Alam selalu memberikan yang terbaik ketika kita mampu merawatnya. Ini tentang mereka,
para ‘pelestari padi’ di lereng bukit bagian selatan Taman Nasional Gunung Halimun, Kampung Ciptagelar, Sukabumi
Banyak orang dan desa-desa tertingal berusaha memperbaiki diri untuk bisa berjalan beriringan bersama modernisasi. Termasuk memperbaiki segala aspek untuk mewujudkan hal tersebut.
Namun kadang hasrat yang menggebu-gebu sering membuat mereka lupa akan jati dirinya. Aturan adat yang syarat makna di kehidupan terpatahkan oleh beberapa aturan yang mereka buat sendiri sekarang, demi mencapai kepuasan diri. Namun di sudut-sudut muka bumi Indonesia, masih ada segelintir orang ataupun sekelompok umat yang masih sangat menjungjung tinggi adat dan leluhurnya. Merekalah para kasepuhan yang tinggal jauh dari keramaian dan bersahabat dengan alam. Masyarakat Ciptagelar yang hidup dan bertingkah laku sesuai dengan aturan adat dan istiadat leluhur.
Dulunya, masyarakat Kampung Ciptagelar bermukim di wilayah Ciptarasa, kemudian pada tahun 2001, semua penduduk yang berjumlah 16.000 jiwa melakukan hijrah ke desa yang sekarang dinamakan Kampung Ciptagelar. Perpindahan tersebut bukan semata-mata karena keinginan mereka, namun wangsit dari leluhur.
Bagi masyarakat Kampung Ciptagelar sebagai keturunan Sunda, memiliki simpanan gabah dari hasil panen di lumbung padi adalah harta yang sangat berharga. Ya, padi menjadi hal yang diagung-agungkan oleh masyarakat Kampung Ciptagelar dengan segala bentuk perlakuannya. Lumbung padi mereka bernama leuit, berbentuk menyerupai rumah panggung terbuat dari kayu. Leuit bisa menampung padi 500-1000 ikat padi. Ketika seorang bayi lahir, si bayi akan diberikan hadiah berupa sebuah leuit, begitu juga untuk orang yang akan menikah.
Inilah mereka yang sangat menghargai padi dan adat dari leluhur.
Padi yang mereka tanam berbeda dari padi yang berada diperjual belikan di pasar ataupun supermarket. Mereka mengambil jenis pari pare gede, padi yang hanya panen sekali dalam setahun. Namun, hasil panenan mereka sanggup menghidupi mereka selama dua tahun. Mereka adalah masyarakat mandiri terutama soal pangan. Masyarakat Kampung Ciptagelar jarang sekali mengalami gagal panen dan leuit mereka tidak pernah kosong sepanjang tahun.
Aturan melarang pada masyarakat Kampung Ciptagelar untuk tidak menjual padi beserta olahannya. Ini merupakan bentuk penghormatan mereka terhadap padi.
Kepercayaan masyarakat Ciptagelar masih berkesinambungan dengan Hindu dan Islam. Upacara adat dan ritual-ritual masih sering mereka selenggarakan dan menjadi bagian keyakinan mereka. Padi yang mereka tanam dari awal sampai musim panen, tak pernah lepas dari serangkaian aturan adat dan ritual yang selalu dilaksanakan.
Upacara tersebut akan dilaksanakan selama 5 hari. Beberapa pagelaran seni tradisional akan digelar sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panenan. Kampung Ciptagelar sangat terbuka kepada siapa saja dan bahkan desa ini menjadi pilihan wisata budaya yang bisa dipilih selain Kampung Cibaduy ataupun Kampung Naga.
Ketika orang atau sekelompok orang berbangga hati akan kecanggihan teknologi yang mampu menjadi penguasa dunia, segelintir orang masih begitu percaya kepada alam bahwa ia akan memberikan yang terbaik di kehidupannya.