Sejak awal tahun 2020 lalu, sebuah platform penyewaan hotel asal India, OYO, dikabarkan sedang mengalami ketidakstabilan bisnis karena adanya kekeliruan dalam manajemen. Kabar tersebut diterima dari pengakuan para karyawan dan mantan karyawan yang mengundurkan diri. Salah satu buntut besar dari permasalahan ini adalah saat OYO mengalami kerugian sebesar USD 332 juta atau setara Rp 4,9 triliun pada Maret 2019 lalu.
Seperti diketahui, OYO adalah penyedia jasa layanan menginap berbasis online seperti Agoda, Traveloka, dan Booking. Namun OYO sedikit berbeda dengan platform lainnya karena mengajak pemilik hotel atau homestay yang memiliki jumlah kamar minimal enam untuk bekerja sama, dimana OYO akan mengelola akomodasi dengan dasar hospitality profesional. Singkatnya, pemilik hanya tinggal duduk manis dan menerima hasil saja.
Dengan sistem tersebut, harusnya OYO sangat menguntungkan bagi para mitra. Namun benarkah demikian? Tidak juga. Belakangan banyak muncul informasi di media sosial bahwa di balik harganya yang murah, jaringan hotel OYO dianggap menjebak mitra dan konsumen. Sebagai contoh, sistem refund yang sering gagal, harga tidak sesuai aplikasi, pembayaran kepada mitra sering terlambat, penalti Rp 25 juta jika mitra berhenti kerja sama.
Dalam artikel The New York Times tertulis, seorang chief perusahaan dan sembilan karyawan yang tidak disebutkan namanya mengungkapkan bahwa OYO telah menggelembungkan jumlah kamar dengan memasukkan daftar hotel yang tidak lagi tersedia. Selain itu, banyak hotel dan wisma yang tidak berlinsensi resmi, dan untuk mencegah penindakan tersebut, OYO memberikan suap berupa tawaran menginap gratis kepada aparat.
OYO juga membebankan biaya tambahan khusus untuk hotel-hotel dan menolak membayar penuh atas klaim masalah layanan konsumen. Tidak sedikit para mitra pemilik hotel yang mengajukan laporan ke pengadilan terhadap OYO. Karyawan yang masih bertahan pun bersuara terkait tekanan kerja yang semakin besar dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Akhirnya banyak karyawan yang resign dan mengundurkan diri.
Skandal lainnya, karyawan hotel OYO sering menggunakan kamar sebagai tempat kencan bersama pasangannya, dan baru mengizinkan tamu untuk check-in setelah mereka selesai. Pada tahun 2019 bahkan pernah terjadi perkosaan terhadap seorang tamu wanita. Kejanggalan lain menyebut jika manajer meminta karyawan memasukkan properti yang tidak tersedia dengan foto palsu untuk membuat para investor terkesan.
OYO disebut mencampuradukkan antara usaha akomodasi dan indekos sehingga mengganggu iklim industri perhotelan. Mereka memberlakukan model sistem hunian berbagi yang belum ada regulasinya di Indonesia. Akibatnya mereka tidak wajib memiliki perizinan akomodasi dan tanda daftar usaha pariwisata, serta tidak membayar pajak. Jelas ini curang dan merusak ekosistem bisnis akomodasi di Indonesia.
Banyak para pemilik hotel melati yang kemudian protes karena mengalami penurunan okupansi yang signifikan sejak adanya OYO. Mereka berharap agar pemerintah bisa melakukan penertiban jika OYO bukan untuk usaha perhotelan. Hotel melati harus mengurus perizinan dan membayar setiap tahunnya agar bisa beroperasi, sedangkan OYO bebas tanpa ada perizinan dan bebas pajak karena belum diregulasi di Indonesia.