Labuan Bajo Dulu dan Kini

Labuan Bajo dulu dan kini memang tak sama lagi, tapi ada satu hal yang tak pernah berubah, pesona keindahan alamnya yang memesona.

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Saat menginjakkan kaki pertama kali di Labuan Bajo, kapal-kapal berbagai ukuran dari yang besar hingga sampan nelayan menjadi pemandangan yang tak bisa dilupakan. Ditambah lagi, pulau-pulau kecil terlihat begitu indah dari kejauhan. Pesona keindahan alam Labuan Bajo mampu memikat hati setiap turis yang datang ke kota kecil di ujung barat Flores ini.

Beda dulu, beda lagi sekarang. Sekitar 30 tahun silam, sebelum menjadi kota sesibuk dan sepopuler ini, Labuan Bajo dikenal sebagai daerah pemasok ikan kering untuk wilayah Ruteng. Di mana untuk menuju Labuan Bajo dari Ruteng diperlukan waktu empat hari hingga seminggu dengan berjalan kaki.

Baca juga: Bandara Soekarno Hatta dari masa ke masa

Kalau sekarang, ada jalur trans Flores dengan jalanan sudah mulai di aspal, dulu orang-orang yang berjalan kaki dari Ruteng menuju Labuan Bajo harus melewati medan yang terjal, hutan belantara, dan sungai dengan aliran yang deras. Persamaannya, dulu dan sekarang pemandangan jalur Labuan Bajo – Ruteng tetap sama-sama memesona.

Foto ini diambil pada 2013. Sumber foto

Selain jalur darat, cara lain menuju Labuan Bajo dari Ruteng adalah dengan gunakan kapal. Warga memulai perjalanan dari pelabuhan Reo, Ruteng dengan menggunakan perahu-perahu nelayan kecil. Saat angin musim barat tiba sekitar bulan Februari – Oktober, nyawa menjadi pertaruhannya.

Dan memang benar apa yang disampaikan dalam lirik lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”. Nenek moyang kita, termasuk suku Bajo, adalah pelaut ulung.

Melansir dari Antara, seorang pria tua yang tinggal di sini bernama Lebu Maga bercerita tentang awal mula keberadaan Labuan Bajo. Dia menuturkan, di Pulau Bajo ini terdapat makam aseli orang Bajo.

Lebu Maga lanjutkan ceritanya, jauh sebelum Indoonesia berdiri, para orang-orang Bajo asal Goa, Makassar pergi merantau dan mengarungi perairan Flores. Tak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menetap di Pulau Bajo dan tinggal turun temurun di sana.

Mereka menikah dengan warga lokal Flores seperti orang Sape dan suku-suku lain yang datang ke pulau ini. Tumbuh dan berkembang hingga hidup membaur dan besar seperti sekarang.

Pemilihan nama Labuan Bajo pun tak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan orang Bajo ke Labuan Bajo. Para leluhur dan tetua Bajo yang hidup lama di sana begitu dihormati atas jasa-jasanya menemukan pulau ini. Maka, sebagai bentuk penghormatan kepada suku Bajo yang sudah menetap lama di pulau ini, nama Labuan Bajo yang berarti tempat berlabuh suku Bajo disematkan pada kota kecil di ujung Flores ini.

Kini, suku-suku asli Bajo masih bisa ditemukan di sini. Biasanya, warga setempat memanggil mereka dengan sebutan Lolo yang berarti orang Bajo. Suku Bajo yang sekarang pun tak jauh berbeda dengan suku bajo zaman dahulu. Mereka masih melaut dan mencari ikan. Hanya saja, peralatan yang digunakan sudah mulai dipengaruhi modernitas zaman.

bandara Komodo tahun 2013. Sumber foto

Kota Labuan Bajo sekarang ini bukan lagi kampung nelayan kecil pemasok ikan kering. Kota ini penuh sesak dengan turis. Pada tahun 2014, total 49.422 orang yang datang ke Labuan Bajo. Lalu, di tahun 2014, sejumlah 61.257 orang mengunjungi pintu masuk Pulau Komodo ini. Tahun lalu, sebesar 83.712 orang telah menjejakan kaki di Pulaunya orang Bajo ini.

Setiap tahun terus saja mengalami kenaikan jumlah wisatawan. Bahkan, tahun ini, pemerintah pusat menargetkan total 100.000 turis datang ke Labuan Bajo. Kenyataan ini memang baik untuk peningkatan sektor pariwisatanya, namun saat menengok keadaan infrastruktur yang ada di sana, perasaan ironis menyeruak.

Baca juga: Stasiun Tawang dari masa ke masa

Lihat saja trotoar dan jalanan yang ada di sana. Belasan turis asing berjalan berderet di trotoar sempit dengan lampu jalan yang terbatas. Sampah-sampah yang masih terlihat di beberapa titik menciptakan kesan kumuh. Kemudian, buruknya drainase menciptakan kubangan kecil yang muncul di permukaan saat musim hujan tiba.

Kabar baiknya, pembangunan infrastruktur jalan menuju hotel-hotel dan tempat wisata terus dibenahi. Melansir dari voxntt, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Mabar mengatakan saat ini pemerintah telah menyediakan anggaran 12 miliar rupiah untuk memperbaiki jalanan kota Labuan Bajo dan total 200 juta rupiah disediakan untuk membangun tangga menuju Bukit Pramuka.

Modernitas zaman memang tak bisa dielakan. Peningkatan pariwisata pun bagian dari proses pembangunan. Tapi, menjaga keindahan alam yang diwariskan Tuhan dan keunikan kebudayaan lokal sebagai ciri khas kebangsaan, sudah menjadi tanggungjawab kita semua.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU