“Mendekap” Orangutan di Musim Hujan

adakalanya, melihat orangutan dari kejauhan, bukan mendekap dengan erat

SHARE :

Ditulis Oleh: Haryadi Yansyah

Foto dok pribadi penulis

“Rindu yang menggelora itu seperti butiran hujan. Datang menggebu membasahi relung, menyamarkan riak air mata, untuk sejenak memperingatkan bahwa asa dan rahmat-Nya selalu tersedia.”

Menurutku, tak ada cara yang lebih menyenangkan untuk menggalau rasa resah selain melakukan perjalanan. Sendiri. Berjalan di muka bumi nan luas ini, karena dengan begitu kejutan-kejutan di perjalanan sedikit banyak mampu menutupi resah yang menyelimuti hati.

Perjalanan, itu dia yang aku lakukan di penghujung tahun 2016 lalu, di tengah rasa galau tak berkesudahan, bertepatan dengan kesempatan untuk menjelajahi negeri, Taman Nasional Tanjung Puting terletak di kabupaten Kotawaringin Barat yang pusat pemerintahannya berada di Pangkalan Bun. Kota kecil ini tengah menggeliat. Pembangunan dilakukan di sana sini.

Sahabat, ini Kalimantan. Jika kau terbiasa pergi ke satu tempat mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya yang mulus, di sini, sungai adalah “jalan raya”-nya. Sungai besar yang harus aku lalui pertama kali oleh penduduk setempat disebut dengan nama Sungai Kumai. Berbeda dengan sungai Musi yang cukup berarus, sungai Kumai, sungai besar yang kami sebelum masuk ke sungai Sekonyer, kami lalui dengan tenang.

Foto oleh penulis

Dari dalam klotok, aku melihat kapal-kapal nelayan berukuran sedang terparkir di bibir sungai. Klotok berukuran besar yang digunakan demi kepentingan wisata juga nampak berbaris rapi. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk klotok mencapai muara sungai Sekonyer.

Ya, sungai Sekonyer adalah satu-satunya akses bagi kami menuju TN Tanjung Puting. Keberadaan sungai ini dapat “terdeteksi” dari sebuah patung orangutan berukuran besar yang berada di sisi kanan sungai dikelilingi pohon nipah. Hanya sisi kanan yang termasuk dalam taman nasional. Sedangkan sisi kiri adalah lahan perkebunan sawit. Itu sebuah fakta. Fakta yang agak mengerikan sebetulnya. Mungkinkan, hutan yang ada di sisi kanan kelak akan berubah jadi kebun sawit, juga?

Suara berbagai macam hewan mulai terdengar. Burung, monyet dan juga serangga. Dari muara sungai Sekonyer, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam menuju pos pemberhentian pertama di Tanjung Harapan. Di sanalah proses pemberian makanan kepada orangutan biasanya dilakukan.

Foto oleh penulis

Tiba di dermaga kecil, kapal kami bersisian dengan kapal-kapal lain yang sebagian besar ditumpangi oleh wisatawan asing. Di dekat dermaga, terdapat bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah ini sebagian ditempati oleh ranger atau petugas yang mengurusi orangutan. Orang-orang inilah yang melakukan penelitian, melihat perkembangan kehidupan orangutan sekaligus memberi makan kepada orangutan tersebut.

Dari sini, kami masih diharuskan berjalan kaki sekitar 20 menit menuju titik pemberian makan kepada orangutan. Semakin ke dalam, semakin menyatu bersama alam. Kami melewati pepohonan berdiameter lebar, tanah-tanah yang becek, sungai-sungai kecil dan tentu saja perjumpaan kami dengan berbagai jenis hewan. Lintah atau pacet?

Takut?

Tidak sama sekali. Toh, kami ditemani oleh pemandu yang berpengalaman. Berhati-hati itu jelas harus dilakukan. Namun, jika banyakan khawatirnya, tentu saja seharusnya sejak awal tidak memilih berlibur ke hutan, toh?

Foto dok. pribadi penulis

Mata memandang ke sisi kanan, oh Tuhan, itu dia orangutannya!

Perjalanan jauh aku lakukan hanya untuk bertemu dan “mendekap” primadona Taman Nasional Tanjung Puting ini. Beberapa orangutan nampak bergelantungan di atas dahan. Luar biasa perasaanku saat itu. Akhirnya, penantian panjang demi melihat orangutan secara langsung tercapai sudah. Jumlah orangutan memang semakin hari semakin berkurang akibat keberadaan mereka seringkali dianggap hama oleh warga.

Mereka juga sering ditangkap dan dibunuh karena merusak kebun sawit milik perusahaan. Padahal, sesungguhnya perusahaan-perusahaan itulah yang lebih dulu merusak tempat tinggal mereka, toh? Belum lagi penambangan emas secara illegal yang turut mencemari sungai Sekonyer.

Jelajah Pondok Tanggui

Foto dok. pribadi penulis

Kami menghabiskan malam pertama di TN Tanjung Puting dengan damai. Tidur bertirai kelambu, di dalam klotok yang terparkir rapi di tepi sungai Sekonyer sembari ditemani suara hutan. Rasanya belum pernah aku merasakan sensasi menginap sekeren ini!

Pagi menjelang, kami kembali siap melakukan petualangan baru. Saking nikmatnya perjalanan ini, deru mesin klotok yang bertugas menggerakkan baling-baling kapal pun terdengar harmoni. Kami kembali menyusuri sungai Sekonyer selama kurang lebih 2 jam untuk mencapai titik selanjutnya : Pondok Tanggui.

Sahabat, satu hal lagi yang harus kalian ketahui. Taman nasional itu tentu saja tidak sama dengan kebun binatang dimana hewannya dikerangkeng beton atau pagar khusus. Untuk memberi makan, ranger harus “memanggil” terlebih dahulu orangutan yang ada dengan menyerukan suara-suara khusus. Di Pondok Tanggui, kami menunggu cukup lama hingga kemudian seekor orangutan yang membawa serta anaknya bergerak menuju tempat diletakkannya buah untuk mereka makan.

Foto dok.pribadi penulis

Jika akses menuju Tanjung Harapan jalannya tergenang air dan lumpur di sana-sini, di Pondok Tanggui, kami bahkan harus melepas alas kaki karena aksesnya dibanjiri oleh air. Desember memang musim penghujan. Sebagian teman menghindari bulan ini untuk berkunjung ke TN Tanjung Puting. Padahal, inilah saat yang baik untuk bertemu dengan orangutan.

Kenapa?

Pohon berbuah lebat saat musim hujan. Dengan demikian, orangutan akan mudah ditemui. Kami berkali-kali berjumpa dengan orangutan di sepanjang perjalanan. Coba jika datang saat musim kemarau, selain debit air sungai Sekonyer yang berkurang, ancaman asap juga dapat menyebabkan makin sulitnya menemukan orangutan karena mereka biasanya akan bergerak menjauhi kepungan asap.

Ada kalanya melihat orangutan cukup dengan hanya mengamati. Itu yang terjadi saat kami mendatangi Pondok Tanggui. Tiba-tiba hujan deras datang. Dengan memakai jas hujan, kami hanya berdiri sambil menikmati orangutan yang lahap menyantap sarapan pagi mereka. Percayalah sahabat, itu sangat luar biasa!

Primadona di Camp Leakey

Foto dok. pribadi penulis

Sahabat, mari aku perkenalkan dengan sosok primadona di Camp Leakey. Camp Leakey? Iya, ini lokasi utama perkembangbiakan orangutan yang ada di Taman Nasional Tanjung Puting. Jika kau pembaca setia buku-bukunya Dewi Lestari, kau akan tahu betapa kerennya tempat ini.

Di hari itu, puluhan klotok berdatangan ke sana. Beberapa terlihat kelebihan muatan. Ramai sekali! Mereka adalah penduduk lokal yang melakukan one day tour hanya ke Camp Leakey. Saat kami tiba di dermaga, seekor orangutan berukuran besar tampak berdiam diri di sana. Itu adalah Siswi. Primadona Camp Leakey.

Terlihat beberapa orang yang mendekati Siswi dan berfoto bareng. Dia jinak, namun tetap berhati-hati. Siswi juga dikenal sebagai orangutan yang jahil. Sudah banyak wisatawan yang hartanya dirampas oleh Siswi.

Ada saat-saat tertentu tempat wisata padat dikunjungi wisatawan. Kurang nyaman sedikit tidak apa-apa. Walau jujur aku khawatir, orang seramai ini akan berdampak pada orangutan. Faktanya: tidak sama sekali. Mungkin karena sudah terbiasa ya, jadi orangutannya tetap saja muncul di area pemberian makanan.

Foto dok. pribadi penulis

Sahabat, medan di Camp Leakey yang kami lalui lumayan panjang. Ditambah lagi, di tengah perjalanan, kami dihadiahi hujan. Aku betul-betul menikmati tiap detik berada di tengah hutan di bawah guyuran hujan. Dan, aku berani bertaruh, teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama. Kami merasa betul-betul menyatu dengan alam.

Lagi-lagi, di sepanjang perjalanan kami bertemu dengan orangutan. Ketika kami berada di titik pemberian makanan, sudah tidak terlalu banyak orang di sana. Bisa jadi sisanya menyerah ketika hujan datang. Kami, yang sudah membekali diri dengan jas hujan tentu santai saja.

Begitu tiba di titik pemberian makanan kepada orangutan, hujan reda. Namun orangutan belum nampak. Yang ada malah babi hutan berukuran besar. Ranger mulai memanggil-manggil orangutan. Dan tiba-tiba saja, sekumpulan orangutan datang dari berbagai penjuru. Seingatku, setidaknya aku melihat lebih dari 5 ekor orangutan saat itu. Mereka tidak datang bersamaan karena orangutan lain akan melipir ketika pimpinan/raja mereka berada di sana.

Cukup lama kami berada di sana untuk melihat aktifitas orangutan. Saat semua orang sudah beranjak pulang, kami masih memilih untuk bertahan. Tiba saatnya kami pulang sembari kembali menyusuri sungai yang warnanya menghitam dikarenakan gambut yang ada di dasar sungai. Hitam tak selamanya jelek. Yang ada di hadapan kami saat itu malah nampak luar biasa indah.

Sahabat, aku dan teman-teman satu rombongan memang tidak mendekap orangutan secara langsung. Lebih baik begitu, cukup melihat dari jauh dan jikapun bersisian, tak usahlah bereaksi yang dapat mengganggu mereka. Cukuplah mendekap alam yang menjadi rumah mereka. Dengan menjaga kelestarian alam, maka kita ikut serta dalam menjaga mereka. Kamu gak mau kan, generasi yang akan datang hanya mengenal orangutan hanya dari foto saja?

“Orangutans look straight into your soul.” Willie Smits.

***

 *) Haryadi Yansyah alias Omnduut adalah pemenang kontes blog #saveorangutan yang diselenggarakan oleh Phinemo dan BeBorneo Tour. Kamu bisa baca tulisan menarik dari Haryadi Yansyah di sini.

Kamu bisa baca cerita perjalanan menarik lainnya di artikel berikut,

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU