Tuai Kritik Tajam, Pajak Untuk Backpacker di Australia Akan Dikaji Ulang

Pemerintah Australia berpikir ulang akan menarik pajak dari para backpacker

SHARE :

Ditulis Oleh: Desti Artanti

Menteri Pariwisata dan Pendidikan Internasial Australia, Richard Colbeck. Foto dari smh.com.au

Pemerintah Australia akhirnya mengakui adanya pajak yang akan dikenakan pada para backpacker yang berkunjung ke Australia akan mempengaruhi industri pariwisata mereka. Hal itu diakui oleh Richard Colbeck, Menteri Pariwisata dan Pendidikan Internasional yang mewakili pemerintahan federal Australia.

Backpacker yang akan datang ke Australia untuk bekerja dan berlibur dengan visa yang dikenal dengan nama working holiday visa, akan dikenai pajak sebesar sebesar 32,5 % dari setiap dolar yang mereka dapatkan. Dalam hal ini, Pemerintah Australia juga membatalkan peraturan tax-free threshold yang biasanya dikenakan di awal, sebesar $18.000,-.

Richard Colbeck menjelaskan bahwa pemerintah Australia sendiri kini masih mengkaji pajak tersebut, mengingat diberlakukannya pajak tersebut sangat berpengaruh terhadap banyak sektor di Australia, terutama sektor pariwisata.

“Berbagai pandangan sudah disampaikan mengenai dampak dari apa yang disebut sebagai ‘pajak backpacker’ terhadap tingkat persaingan kita secara global sebagai tujuan backpacker untuk datang.” kata Colbeck.

Lebih lanjut, Colbeck juga menjelaskan bahwa pengaturan pajak ini memerlukan pembahasan lebih lanjut sehingga Australia tidak kehilangan pangsa pasar di bidang ini.

Richard Colbek mengatakan para backpacker ini tetap akan membayar pajak, namun kajian mereka nantinya akan melihat berbagai kemungkinan lain sehingga tidak ada dampak negatif bagi penghasilan mereka.

Di berbagai daerah Australia, para petani sudah mengatakan bahwa panenan mereka akan terlantar bila para backpacker ini tidak lagi mau mengunjungi Australia karena mereka harus membayar pajak yang tinggi.

Setiap tahunnya, Australia mengeluarkan lebih dari 200 ribu working holiday visa. Visa ini dikeluarkan pertama kalinya di tahun 1975 untuk warga  yang berusia antara 18-30 tahun di tiga negara, Inggris, Kanada, dan Irlandia.

Setelah itu diperluas untuk negara lain, termasuk Indonesia, yang mendapat ‘jatah’ 1000 visa setiap tahunnya.

 

Baca juga:

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU