Cu An Kiong, 'Si Tua' dari Tiongkok Kecil

Bagaimana mungkin tempat semenarik ini luput dari radar para wisatawan?

SHARE :

Ditulis Oleh: Mia Kamila

Jika Kota Semarang terkenal dengan mempunyai julukan “Little Netherland”, Kabupaten Rembang di pesisir utara Jawa Tengah memiliki sebuah kawasan dengan nama julukan “Tiongkok Kecil”, yaitu Kecamatan Lasem.

Foto dok. pribadi penulis

Ada rasa penasaran yang mengusik hati, sehingga saya memutuskan untuk menelusuri tempat itu. Saya berkunjung ke Lasem dan tanpa sadar kaki saya sudah melangkah menyusuri gang-gang sempit di kawasan Pecinan Lasem yang pada akhirnya membawa saya ke sebuah tempat di mana cerita tentang tempat ini bermula, sebuah bangunan klenteng tua.

Dulu, para pendatang dari Tiongkok menyandarkan kapalnya di Lasem pada abad ke-14 sampai 15. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan kuno berarsitektur khas negeri bambu di wilayah Lasem, salah satunya klenteng tua tempat saya berada sekarang, yang menjadi tempat pemujaan Dewa Laut di jalur lalu lintas perdagangan sepanjang aliran Sungai Babagan Lasem. Klenteng tua bernama Cu An Kiong ini tepatnya berada di Jalan Dasun No. 19.

Foto dok. pribadi penulis

Menurut cerita warga setempat, ternyata dulu para prajurit Ceng Ho yang sebagian besar laki-laki, mendarat dan kemudian tinggal di Lasem. Karena betah, mereka kemudian menikah dengan wanita-wanita pribumi Lasem. Lalu, sebagai ucap rasa syukur kepada dewa karena selamat saat mengarungi lautan, maka dengan senang hati mereka membangun klenteng ini sebagai tempat pemujaan.

Nampaknya saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini adalah klenteng terindah dan terunik yang pernah saya lihat. Konon, arsip yang menjadi catatan sejarah klenteng ini diyakini telah dicuri oleh Belanda ketika mereka menduduki Indonesia karena itu sampai sekarang tidak ada yang tahu kapan persisnya klenteng ini berdiri. Hanya saja, klenteng ini pernah direnovasi pada tahun 1869 dan mengalami penambahan bangunan di bagian kanan dan kiri klenteng yang berfungsi sebagai pelengkap bangunan.

Meski pernah direnovasi, bangunan utama klenteng tidak pernah mengalami perubahan, dibiarkan apa adanya. Dinding klenteng nampak tebal dengan arsitektur bangunan kuno, kerap menjadi pusat pujian dari setiap pengunjung yang datang. Selain itu, bangunan ini dipercantik dengan adanya detail ornamen pada atap klenteng.

Foto dok. pribadi penulis

Jika hendak masuk ke dalam, mata kita akan disuguhi kecantikan ukiran kayu yang menghiasi pintu-pintu utama klenteng. Ukiran tersebut merupakan simbol yang menceritakan tentang kehidupan manusia di Bumi. Kaki kita yang tak beralas akan menyentuh lantai tegel bermotif indah yang tak kalah kunonya.

Ketika saya memasuki bangunan utama klenteng tersebut, saya melihat dua buah kayu jati sebagai penyangga bangunan utama klenteng. Menurut cerita, kayu jati itu tidak pernah diganti sejak bangunan ini berdiri, hanya dilakukan perawatan secara berkala. Jika jeli mengamati, nampak ada beberapa sisi kayu yang rapuh karena usia.

Yang tak kalah menarik dari klenteng ini adalah goresan mural yang menghiasi dinding-dinding klenteng bagian dalam. Mural yang berwana hitam putih itu merupakan 100 panel komik Fengshen Yanyi atau dikenal dengan nama Fengshenbang yang merupakan kisah Mitologi Dewa-Dewa Taois karya Xu Zhonglin. Meskipun mural tersebut berusia sama layaknya bangunan tersebut, menariknya lukisan di dinding tersebut tidak mengalami pemudaran. Gambar-gambarnya masih nampak dengan jelas dan terlihat keasliannya.

Foto dok. pribadi penulis

Dewa utama dalam klenteng ini adalah Dewi Ma Zu atau sering disebut Mak Co. Dalam bahasa Hokkian diucapkan sebagai Thian Siang Sing Bo atau Sang Dewi Samudera atau juga Dewi laut. Maka tak heran jika klenteng ini sering didatangi oleh para nelayan yang ingin berlayar guna untuk mencari berkah dan kebaikan alam mengenai cuaca serta keselamatan selama perjalanan.

Keindahan bangunan dan cerita sejarah yang tersirat di dalamnya seolah tak pernah luntur termakan zaman. Selalu berkesan dan layak untuk diceritakan berkali-kali kepada para generasi penerus bangsa yang ingin tahu tentang nukilan sejarah masuknya bangsa Tiongkok ke Pulau Jawa ini.

Jika menurut cerita masa lampau, sungai yang berada di depan klenteng dikisahkan merupakan penghubung antara laut dan darat, maka kita pasti akan membayangkan sungai tersebut dulu berukuran sangat lebar. Lain halnya dengan keadaan sekarang, sungai tersebut hampir tidak terlihat karena mengalami penyempitan. Berbeda dengan bangunan klenteng legendaris tersebut yang masih menampakkan kegagahannya.

***

Foto dok. pribadi penulis

Rasa bangga menjadi bangsa Indonesia terbesit dalam benak. Negeri yang mempunyai beragam budaya, keindahan alam dan cerita sejarah ini membuat saya tergugah untuk menyelaminya lebih jauh. Lain daerah lain cerita, lain pula warisannya. Namun, semuanya masih ada keterkaitan satu sama lain. Saya tak sabar ingin segera melangkahkan kaki, merangkai cerita masa lampau bumi nusantara.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU