Makanan bisa menjadi identitas bagi suatu masyarakat. Tak hanya menyimpan sejarah, suatu hidangan juga bisa memaparkan budaya yang terkandung dalam rasanya. Hal inilah yang akan Anda temukan ketika mengigit makanan khas daerah, salah satunya Lunpia. Jika Anda berkunjung ke Semarang, Jawa Tengah, Anda akan disuguhkan dengan jejeran toko yang menjual camilan ini.
Lunpia merupakan kudapan yang dibuat dari kulit khusus lunpia yang digulung bersama tumis sayur rebung, telur, dan daging ayam atau udang. Biasanya lunpia juga dihidangkan bersama saus kental yang terbuat dari adonan tepung kanji, gula merah, dan bawang yang memberikan sensasi manis. Tak lupa, acar mentimun dan tunas bawang merah atau lokio disediakan untuk menambah kesegaran.
Memang lunpia merupakan makanan khas Semarang, namun taukah Anda bahwa kudapan ini muncul dari cinta pasangan beda budaya? Kultur Jawa dan Tiongkok yang hadir di Semarang akhrinya melahirkan Lunpia di era Kolonial Belanda. Tak dapat dipungkiri, kehadiran masyarakat Tiongkok pun akhrinya menciptakan akulturasi budaya, khususnya di bidang kuliner.
“Makanya kuliner Indonesia itu terpengaruh dari China itu sekitar 75 sampe 80 persen, banyak. Ya karena mereka di sini kan sudah ratusan tahun,” ujar Jongkie Tio, budayawan Tiongkok di Semarang, pada Jumat (21/09).
Pada tahun 1800an, seorang pemuda asal Tiongkok bernama Tjoa Thay Joe akhirnya sampai ke Semarang. Untuk mencari peruntungan, ia berjualan makanan kecil seperti yang dilakukan keluarganya di negeri asal. Tak hanya Thay Joe, ternyata ada seorang gadis Jawa yang berjualan kudapan juga bernama Wasih.
Dibandingkan jualan Wasih, makanan kecil Thay Joe lebih sedikit pembelinya. Hal ini dikarenakan makanan yang ia buat berisi daging babi padahal pada masa itu masyarakat Semarang mayoritas beragama Islam. Thay Joe mulai sering berdiskusi dengan Wasih agar dagangan mereka sama-sama laku dan akhirnya tumbuh cinta di antara mereka hingga akhirnya menikah.
Pernikahan mereka tidak hanya melahirkan anak saja, tetapi makanan lunpia yang akhirnya menjadi kebanggaan masyarakat Semarang. Resep pembuatan lunpia masih sama hingga kini walau penggunaan ikan pihi sudah ditiadakan. Namun tetap saja, kenikmatan lunpia masih terjaga bahkan hingga kini masih terkenal hingga menjadi identitas kota Semarang.
“Terjadinya (lunpia-red) itu unik. Tidak hanya ada akulturasi makanan, tetapi ada suatu romantisme, ada asimilasi alamiah antara dua etnik yang berbeda yang bisa bersatu dan bisa menghasilkan sesuatu,” ucap Jongkie.
Dinasti lunpia Thay Joe dan Wasih masih berdiri hingga kini seiring masih banyaknya anak cucu keturunannya yang masih berjualan lunpia. Jika Anda penasaran, Anda bisa datang ke Loenpia Mbak Lin di Jalan Pemuda atau Lunpia Gang Lombok di daerah Pecinan Semarang untuk bisa mencicipi kudapan dari keturunan Thay Joe langsung.
Seiring berjalannya waktu, mulai banyak inovasi lunpia yang muncul guna mengikuti globalisasi yang terus membawa makanan asing ke Semarang. Namun, dapat dipastikan bahwa lunpia akan terus ada karena lunpia merupakan identitas dari masyarakat Semarang.
Jongkie menambahkan, “Semua makanan tradisional itu ikut dengan adat istiadat dari bangsa itu. Jadi kalaumakan itu mulai hilang, bangsanya hilang sek (dulu-red).”
#SelamatHariPanganSedunia 16 Oktober 2018