Pendakian Puncak Cartenz, Saat Warga Lokal Terpinggirkan

Pendakian Puncak Cartenz dikenal sebagai salah satu pendakian termahal dunia, sayangnya hal tersebut belum bisa menyejahterakan masyarakat sekitar.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto oleh Eveerth

Adventure Consultant, operator pendakian terkenal dari Selandia Baru saja menjual paket pendakian ke Puncak Carstensz seharga USD 27.000 atau sekitar Rp 383 juta. Tak ayal, Puncak Carstensz pun disebut-sebut sebagai salah satu pendakian paling mahal di dunia.

Takjub melihat angka itu? Tak usah heran, pendakian Puncak Cartenz memang dikenal sebagai salah satu pendakian termahal dunia.

Untuk mendaki Puncak Carstensz selain dibutuhkan mental dan fisik yang prima, juga ‘kantong’ yang prima pula. Gunung yang berada di Pegunungan Jayawijaya ini mencakup 3 kabupaten; Puncak Jaya, Intan Jaya dan Mimika. Dari Jakarta, kita bisa naik pesawat menuju Timika atau Nabire. Kemudian lanjut naik pesawat perintis yang hanya berkapasitas 12 kursi menuju Sugapa di Intan Jaya. Dari sana, perjalanan dilanjutkan 8 jam ke Desa Ugimba dan perjalanan menuju Puncak Carstensz tinggal 2 hari paling cepat dengan trekking.

Maximus Tipagau, pemilik salah satu operator jasa pendakian membeberkan rincian biaya mendaki Puncak Carstensz.

Turis mancanegara, biayanya USD 10 ribu -USD 11 ribu. Biaya tersebut sudah meliputi perjalanan pendakian ke Puncak Carstensz, baik dari tenda, makanan, porter, transportasi, pemandu, kemanan dan bermalam di homestay setelah pendakian. Sementara wisatawan lokal mulai Rp 30 juta. Perjalanannya bisa diatur dan bisa disesuaikan harganya, paling cepat perjalanannya 5 hari.

Biaya pendakian ke Puncak Carstensz memang besar. Hal itu dikarenakan soal transportasi, makanan dan penginapan. Lagipula, baru hanya ada segelintir penginapan homestay di Desa Ugimba.

Puncak Carstensz Pyramid, adalah salah satu idaman para pendaki dunia, karena termasuk dalam rangkaian The Seven Summits. Tujuh puncak tertinggi di lempengan benua, bersama Mount Everest (Asia), Kilimanjaro (Afrika), Elbrus (Eropa), Aconcagua (Amerika Selatan), Mckinley (Amerika Utara), dan Vinson Massif (Antartika).

 

Terpinggirkannya warga lokal

Lalu, apakah masyarakat Papua sendiri sudah menikmati kucuran dana yang dikeluarkan oleh para pendaki?

Maximus menjelaskan, ada tiga suku yang mendiami kawasan di sekitar Puncak Carstensz, yaitu Suku Dani, Moni dan Amungme. Desa yang terdekat itu, Desa Ugimba. Dan sayangnya, mereka belum menikmati dari besarnya dana yang dibutuhkan untuk pendakian Puncak Cartenz, karena semuanya masih dikuasi oleh bukan orang luar Papua.

Suku-suku Papua yang tinggal di sekitar Puncak Carstensz kebanyakan hanya menjadi penonton saja. Harusnya mereka turun langsung untuk mengelola destinasi-destinasi di sana.

Maximus, sebagai warga lokal, ia memiliki operator pendakian Adventure Carstensz  yang sepenuhnya dikelola oleh masyarakat Ugimba baik untuk soal porter, logistik (seperti makanan) hingga penginapan.

Salah satu kendalanya adalah tidak mudah untuk memberikan pemahaman pariwisata kepada masyarakat di sana. Butuh pelatihan yang tidak sebentar serta regulasi yang jelas terhadap jalur pendakian dari pemerintah.

Maximus berharap, nantinya masyarakat lokal-lah yang mengatur pariwisata di Puncak Carstensz. Ia tidak ingin seperti Raja Ampat yang pengelola wisatanya justru orang-orang luar dan orang aslinya hanya bantu-bantu saja.

Bantuan pemerintah sangat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur di sana khususnya terkait pariwisata mengenai jalur pendakian ke Puncak Carstensz.

Maximus menambahkan, sekarang ini pemikiran pemerintah adalah mempromosikan destinasi yang infrastrukturnya sudah siap. Di Puncak carstensz, mindset itu harus diubah. Infrastruktur pariwisata dulu yang dibenahi seperti akses, jalur pendakian dan regulasi. Sampai kapan pun menunggu infrastruktur di Papua tidak akan selesai, jika begitu, kapan pariwisatanya akan berkembang.

Sudah saatnya semua pihak terkait duduk bersama membahas pengelolaan Puncak Carstensz. Orang-orang lokal harus bisa menjaga dan melestarikan keindahan alam di sana demi pariwisata. Karena dengan pariwisata jugalah, mereka bisa hidup sejahtera.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU