Tahun 2018 sisa 6 bulan, tapi masih saja ada pendaki tak menggunakan akal dengan melakukan vandalisme di gunung. Seorang pendaki wanita terekam kamera tengah mencorat-coret batu di Gunung Rinjani menggunakan spidol. Geram dengan tingkahnya, video yang diunggah @dede_abdee pun viral di instagram.
Sudah bisa ditebak, netizen pun ramai-ramai meluapkan kekesalan dengan menuliskan komentar-komentar negatif. Banyak yang mencaci mulai, tak sedikit warganet yang memberi saran.
Perilaku vandalisme dan juga membuang sampah sembarangan sudah menjadi permasalahan klasik yang tak pernah absen dari dunia pendakian.
Meskipun banyak pendaki yang bukan lulusan pencinta alam, perkara menjaga keindahan alam dan tidak membuang sampah sembarangan harusnya sudah melekat di dalam diri. Rasanya, ajaran menjaga kebersihan sudah ditanamkan sejak dini.
Banyak akun instagram pendaki gunung yang peduli dengan menggencarkan jangan merusak atau pun buang sampah sembarangan. Banyak pula papan tulisan menjaga lingkungan yang terpampang basecamp atau pun pos pendakian. Kalau bukan tak bisa baca dan memahami artinya, lantas apa tujuan melakukan vandalisme?
Sebuah jurnal berjudul “Vandalism, Why Do People Do It?” mengungkapan bahwa vandalisme dilandasi atas perasaan negatif seperti balas dendam, kemarahan, kebosanan, dan frustrasi. Namun, perilaku merusak tersebut juga disebabkan oleh keingintahuan, kesenangan, dan bermain-main di mana 80%-90% pelaku vandalisme adalah seorang pria.
Jika mengamati vandalisme yang dilakukan pendaki wanita di video tersebut, sepertinya ia ingin mencari kesenangan semata. Ya, apapun alasannya, vandalisme tak bisa dibenarkan. Si pelaku harus mendapatkan teguran dan edukasi agar tak lagi lakukan hal yang sama.
Namun, merekam video si pelaku lalu memosting di sosial media pun bukan hukuman yang baik. Jika menemui hal seperti ini, baiknya didekati dan diperingatkan. Kalau pun si pelaku masih bersih keras tak mau menghentikan aksinya, laporkan saja kepada petugas. Dengan demikian, pelaku akan memperoleh keadilan dari para petugas Taman Nasional.
Mengunggahnya ke media sosial memang menjadi tren baru untuk “menghukum” pelaku. Dampak baiknya, pelaku akan jera, malu, dan mungkin tak melakukan tindakan vandalisme di gunung lagi. Namun, di sisi lain, si pelaku akan merasa terancam dengan adanya cyberbullying. Mengerikannya, cyberbullying bisa menekan pelaku dan bertindak nekat, misalnya dengan mengakhiri hidupnya.
Jadi, pelajaran terbaik bagi para perusak lingkungan di gunung yaitu dengan melaporkannya kepada pihak berwenang agar pelaku mendapatkan edukasi yang lebih baik tentang menjaga lingkungan. Bukan mengunggah videonya di sosial media lalu “menghakimi” secara masal.
Sebagai tambahan, mengacu pada UU No. 11 Th. 2010 tentang Cagar Budaya pasal 105 yang menjerat para pelaku vandalisme ini, pelaku bisa dikenakan denda hingga maksimal Rp5 miliar.
¨Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)5 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).¨