Makna Kesakralan Gunung dari Berbagai Negara

Gunung yang sakral bukan dilihat dari ukuran atau bentuknya yang besar. Atau pun banyaknya cerita menyeramkan yang beredar di dalamnya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

“Hati-hati, banyak ranjau sepanjang jalur pendakian” 

Seorang teman memperingatkan agar memperhatikan setiap langkah saat berjalan di sepanjang jalur pendakian menuju pos Danau Ranukumbolo, Gunung Semeru. Ranjau alias kotoran yang dihasilkan para pendaki ini menjadi pemandangan yang menjijikan. Di sepanjang jalan, kiri kanan, terlihat ranjau yang sudah mengering bahkan ada juga yang masih basah. Ranjau tak lagi sembunyi di balik semak-semak atau pohon rindang, kotoran pendaki ini pun menampakan diri di pinggir jalan yang jadi lalu lalang.

Ketika para pendaki sudah tak risau buang hajat sembarangan, apakah ini jadi pertanda bahwa gunung tak lagi dianggap sakral?  Baca cara buang air gunung yang benar di gunung dengan klik di sini. 

Makna gunung sakral yang sesungguhnya 

Gunung yang sakral bukan dilihat dari ukuran atau bentuknya yang besar. Atau pun banyaknya cerita menyeramkan yang beredar di dalamnya. Kesakralan gunung dilihat dari karakater gunung itu sendiri. Ketika gunung tersebut mampu memunculkan kekuatan kosmik yang sanggup pengaruhi tatanan kehiduapan masyarakat dan segala makhluk yang mendiami, maka bisa dibilang gunung tersebut memiliki kesakralan. 

Menurut sejarawan, filsuf, penulis fiksi Rumania dan profesor di Universitas Chicago, Mircea Eliade, gunung yang sakral menjadi simbol akan banyak hal. Ada yang menganggap bahwa gunung sebagai tempat suci, gunung dianggap sebagai Tuhan, gunung yang sanggup memberikan kekuatan super, dan ada juga yang beranggapan bahwa gunung adalah tempat hidup dan mati suatu bangsa. 

Gunung Kailash. 

Di Tibet, Gunung Kailash merupakan gunung yang paling dihormati. Bukan hanya Tibet, masyarakat dunia pun menyakralkan gunung ini. Bahkan, belum ada satu orang pun yang tercatat secara resmi telah mendaki Gunung Kailash. Kesucian dan kesakralan gunung ini benar-benar dijaga para umat Hindhu, Buddha, dan Jain. 

Cara menyakralkan Gunung Kailash pun unik. Umat Hindhu dan Buddha memuja Gunung Kailash dengan cara berjalan mengelilingi gunung searah jarum jam. Sebaliknya, umat Jain melakukannya dengan cara mengelilingi gunung berlawanan jarum jam. Mereka percaya, mendaki hingga ke puncak Gunung Kailash merupakan suatu penghinaan kepada Tuhan mereka, Dewa Shiva.  

Baca fakta menarik lainnya tentang Tibet dengan klik di sini.

Pegunungan Ausangate. 

Gunung sakral lainnya adalah Pegunungan Ausangate. Jika melihatnya sekilas, pegunungan ini memang sangat cantik. Warna emas, ungu lavender, marun, dan pirus yang mewarnai pegunungan menjadi daya tarik tersendiri. Namun, di balik kecantikan pegunungan ini, ternyata menyimpan suatu hal sakral yang terus dijaga hingga sekarang. 

Bagi Bangsa Inca (bangsa sekitar yang tinggal di wilayah Pegunungan Ausangate), warna-warna pegunungan Ausangate ini dianggap suci dan dipercaya sebagai Dewa Qosqo. Kepercayaan ini lah yang membuat penduduk sekitar berdatangan mempersembahkan sesaji untuk sang dewa. Mereka percaya, Dewa Qosqo mampu mendatangkan kesuburan dan sumber air melimpah bagi pertanian mereka.

Bahkan, Bangsa Inca pun memberikan persembahan paling berharga, berupa tubuh manusia. Ritual ini bernama Capac Hucha. Ritual Capac Hucha dilakukan bangsa Inca sebagai bentuk rasa hormat kepada para dewa dengan cara memberikan persembahan tubuh manusia yang didandani sesuai dengan rapi. Menurut catatan tertulis oleh Pastor Bernabe Cobo, bangsa Inca mempersembahkan manusia kepada dewa matahari, kepada dewa cuaca Illapa, dan pencipta Viracocha, agar mereka senantiasa dilindungi dan dilimpahkan sumber daya alam dan kesejahteraan.

Bagaimana dengan kesakralan gunung di Indonesia?

Upacara Kasada di Gunung Bromo. Foto dari sini

Di Indonesia pun, kita masih bisa menemukan gunung yang disakralkan, Gunung Bromo misalnya. Setiap bulan Kasada di hari empat belas, masyarakat Suku Tengger Bromo melakukan ritual Yadnya Kasada sebagai bentuk persembahan kepada Sang Hyang Widhi. Ritual ini dimaksudkan agar masyarakat Suku Tengger dijauhkan dari malapetaka dan menjadi suatu simbol atas rasa syukur yang diberikan Tuhan kepada masyarakat. 

Kemudian, ada juga upacara adat yang hampir serupa dilaksanakan di Gunung Rinjani. Masyarakat Suku Sasak yang tinggal di sekitar Gunung Rinjani melakukan ritual suci Wettu Telu di Danau Segara Anak. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk rasa hormat dan terima kasih kepada Dewi Anjani, dewi yang dipercaya sebagai penunggu kawasan Danau Segara Anak. 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU