Selalu Ada Cerita Dari Setiap Perjalanan, Case Semarang-Blora-Semarang

SHARE :

Ditulis Oleh: Prameswari Mahendrati

Photo from team-bhp.com

Ingatan saya melayang ketika saya menemukan butiran tablet obat sakit maag di dalam laci meja kerja saya. Saya pun teringat insiden dramatis yang menimpa saya dan teman-teman seperjuangan saya, tepatnya dua tahun yang lalu. Saat itu, kami berempat memiliki rencana untuk mengadakan penelitian sekaligus traveling di kawasan Blora, Jawa Tengah dengan sasaran masyarakat Samin (salah satu desa yang menganut ilmu kebatinan) sebagai objeknya. Tim ini kami beri nama tim Solid.

Melalui alibi tugas penelitian dari kampus, kami niatkan perjalanan kami sebagai perjalanan backpacker, simpelnya sih biar nggak keliatan ada beban gitu, jadinya tugas kita jadikan prioritas nomor dua. Kami pun telah mempersiapkan perbekalan untuk tiga hari di sana dan berkas-berkas untuk keperluan penelitian. Termasuk tiket kereta api menuju Blora.

Dengan gaya udah maksimal, mereka udah siap cabut ke Stasiun. Termasuk saya sendiri, sebagai pelengkap keberadaan tim Solid. Gak tau kesumpel apa ini kuping tadi pagi, sampe-sampe alarm yang udah saya setel di dua handphone yang berbeda gak kedengeran sama sekali. Alhasil, saya lah yang menjadi amukan masa dari tiga orang yang mengaku udah gaya semaksimal mungkin. Itu belum seberapa, ketika kita tiba di stasiun Poncol pukul 06.15 WIB, kita berempat serasa di samber geledeg ketika denger dari satpam bahwa kereta menuju Blora sudah berangkat. Arrrgghh…shit!

Tunggu dulu, cerita belum selesai, kita akhirnya memutuskan untuk beralih dari kendaraan ular besi ke sepeda motor. Taraaaang…! Kita pun beralih backpacker-an dengan kendaraan yang berbeda, dimana kita juga sudah tau risiko nya, yaitu siap-siap punya bokong yang tepos.

Kota demi kota udah kita lewati; Semarang, Purwodadai, dan Blora. Tiga kota kita lewati, termasuk melewatkan sarapan pagi. Kita sih mikirnya gak sarapan pagi itu sepele, secara anak kost gitu loh, udah lumrah banget. Tapi enggak buat salah satu temen saya, Ardy. Ternyata dia bukan tipe orang yang melewatkan sarapan, maklum anak rumah. Alhasil, dia mengaku sakit di bagian ulu hati dan perut bagian bawah, akhirnya kami beristirahat sejenak di sebuah mini market di pinggir jalan Kabupaten Blora. Kami pun memberikannya obat maag karena ia mengaku memiliki penyakit maag, alias penyakit gak kuat laper. Memang sangat gegabah dia, tanpa sepengetahuan kita, ia telah melalap empat tablet obat maag sekaligus. Tentu saja di bagian petunjuk penggunaan tidak ada aturan langsung melalap empat butir sekaligus, yah memang ngawur!

Selang beberapa menit, kami pun berpindah tempat menuju hotel merah alias pom bensin, kami beristirahat di mushola umum. Nah kan, bukannya sembuh, sakitnya makin menjadi-jadi. Wajahnya pucat bak zombie, keringat dingin mengucur, dan muntaber. Lengkap sudah penderitaanmu, kawan.

Tak tega dengan keadaannya, kami pun dengan segera membawanya ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Islam Blora, namun ia dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Cepu karena saran dari seorang teman, akhirnya salah satu teman kami yang berdomisili di Cepu menjemput kami dan memindahkannya di R.S Cepu.

Namun, karena adanya miss comunication, teman kami tidak dapat ditampung di rumah sakit tersebut dengan alasan tidak adanya kamar untuk rawat inap, akhirnya teman kami dipindahkan lagi ke R.S. Muhammadiyah. Setelah mendapat pertolongan dari R.S. tersebut, akhirnya kami pun dapat sedikit bernafas lega.

Tapi, ternyata tidak selega yang saya pikirkan. Episodenya nambah lagi dan gak selesai-selesai. Atas anjuran dari orang tua Ardy, ia pun dipulangkan dan dirujuk ke R.S. Tugu, Semarang. Nah, kisah yang justru mendramatisir justru ada selama perjalanan Blora-Semarang, selama perjalanan Blora-Semarang. Kami kembali dengan di antar ambulan, saya memilih duduk di bangku depan bersama bapak supir ambulans yang kece. Sedangkan Evi dan Andhi memilih di belakang untuk menjaga Ardy bersama mas-mas mantri ( suster tapi cowok).

Di tengah perjalanan, babak drama pertama dimulai dengan episode Evi menangis tersedu-sedu sembari menahan pingsan, kami berfikir bahwa ia enggak tega liat keadaan Ardi yang tampak merintih kesakitan. Ealah…ternyata ia phobia terhadap ambulans, so buat Ardy jangan kegeeran dulu yeee dan sekarang kita mengangkut dua penumpang sakit, yang satu kena usus buntu, yang satu tepar gara-gara phobia. Next, episode drama ke dua, mantri yang seharusnya siap siaga menjaga pasien selama di perjalanan, mengalami mabuk perjalanan darat. OH…MY..! Sampai akhirnya si mantri pun minta berhenti beberapa kali di jalan untuk muntah-muntah. Di sini posisi yang selalu siap siaga justru Andhi, mungkin dia punya bakat terpendam sebagai mantri ambulans. Apa?? Saya? Kalo saya sih, ketiduran di bangku depan samping pak supir.

Sampai di Semarang, barulah drama itu berakhir. Akhirnya kita menjadi wisata rumah sakit Semarang-Blora-Semarang, super sekali. Tapi pengalaman ini justru semakin meningkatkan rasa solidaritas di antara kita berempat. Backpacker lagi? Tentu saja. Dari kejadian ini, kita semakin respect dalam mempersiapkan segala sesuatu, tidak hanya materi, tetapi fisik dan mental jauh lebih penting dari apapun, jangan lupa…SOLID!

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU