Tak kenal maka tak sayang. Jika kita berkata sayang tapi tak berusaha mengenalnya? Mungkin hanya sayang abal-abal. Seperti saya dan mungkin sebagian orang Indonesia lain yang tak pernah tahu dan berusaha tahu, mengenal berbagai macam keanekaragaman negeri ini, salah satunya, kopi.
***
Aroma petrichor tercium. Aroma tanah yang basah terkena air ini selalu menyenangkan, membuat pikiran terasa ringan. Pepeng, si pemilik rumah sedang melakukan kegiatan rutinnya sore itu sebelum Klinik Kopi -coffee shopnya- buka, menyiram tanaman. Rumahnya memang ia fungsikan juga sebagai coffee shop.
Selasar rumahnya yang berasitektur using menggunakan bambu-bambu membuat suasana rumah sejuk, meski udara Jogja kala itu cukup panas. Di samping selasar terdengar suara kecipak ikan berenang di kolam. Selasar ini biasa digunakan para pengunjung antre sebelum sesi mereka dimulai. Sesi? Ya, karena ruangan yang cukup kecil, Pepeng hanya membatasi 5-6 orang masuk ke ‘ruang praktek’nya, sementara menunggu giliran, pengunjung bisa bersantai di selasar.
Saya masuk ke ‘ruang praktek’ Klinik Kopi ini sembari menunggu Pepeng. Klinik Kopi berbeda dari coffee shop manapun yang pernah saya kunjungi. Ruangannya mungil sekira 4 x 4 meter, tak ada bangku dan meja, tak ada musik hingar bingar, dan juga tak ada fasilitas free wifi seperti coffee shop kekinian. Di situ hanya ada satu meja besar, “meja kerja” Pepeng. Semua lengkap, ada grinder kopi, presso, juga toples-toples kaca besar bertempelkan foto dan asal biji kopi. Di atasnya menggantung 2 lampu dengan cahaya redup -Pepeng sengaja meredupkan dan memfokuskan cahaya ke meja tersebut agar pengunjung fokus dan tak melakukan hal lain saat minum kopi sembari mendengar ia bercerita segala hal tentang cairan yang sedang dinikmati pengunjung itu.
Kursi coffee shop ini menggunakan kotak kayu panjang -yang ternyata Pepeng manfaatkan juga sebagai kotak penyimpanan biji kopi-, dan juga beberapa bekas tempat botol-botol minuman bersoda.
Serba minimalis, namun efisien. Tak ada ruang mubazir di coffee shopnya ini.
Pepeng pernah berkata, ia ingin membuktikan jika membuat coffee shop itu mudah, tak ribet, tak butuh modal terlalu besar. Yang penting pengetahuan tentang kopi harus memadai, dan juga prinsip untuk selalu menyajikan yang terbaik bagi pengunjung.
Klinik kopi ini saya amati memang bukan tempat yang cocok untuk “nongkrong”. Tapi jika Anda ingin menikmati kopi yang sesungguhnya, tak ada tempat lain yang lebih cocok. Tak sekadar menyesap cairan hitam, tapi kita juga akan diceritakan darimana asal cairan yang sedang kita minum, seperti apa pengolahannya, apa jenisnya, lengkap. Dengan mengetahui dan merekam perjalanan kopi tersebut, kita akan merasakan kenikmatan yang sesungguhnya. Memang, Pepeng punya prinsip jika kopi adalah ‘cerita. Kopi tanpa cerita hanya air berwarna hitam, hambar.
Pintu geser berderak. Pepeng, teman saya yang bertubuh tambun ini masuk. Nampak kausnya basah terkena cipratan air saat menyiram tanaman tadi. Dengan cekatan ia segera memakai topi bulat dan rompi jeans favoritnya.
“Ada yang baru, kamu harus coba!”
Tak begitu lama segelas cairan hitam tak begitu pekat tersaji. Wanginya lembut. Pada tegukan pertama, saya langsung memasang muka kaget. Pepeng tertawa.
“Bagaimana? Luar biasa kan? Itu kopi kebun Bu Nur, dari Solok, Sumatera Barat.”
Kopi arabica ini “nyeleneh”! Rasanya seperti paduan teh dengan jahe. Rasa asamnya cukup lama tertinggal di rongga mulut. Wanginya membuat santai.
Pengunjung mulai berdatangan. Sepasang turis asing dan 3 orang mahasiswa. Dengan cekatan Pepeng melayani mereka. Saya sibuk menyesap kopi sembari mengambil satu buah roti coklat besar yang tersedia di sudut ruang.
Seperti ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan. Peribahasa itu langsung terlintas saat mendengar cerita dari Pepeng, pemilik Klinik Kopi, tentang kopi yang beredar di masyarakat kita.
“Indonesia adalah surganya kopi, tapi sayangnya, hampir sebagian besar kopi yang beredar di masyarakat adalah ‘bad coffee’. Kopi instan itu, kopi murninya paling hanya berapa %, sisanya gula, perisa, dan macam-macam bahan lain. Itupun biji kopi yang digunakan biji kualitas buruk.”
Harga normal biji kopi robusta berkualitas baik dijual berkisar seharga Rp 45.000 per 250 gram. Bandingkan dengan 250 gram bubuk kopi robusta instan yang bisa kita dapatkan hanya dengan Rp 9000,-. Jadi, hampir mustahil kalau kopi sachetan itu berasal dari biji kopi yang berkualitas baik. Karena dari modal biji kopi robusta berkualitas cukup baik yang sebelum di sangrai sekira Rp 50.000,-/kg. Rp 50.000/kg : 4 = Rp 12.500. Jadi, butuh Rp 12.500 hanya untuk modal green bean nya saja, itu belum termasuk packaging, pemasaran, biaya sangrai, dan masih banyak lagi. Jelas rugi bila dijual dengan harga Rp 9.000,-.
Lalu, apakah salah dengan kopi instan?
Kopi instan bagi saya inovasi luar biasa. Memudahkan siapapun menikmati kopi. bagi orang serba sibuk dan ingin yang praktis, kopi instan sangat membantu. Namun hal ini bisa berbahaya.
Saya teringat obrolan dengan seorang teman saat memesan kopi di sebuah cafe. Ia heran dengan pecinta-pecinta kopi yang ia anggap “sok” menikmati kopi padahal menurutnya semua kopi sama saja. Saya mafhum dengan sikap apatisnya. Saya pun, dulu berpendapat sama. Kopi Indonesia rasanya hampir tak ada bedanya, pahit. Karena itu orang-orang suka mengkombinasikannya dengan krimer, gula, ataupun susu agar nikmat.
Inilah bahayanya. Karena kurangnya edukasi tentang kopi lokal, sampai-sampai membentuk paradigma yang salah di masyarakat tentang kopi, seperti teman saya tadi. Padahal menurut Pepeng, dalam 1 kebun di satu daerah saja, rasa kopi bisa berbeda-beda tergantung dari pengeringan, roasting, dan banyak lagi. Bisa sampai menghasilkan 4 rasa.
” ‘Life is too short to drink bad coffee’. Hidup manusia itu berapa lama sih? Paling 60-70 tahun. Sangat disayangkan jika kita baru mengenal ‘kopi enak’ di umur 40-50 tahunan. Apalagi kita tinggal di Indonesia yang varietas kopinya luar biasa banyak. Ini surga kopi lho. Edukasi tentang kopi Indonesia pada konsumen itu penting. Jangan sampai mereka salah mengira tentang kopi ini.”
Sepak terjang Pepeng mengenalkan betapa luar biasanya potensi kopi negeri ini pada masyarakat terkadang membuat saya geleng-geleng kepala. Dia bisa tiba-tiba berada di Solok, beberapa hari kemudian di Flores, kemudian ke Bandung. Energinya seperti tak pernah habis.
Prinsipnya patut diacungi jempol. Ia tak ingin membeli biji kopi dari petani, tanpa melihat langsung kebunnya. Membangun keintiman dengan petani dan kopinya adalah kunci untuk menjaga kualitas kopi yang tersaji di klinik kopi. Di sanapun, ia tak hanya membeli. Pepeng melakukan edukasi agar petani tahu cara mengolah kopinya dengan baik.
Petani kopi tak tahu cara mengolah kopi?
Miris bukan? Itu gambaran sebagian besar petani kopi negeri ini. Menurut Pepeng, petani sudah terlalu sibuk dengan penanaman, juga hidupnya. Yang ada di pikiran mereka adalah bagaimana harus terus menanam, dijual ke tengkulak -meski dengan harga murah, kemudian bertahan hidup. Bukan salah petani, ini semua karena kurangnya perhatian orang-orang yang mengaku intelektual dunia kopi pada mereka. Di Solok misal, Pepeng ikut membuatkan dome untuk proses pengeringan agar biji kopi yang telah dipanen tak langsung dijemur di atas lantai dan di bawah terik matahari langsung. Mengapa? Karena biji kopi itu unik, ia mudah menyerap karakter lingkungannya, termasuk bau. Jika dijemur di atas lantai langsung, kopi akan bau tanah.
Pepeng, dengan klinik kopinya ingin menjembatani petani dan konsumen. Ia mengedukasi keduanya. Hal itu terus dilakukannya dengan tekun sejak 2013.
Pernah suatu ketika dengan mata berbinar ia bercerita, ia memvideokan testimoni dari pengunjung dan esoknya ia langsung terbang menemui petani untuk menunjukkan testimoni itu. Para petani terkejut dan kaget. Baru kali ini mereka “mendapatkan” hal seperti itu. Berlebihan? Tidak. Pepeng benar. Terkadang apresiasi kecil akan menghasilkan hal besar. Dengan mengetahui jika kopinya benar-benar dinikmati konsumen, petani akan lebih menjaga kualitas kopi dan kebunnya. Jika kualitas terjaga, mereka bisa menjual dengan harga tinggi. Tengkulak tak akan mendekat. Kondisi ekonomi pun akan membaik. Ada rantai kebaikan tak terlihat seperti itu dari sebuah hal kecil.
***
Tinggal di tempat berjuluk “surganya kopi” namun tak mengenal “surga” itu sendiri terdengar menyedihkan. Sudah saatnya kita berusaha mengenal negeri ini lebih dekat, tak hanya koar-koar di mulut, “Aku Cinta Indonesia”
Partner with
Artikel ini merupakan bagian dari program Bingkai Negeri #1 yang membahas perjalanan dan kopi. Cerita lain tentang kopi dalam program ini dapat kamu lihat dihalaman Serangkai Cerita Tentang Kopi.