Sejak melanjutkan studi dan untuk pertama kalinya tinggal di dekat kawasan Ibukota, saya merasa asing dan berpikir bahwa kota asal saya jauh lebih menyenangkan.
Di pikiran saya, Jakarta adalah sebuah kota yang membosankan dan panas. Hingga akhirnya, suatu hari Minggu yang cerah, dengan sedikit keberanian saya dengan mantap mencoba menghabiskan hari libur di kota ini.
Jakarta yang panas dan membosankan hanya sebuah asumsi atau fakta? Itu yang ingin saya coba buktikan.
Tak ada salahnya memulai pagi dengan berolahraga selagi udara belum terlalu panas. Sedikit jogging akan membuat tubuh segar sebelum menjelajahi kota. Car Free Day atau hari bebas kendaraan yang letaknya berada di kawasan pusat Jakarta ini rutin diadakan setiap hari minggunya mulai pukul enam hingga sebelas pagi. Dengan latar bangunan-bangunan tinggi pencakar langit yang menjulang di Jalan M.H Thamrin hingga Jenderal Sudirman ini menambah semangat saya pagi itu untuk berlari kecil sambil menikmati suasana yang mulai ramai dipadati berbagai kalangan dan usia.
Di Car Free Day banyak sekali orang-orang yang melakukan atraksi maupun kampanye jalanan yang cukup menghibur dan dapat menambah wawasan tentang lingkungan sekitar. Jalanan kota yang lengang dari kendaraan bermotor pun menjadi daya tarik dan kemewahan tersendiri tentunya, terutama bagi pendatang seperti saya. Bayangan Jakarta yang macet ini seketika sirna ketika saya berlari pagi dengan suasana baru di sini. Karena saya tinggal di pinggiran Jakarta, saya mencapai kawasan Car Free Day ini dengan Commuterline menuju Stasiun Sudirman, atau menggunakan Transjakarta melalui koridor Blok M – Kota dan turun di halte terdekat.
Catatan : Armada Transjakarta tidak berhenti beroperasi ketika Car Free Day berlangsung.
Siapa bilang berwisata kuliner di Jakarta itu mahal? Setelah berolahraga di Car Free Day, saya melanjutkan perjalanan menuju kawasan Bendungan Hilir untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Di sini saya menemukan beragam kuliner nikmat yang layak coba seperti bakmi keriting, mendoan, ketoprak, soto padang, nasi padang, siomay bandung, dan masih banyak lagi dengan porsi yang dapat mengganjal hingga siang hari. Tentunya dengan harga ramah kantong mahasiswa.
Ketika bertandang ke daerah ini, rasanya saya merasakan sisi Jakarta yang lain. Di balik gedung-gedung tinggi menjulang, uniknya masih saya temukan kesederhanaan pada pasar tradisional dan tidak lupa masih terdapat kendaraan yang saya kira sudah punah, yaitu oplet! Ya benar, oplet masih digunakan sebagai moda transportasi umum di sekitar kawasan yang biasa disingkat menjadi Benhil/ Dengan merogoh kocek sekitar tiga ribu rupiah, seakan-akan dengan menumpangi oplet saya bisa menaiki ruang waktu dan lagi-lagi, menikmati kota ini dengan cara berbeda sambil merasakan hangatnya serabi solo yang saya temukan di sisi jalan.
Dari Car Free Day, saat itu saya terlalu malas berjalan kaki karena kelelahan, maka melanjutkan perjalanan menuju tempat ini dengan menaiki Transjakarta jurusan Blok M dan turun di halte Bendungan Hilir.
Sebelum matahari meninggi, apa salahnya menghabiskan pagi di kawasan Kota Tua. Banyak aktivitas yang dapat kamu lakukan di sini. Sekedar menikmati keindahan arsitektur yang cantik? Dapat menjadi pilihan. Berkeliling museum? Banyak sekali museum yang bagus yang menarik sekaligus tidak membutuhkan kocek terlalu dalam untuk memasukinya, bahkan cuma-cuma. Seperti Museum Bank Indonesia, dengan arsitektur kolonial nan megah, isi museum ini sungguhlah modern. Saya terpukau dengan cara museum ini bercerita tentang perkembangan bank dan keuangan di Indonesia dengan model timeline atau dari waktu ke waktu dan juga memamerkan berbagai koleksi mata uang dari belahan dunia. Museum Wayang, Museum Fatahilah, Museum Bank Mandiri, Museum Keramik, dan museum lainnya yang terkenal juga letaknya saling berdekatan pun terdapat di kawasan Kota Tua. Setelah puas berkeliling, berfoto ala nona atau tuan belanda pun bisa menjadi pilihan.
Kota Tua Jakarta ini menjadi destinasi andalan Jakarta pada setiap minggunya karena banyak hal yang ditawarkan tanpa perlu membutuhkan banyak uang.
Catatan : Untuk menuju Kota tua dari Bendungan Hilir, saya perlu menaiki Transjakarta jurusan Jakarta Kota.
Petak 9 terletak di belakang kawasan perbelanjaan Glodok. Petak 9 daerah yang patut dijelajahi setiap jengkalnya karena disinilah pusat kawasan pecinan tertua milik ibukota berada. Kawasan Petak Sembilan memiliki banyak sekali bangunan kuno yang patut menjadi objek foto yang akan dijadikan kenang-kenangan. Di sana, saya mencoba bertanya ke orang sekitar di mana lokasi Gereja Santa Maria de Fatima yang teman saya ceritakan beberapa bulan lalu. Letak gereja ini memang jauh dari keramaian jalan raya, sisakan tenaga dan keberanian bertanya untuk mencari lokasinya, namun peluhmu akan terbayar ketika sampai tempat tujuan bangunan gereja ini sungguh indah dengan sentuhan arsitektur ala Tionghoa yang mirip Vihara. Ketika saya mengendap-ngendap masuk, seorang pastur, paruh baya menyambut dengan sangat ramah. Beliau sangat antusiasbercerita tentang sejarah gereja.
Setelah lelah menelusuri Kota Tua dan menikmati kawasan pecinan, saya kembali mengayunkan langkah menuju Gang Gloria untuk mencicipi minuman di Kedai Kopi Es Tak Kie yang legendaris sekaligus melepas dahaga. Kedai ini telah berdiri sejak puluhan tahun dan mempertahankan ke-kunoannya. Hal itu bisa dibuktikan dengan interior kursi yang berupa meja kayu, tanpa ada penyesuaian zaman, namun inilah yang menjadi daya tarik orang-orang datang ke sini. Untuk mencicipi segelas kopi dingin ataupun sekedar bernostalgia. Sekedar catatan, datanglah ke kedai kopi ini sebelum jam dua siang. Di sekitar Gang Gloria pun terdapat berbagai pilhan jajanan yang halal maupun non-halal, tentunya dengan harga murah-meriah yang bisa dicoba lalu menjadi buah tangan.
Catatan : Untuk menuju Petak Sembilan dari Kota Tua, saya hanya perlu berjalan kaki sekitar satu kilometer saja atau selama kurang lebih 15 menit.
Waktu Zuhur tiba, berjalan-jalan tidak dapat menjadi alasan untuk melalaikan kewajiban yang Tuhan berikan, bukan? Setelah puas mengenal kawasan pecinan petak sembilan, saya melangkahkan kaki ke Stasiun Jakarta Kota lalu menuju Stasiun Juanda dengan kereta. Masjid Istiqlal yang pernah menyandang predikat Masjid Terbesar se-Asia Tenggara tidak boleh dilewatkan begitu saja. Arsitekturnya yang cantik dan megah dapat membuat khusyuk beribadah dan beristirahat sambil menikmati ketenangan dalam masjid. Setelah kewajiban terselesaikan dan stamina kembali pulih, selanjutnya saya menuju Katedral yang letaknya berada di seberang Istiqlal. Katedral ini memiliki tampak tak kalah ciamik dengan arsitektur bergaya Roma. Ketika berada di dalam kedua bangunan ini, angin pun berhembus sejuk, seketika udara Jakarta yang panas pun tak terasa.
Sekedar menikmati kedua bangunan berdampingan dengan damai ini pun apa salahnya? Jangan lupa mengabadikan beberapa foto karena kedua tempat ibadah ini menjadi lokasi favorit para Instagrammers.
Setelah menyegarkan badan dan pikiran di Istiqlal, saya melanjutkan perjalanan dengan mencoba bus tingkat yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI secara cuma-cuma. Letak haltenya berada tepat di depan Masjid Istiqlal. Dengan bus tingkat ini, kita bisa melihat Jakarta dengan cara berbeda dengan melewati gedung dan bangunan ikonik seperti Monumen Nasional, Museum Nasional, Istana Negara, Mahkamah Agung, dan lainnya yang biasanya menghiasi layar televisi. Tak perlu takut kepanasan, karena dalam bus tingkat ini dilengkapi pendingin yang berhembus dengan sejuk.
Matahari sudah meninggi, turun di halte Museum Nasional setelah puas menikmati bus tingkat pun menjadi pilihan yang tepat. Museum ini pun biasa juga disebut dengan nama Museum Gajah. Menikmati kekayaan sejarah dan budaya Indonesia yang leluhur kita wariskan? Kenapa tidak? Terdapat koleksi mulai dari arca, prasasti, baju daerah, miniatur rumah adat, dan benda bersejarah lainnya di museum ini. Bangunan museum yang berdiri pada tahun 1778, tak lantas menjadikan suasana di dalamnya kuno dan menyeramkan. Justru gaya klasik pada bangunannya menambah kesan syahdu dan menentramkan. Tak jarang pameran seni tentang budaya pun sering disenggelarakan di museum ini yang bisa saya nikmati.
Pasar? Kenapa harus pasar? Jangan salah, Pasar Santa sedang booming di kalangan anak muda akhir-akhir ini karena memiliki banyak sekali pilihan kuliner yang unik dan menggoda. Selain kuliner, terdapat lapak-lapak yang menjual barang seperti piringan hitam atau pakaian berbau indie. Menjajal beberapa kudapan dapat mengisi sore hari saya menjelang malam setelah seharian berpetualang. Lupakan pendingin ruangan ataupun wifi di tempat ini, karena yang harus saya lakukan adalah bercengkrama sambil menikmati jajanan.
Pasar Santa ini sejak pertengahan tahun 2014, pasar ini mulai ramai dikunjungi karena semangat anak-anak muda yang tak ingin menjadikan pasar tradisional sebatas sarana jual-beli kebutuhan rumah tangga, namun pasar dapat dijadikan juga sebagai tempat berkumpul.
Catatan : Untuk menuju Pasar Santa dari Monumen Nasional, saya kembali menggunakan Transjakarta menuju Blok M. Dari terminal Blok M, dapat dilanjutkan dengan menggunakan bajaj, taksi, ataupun ojek.
***
Jalan-jalan santai berkeliling Ibukota mengubah persepsi saya tentang kota metropolitan ini. Jakarta ternyata sebuah kota yang menyenangkan dan layak dinikmati -tentu jika kamu tahu cara menikmatinya.
Saya mulai menaruh hati pada Ibukota tercinta. Jakarta memiliki cara tersendiri untuk memikat orang-orang yang bertandang ke tempatnya.
Jangan hanya berasumsi. Cobalah keluar dari zona nyaman dan temukan caramu sendiri untuk menikmati sebuah perjalanan