Falsafah dalam hidup menjadi hal penting yang dikenal, diketahui dan dilakoni (dijalani) oleh masyarakat Jawa.
Saya berasal dari suku Jawa dan masih mencoba memegang teguh falsafah-falsafah Jawa tentang kehidupan.
Tahun 2011, saya bertemu dengan masyarakat lokal Kaliurang, Jogja. Salah satu yang saya temui yaitu guide yang sudah lama bekerja di kawasan wisata Kaliurang. Ia bercerita bagaimana mbah Maridjan (juru kunci Merapi) netepi atau memenuhi janjinya pada Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menjaga Merapi. Ia berkeras tak mau meninggalkan rumahnya, padahal kondisi sangat genting, awan panas sudah menyelimuti wilayah Cangkringan, kediaman mbah Maridjan.
Terlepas dari kontroversi tentang pemenuhan janji sebagai juru kunci itu, mbah Maridjan dikenal ramah. Kala itu mbah Maridjan bercerita tentang penambang pasir Sungai Krasak, Magelang. Beliau pernah menyapa seorang penambang pasir di sekitar sungai dekat Merapi, mengobrol santai dan menyelipkan nasehat indah. Jika para penambang pasir di Sungai Krasak Magelang berhasrat mendapat keuntungan lebih, apa yang akan dilakukannya? Mengambil pasir berkali-kali dengan menggunakan truk menjadi pilihan. Bahkan tanpa memperhitungkan kelestarian alam sungai. Jika pasir di sungai terus-terusan diambil, saat hujan deras terjadi, arus air yang deras dari gunung Merapi akan menghanyutkan apa saja yang ada di sungai. Jika tidak ada pasir lagi, maka sebelah kanan dan kiri sungai akan terbawa, termasuk rumah warga, pepohonan dan lain-lain.
Dengan lemah lembut mbah Maridjan berkata kepada penambang pasir, ‘Uwes le nambang sakcukupe, urip kui sakmadya nglakoni‘, atau dalam bahasa Indonesia artinya: ‘Sudah, menambang (pasir) secukupnya saja, hidup itu dijalani dengan secukupnya tidak kurang atau lebih’. Mbah Maridjan mengatakan ini karena ia melihat kemungkinan lahar dingin datang cukup besar.
Nasehat mbah Maridjan ini cukup lama saya pahami dan resapi, ternyata maknanya sangat indah. Falsafah ini mengajarkan kita bahwa menjalani hidup sebagai orang Jawa harus secukupnya, tak perlu bermewahan atau berlebihan dalam segala hal.
Sayangnya, penambang pasir itu tidak mendengarkan nasehat mbah Maridjan. Yang terjadi kemudian, truk pasir yang diparkirnya di tengah sungai terbawa lahar dingin. Lahar dingin ini sering tiba-tiba saja datang saat musim penghujan. Kita tak bisa memprediksi akan sederas apa airnya. Akhirnya truk tersebut hanyut hingga beberapa meter dan muatannya ikut terbawa air.
Orang-orang Jawa sering terlihat kurang ngotot berusaha untuk meraih sesuatu. Itu bukan berarti mereka tidak mencoba atau tidak mau berusaha. Mereka berusaha hingga batas yang dapat mereka hadapi. Selebihnya, mereka memasrahkan itu kepada Tuhan. Inilah yang disebut sebagai semeleh.
Falsafah jawa kedua saya dengarkan dari teman saya yang berasal dari sunda. Dia memiliki mertua dari Jawa. Siang itu di sela-sela aktivitas kantor, kami mengobrol.
‘Mas, apa sih kunci kehidupan yang damai dan bisa ikhlas?’
‘Kuncinya malah kupelajari dari mertuaku yang asli Jawa. Beliau bilang saat kita benar-benar merasa ‘sempit’ dalam hidup, merasa ‘berat’, satu yang bisa kita lakukan yaitu semeleh,’ Teman saya menjelaskan dengan lugas.
‘Maksudnya mas?’
’Semeleh itu ikhlas dengan seluruh permasalahan atau beban, membiarkan Tuhan yang mengatur dan memberikan solusinya.’
Mendengarnya saya tertegun, memang benar tidak semua masalah bisa benar-benar kita selesaikan saat itu juga. Ada kalanya, masalah baru bisa kita selesaikan di kemudian hari. Bantuan bisa datang dari sesuatu yang tak pernah kita duga sebelumnya. Terkadang dalam kehidupan sehari-hari saat kita ngotot menyelesaikan masalah dengan ngotot, seolah merasa kita adalah manusia super yang bisa menyelesaikan berbagai macam hal, hal itu hanya menambah pening kepala dan menjadi beban. Saat kita gagal menyelesaikan masalah, kita stres.
Falsafah ini mengajarkan tentang, “apa yang kita tanam itu apa yang akan kita petik hasilnya nanti”. Itu sebabnya tidak sedikit orang Jawa asli yang mudah membantu orang atau ringan tangan, mudah memberi dan mudah memaafkan. Mereka yang mudah memberi selalu percaya, kebaikan mereka hari ini akan berbuah manis kelak, jika kebaikan yang sama atau lebih baik tidak diterima oleh dirinya maka akan diterima oleh anak cucunya. Orang Jawa asli yang mudah memaafkan ini juga menganut kepercayaan bahwa berlama-lama terlarut dalam kemarahan atau kebencian tidak akan ada hasilnya. Jadi, jalan damailah yang dipilih, yaitu memaafkan.