Pengalaman Unik 3 Tahun Hidup di Gorontalo

Tiga tahun hidup di tempat dengan latar belakang budaya berbeda membuat saya sadar akan sesuatu, bumi pertiwi ini memang luar biasa!

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto oleh Rizky Utami Putri

Tulisan ini adalah hasil obrolan ringan saat Rizky Utami Putri bernostalgia tentang masa SMA-nya di Gorontalo.

Hari itu menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidup, saya harus melanjutkan pendidikan SMA di Gorontalo! Tak terbayangkan 3 tahun hidup jauh dari orangtua di Tangerang, di tempat yang latar belakang budayanya sangat berbeda. Meski demikian saya tak bisa mundur. Saya sendiri yang memilih untuk mendaftar di lembaga pendidikan itu, dan ketika mereka menetapkan akan menempatkan saya di tempat yang sangat jauh, saya harus menerimanya, ini tantangan baru.

Tiga tahun hidup di Gorontalo, sangat banyak hal baru yang saya dapat;

Bertengkar hanya karena sebuah decakan “ck”

Selama menempuh pendidikan SMA di Gorontalo, saya tinggal di asrama di mana dalam 1 kamar terdapat murid-murid dari berbagai suku bangsa, termasuk dari orang lokal Gorontalo.

Suatu saat saya menawari makan bersama pada teman dari Gorontalo tersebut. Menanggapi tawaran saya, dia hanya berdecak “ck” sembari memalingkan muka. Mendapat tanggapan yang tidak mengenakan, otomatis saya tersinggung. Setelah itu bahkan kami “perang dingin”. Saya malas mengobrol lagi dengannya. Suatu ketika saya curhat dengan seorang senior tentang permasalahan ini. Dia malah tertawa keras. Dia bilang saya salah paham. Di Gorontalo, saat seseorang ingin berkata “tidak”, mereka akan berdecak “ck”. Saya kaget, ternyata semua hanya salah paham. Langsung saya minta maaf pada teman saya itu. Dia bahkan ikut tertawa saat saya ceritakan alasan mendiamkannya.

“Bunuh!”

Saat akan tidur, seorang teman sekamar asal Gorontalo berkata, ‘bunuh!‘. Saya kaget, apa maksudnya? Dia mengulangi perkataannya,’bunuh lampunya.‘ Saya langsung paham dan tertawa kecil, ternyata yang dia maksud “bunuh” adalah mematikan lampu.

‘Ayo pesiar!’

Untuk menghilangkan suntuk, kami berencana keluar asrama di akhir pekan. Teman dari Gorontalo mengajak, ‘Ayo pesiar!’ Teman-teman dari luar daerah Gorontalo termasuk saya girang bukan main. Kami semua akan diajak pesiar ke laut! Gorontalo ini memang dekat dengan laut, pantai-pantainya bahkan masih jarang terjamah wisatawan.

Akhir pekan pun datang. Saya sangat antusias. Namun setelah beberapa jam keluar dari asrama dan kami hanya keliling-keliling naik bentor (becak motor), saya tanya pada teman saya asal Gorontalo,’jadi pesiar tidak ya?’ teman saya memasang wajah bingung, ‘Ini sekarang sedang pesiar kan?’ Kali ini giliran saya yang bengong. ‘Jangan-jangan pesiar itu keliling-keliling ini, jalan-jalan?’ saya coba memastikan. Dia mengacungkan jempol, ‘yup!’ Dan seketika itu juga saya bingung, ingin kesal atau tertawa.

‘Halo cewek!’

Saat sedang belanja di sebuah toko, seorang laki-laki karyawan toko mendekati saya, ‘Halo cewek, sedang cari apa?’ Saya terkejut. ‘Kok pelayan toko ini nggak sopan ya‘, pikir saya. Karena khawatir dan tak nyaman saya memilih meninggalkan toko itu. Di asrama saya bercerita pada teman saya asal Gorontalo. ‘Di Gorontalo, cewek/cowok itu seperti panggilan ‘Kak’ atau ‘Mas/Mbak’ di Jawa, itu normal di sini.’ Saya hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. Saya pikir karyawan tadi berniat menggoda.

‘Om bentor!’

DI Gorontalo tak ada panggilan bibi atau abang. Kami semua memanggil “bibi kantin” kami dengan sebutan “tante kantin”. Selain itu tak ada “abang becak”, kami semua memanggilnya “om bentor ( tak ada becak kayuh di sini, hanya ada becak motor ). Saya geli sendiri dan senyum-senyum malu tak jelas saat pertama kali harus memanggil tukang bentor dengan panggilan “om”, meski akhirnya setelah cukup lama tinggal di sana saya menjadi terbiasam bahkan kebiasaan memanggil “om” sampai terbawa saat kembali ke Tangerang.

***

Setalah 3 tahun hidup di tempat dengan latar belakang budaya sangat berbeda, saya sadar akan sesuatu. Negeri ini sangat luar biasa, tetap bisa bersatu meski budaya dan bahasanya sangat beraneka ragam. Pernah saya mendengar orang berkomentar, ‘orang yang terlalu mendewa-dewakan suku/golongannya sendiri mereka pasti tak pernah merantau dan hidup dalam kotak.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU