya saya tidak perlu jalan kaki lagi.
Saya terpana dengan pemandangan perbukitan yang berjajar sepanjang jalan. Namun, ada hal yang membuat saya merasa agak kecewa, yaitu perbukitan tersebut gosong terbakar karena musim kemarau panjang. Sayangnya, saya lupa mengabadikan foto bukit-bukit yang gosong.
Sebenarnya, jika berkunjung ke sini di musim penghujan, pemandangan yang akan saya dapatkan pastilah sangat menakjubkan. Hamparan perbukitan hijau dan warna-warni bebungaan liar yang tumbuh sepanjang jalan. Sebab di musim kemarau pun, saya masih menemui beberapa pohon bunga liar yang berbunga. Namun pemandangannya sungguh miris, karena diliputi debu dan terlihat kurus menyedihkan.
Di perjalanan menuju dusun Jampit, kamu juga akan disuguhi oleh pemandangan perkebunan kopi yang luas. Tapi sayangnya, saat saya kesana sedang musim kemarau panjang. Alhasil, yang saya dapatkan adalah pemandangan pepohonan kopi yang bermandikan debu.
Setelah perjalanan yang memporak-porandakan penampilan saya yang cool dari rumah. Akhirnya tibalah kami di sebuah dusun bernama Jampit. Tidak jauh berbeda dengan rumah pondok/perkebunan lainnya. Yang membedakan adalah perkebunan bunga, sayuran, dan tanaman obat-obatan yang terhampar subur di halaman rumah semua penduduknya. Dan mata saya pun langsung berubah menjadi ijo menatap warna-warni kebun kecil milik warga.
Sebelum masuk ke area Rumah Jampit, kami membeli tiket terlebih dahulu. Saya lupa berapa harganya, sepertinya Rp5000 atau Rp7000 dan gratis parkir kendaraan.
Tentunya nama Rumah Jampit sendiri masih terdengar asing bagi sebagian orang. Ya, rumah megah bergaya Belanda ini adalah sebuah rumah peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1927. Sedangkan Jampit sendiri artinya adalah ujung/pinggir. Jadi dusun Jampit adalah dusun yang terletak paling ujung di kabupaten Bondowoso.
Memasuki area halaman belakang rumah Jampit, kamu akan dimanjakan dengan taman bunga yang penuh beranekaragam jenis bunga, seperti Dandelion.
Kamu takut ketinggian? Jangan khawatir, karena di pohon ini disediakan tangga buat kamu yang mau mengambil foto bergaya di atas pohon. Selain itu, soal keamananan juga tak perlu cemas karena kayu yang digunakan kuat dan aman.
Kalau orang ‘gede’ main ayunan di tempat saya pasti bakal dikatain MKS aka Masa Kecil Suram. But, who cares? Di sini kamu bebas main ayunan sesukamu sembari menghirup udara pedesaan yang sejuk dan bersih. Untuk kamu yang lagi bete, galau dan lain sebagainya, tempat ini cocok untuk bersantai dan menenangkan pikiran karena jauh dari keramaian.
Siapa bilang nggak boleh numpang tidur di rumah tua nan megah bergaya Belanda ini? Boleh kok. Menurut informasi yang saya terima, harga menginap di rumah ini permalamnya dibanderol sekitar 2 juta rupiah. Harga yang sesuai dengan sensasi yang akan kamu dapat.
Ah, satu lagi, di area ini juga ada kebun stroberi, dimana kamu bisa memetik stroberi langsung dari pohonnya.