Pagi hari itu, 16 Agustus 2007, dinginnya udara pagi terasa begitu menusuk, perlahan merambat menjalar keseluruh tubuh, menghasilkan reaksi bergetar sebagai bentuk perlawanan. Kabut tipis pelan-pelan turun dari atas puncak, mengaburkan pemandangan indah hamparan perkebunan teh yang membentang jauh hingga batas hutan.
Setelah semalam tidur tak benar-benar pulas, gara-gara dingin yang begitu menyiksa dan angin gunung yang berhembus kencang menerpa tenda, kini saya harus memulai perjalanan yang sebenarnya, menapaki jalur terjal di tengah belantara yang benar-benar asing, menuju Puncak Cikuray yang sedang bersembunyi di balik kabut.
Seorang kakak senior kemudian membongkar carrier saya, mengemas ulang, menjejalkan berbagai macam barang yang sebelumnya tak termasuk bawaan saya. Kemudian ia mengangkat sebentar untuk menimang beratnya, setelah dirasa cukup, ia taruh kembali carrier saya, dan berlalu begitu saja, mengecek ulang carrier-carrier anggota lain.
Penasaran, saya dekati carrier yang sudah dikemas ulang tersebut, lalu coba mengangkatnya, dan hasilnya..gila, carrier saya jadi super berat! Meski sedikit kesal, sebagai anggota baru yang masih sangat pemula, dan lagi ini merupakan pengalaman pertama saya mendaki gunung, saya tak berani protes, dan hanya bisa pasrah menerima.
Beberapa tahun berlalu sejak masa itu, setelah menjadi anggota penuh organisasi ini, setelah merasakan beragam pengalaman dan setelah mendapat banyak ilmu kepecintaalaman dan pendakian, saat teringat kejadian itu kini saya baru-baru benar-benar sadar, saat itu bukan carrier saya saja menjadi semakin berat, namun setiap anggota tim juga merasakan hal yang sama. Dari perlakuan itu, kakak senior saya coba mengajarkan nilai kebersamaan, solidaritas, dan perasaan sama rasa senasib sepenanggungan pada kami semua. Tak ada perlakuan khusus dalam setiap pendakian, tak boleh ada rasa egois, solidaritas dan kebersamaan tim adalah hal paling penting yang harus diutamakan.
Cerita tersebut merupakan sedikit cuplikan pengalaman pertama saya mendaki gunung. Dari titik nol tersebut, petualangan kecil saya kemudian berlanjut, dalam prosesnya, banyak pengalaman seru dan berharga saya dapatkan dari setiap perjalanan pendakian yang sudah dilakukan, tak jarang pengalaman tersebut memberi pelajaran penting yang teramat berharga dalam proses perjalanan menuju kedewasaan diri.
Setelah beberapa tahun menggeluti hobi ini, berkaca dari berbagai pengalaman yang sudah dilalui, saya paham, ternyata pendakian gunung telah menjadi satu hal yang memberikan pengaruh besar bagi hidup saya.
“Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya..” petikan lirik lagu dari soundtrack film Gie mengalun merdu meresap pelan-pelan ke dalam jiwa. Setidaknya saya merasakan sendiri betapa banyak manfaat yang bisa dipetik saat kita mendekatkan diri dengan alam. Dan salah satu cara terbaik untuk menjadi lebih dekat dengan alam adalah dengan mendaki gunung.
Sudah banyak peneliti yang mengatakan jika mendaki gunung adalah olahraga yang sangat bagus untuk kesehatan jasmani dan rohani. Mendaki bisa melatih banyak otot, meningkatkan kinerja paru-paru, dan merefresh otak.
Setiap perjalanan – sekalipun mendaki ke gunung yang sama, dengan orang-orang yang sama – selalu punya cerita berbeda yang memberikan pengalaman seru tak terlupakan. Ada cerita tentang pendakian yang sulit, ada yang mudah, ada yang pahit, tak jarang pula ada yang berakhir manis, menyebalkan, atau menyenangkan, semua telah terekam jelas menjadi memori indah yang mewarnai hidup.
Sudah bukan rahasia lagi jika para pendaki gunung terkenal dengan sikap ramah dan bersahabat. Jadi jangan heran jika dalam setiap perjalanan pendakian, akan banyak kawan-kawan baru yang bisa didapat. Ada kawan baru yang hanya sekilas menyapa di jalur pendakian, ada kawan baru yang tiba-tiba mengajak menikmati kopi hangat bersama-sama di depan tenda, ada kawan baru yang hanya menawarkan kebersamaan selama perjalanan, tak jarang pula ada banyak kawan baru yang kemudian menjadi sahabat dekat, dan seiring waktu berjalan berakhir menjadi kerabat baru yang teramat berharga.
Saat melakukan suatu pendakian, saya belajar pentingnya menghilangkan rasa egois, dan lebih mengutamakan rasa kebersamaan dan solidaritas. Di pendakian lain, saya belajar untuk tidak bersikap sombong. Di pendakian berikutnya, saya belajar tentang pentingnya persiapan. Dan selalu begitu seterusnya. Dalam setiap perjalanan pendakian, selalu ada pengalaman baru yang memberikan pelajaran berharga yang membuat diri saya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Melihat pemandangan indah dari puncak, menyaksikan kemegahan alam yang membentang luas hingga batas cakrawala, memandangi lautan awan yang indah tak terkira, pengalaman-pengalaman tersebut seringkali membuat saya sadar betapa diri ini sangat kecil dan tak ada apa-apanya dihadapan alam raya ciptaan Tuhan.
Masih bisa kembali pulang dengan selamat setelah melewati berbagai keadaan sulit dalam pendakian. Bisa kembali makan masakan lezat buatan ibunda setelah berhari-hari hanya bisa makan mie rebus. Bisa kembali merasakan kasur yang empuk setelah berhari-hari tidur hanya beralaskan matras diatas tanah yang keras. Setelah pulang mendaki berhari-hari, semua hal biasa tersebut kemudian terasa menjadi sangat mewah dan berharga, hingga membangkitkan rasa syukur tak terkira atas segala nikmat yang diberikan Tuhan.
***
Dengan berbagai hal positif tersebut, saya merasa menyesal tidak mengenal dunia pendakian lebih awal. Jika boleh berandai-andai, jika waktu bisa kembali diputar, saya sangat ingin mencoba mulai mendaki gunung sejak masih usia kanak-kanak. Dan jika hal itu terjadi, mungkin akan ada lebih banyak cerita pengalaman menarik, akan ada lebih banyak pelajaran berharga yang bisa diraih, dan akan ada lebih banyak manfaat positif yang bisa didapat.
Namun, kenyataannya waktu tak pernah bisa diputar, semua yang sudah terjadi tak akan pernah bisa diulang. Rasa sesal itu kini hanya bisa saya ganti dengan rasa syukur, karena setelah dipikir ulang, masih mending saya sudah diberi kesempatan berkenalan dengan dunia pendakian sejak usia masih muda, sedangkan diluar sana banyak orang yang baru mulai merasakan manisnya pendakian saat usia sudah mulai menua, saat waktu dan tenaga mulai mendekat ke garis batas.
Mendakilah sesering mungkin, terus berjalan sejauh mungkin, dan terus menanjak setinggi mungkin, agar mata dan hati kita semakin terbuka melihat dunia, semakin dewasa melihat kehidupan, semakin mudah menerima banyak manfaat, dan semakin banyak menyerap energi positif dari perjalanan.