“Kamu ini jalan-jalan terus, seperti nggak punya tujuan hidup yang jelas aja. Cuma ngabis-ngabisin duit.”
Pernah mendapat sindiran seperti itu? Saya pun. Sebagai seorang yang sangat hobi traveling dan adventure, saya kerap mendapat sindiran dari orang-orang di sekitar, sampai kebal rasanya telinga ini.
Untuk kamu yang sering mengalami menjadi korban seperti hal diatas dan juga untuk kalian juga yang suka mencap orang seenaknya, tulisan ini semoga membuka pikiran kalian.
Bagi saya, menjalani hidup dengan bebas, melakukan hal yang disuka adalah tujuan hidup saya. Pergi dari destinasi satu ke destinasi lain, melanglang buana demi mendapat kepuasan. Kami bahagia melakukannya. Entah mengapa kalian begitu mempersoalkan tujuan hidup kami, tiap orang memiliki pandangan berbeda tentang apa yang disebut ‘tujuan hidup’ bukan? Kami pun tak terlalu peduli dengan tujuan hidup kalian hai para ‘penunggu rumah’.
Saya pribadi, lebih suka menghabiskan waktu saya di luar rumah. Kadang saya justru memilih untuk pergi traveling dibandingkan pulang ke kampung halaman. Tentu saya cinta keluarga, namun saya hanya tak bisa tinggal lama di dalam rumah. Sesimpel itu.
Tidak tidak, tidak sekadar ingin menjelajahi tempat-tempat populer itu dan memamerkannya ke sosial media, lebih dari itu. Menjelajahi tempat-tempat baru, menemukan teman baru, pengalaman baru, menikmati keindahan alam, bagi saya sudah menjadi sebuah kebutuhan. Pernah lapar karena tak makan? Seperti itulah rasanya saat hasrat traveling sedang mencapai puncaknya.
Hal yang paling saya nikmati saat traveling adalah proses menemukan tempat yang sama sekali tidak saya ketahui letaknya. Proses pencarian tersebut selalu menyenangkan.
Seperti saat itu, ketika saya mencari Pantai Soge di Pacitan, jarak yang seharusnya 96 km, menjadi 150 km karena kami tersesat kesana-kemari, atau ketika mencari Pantai Wedi Ireng, yang untuk mencapainya saya harus menunggu air laut surut agar bisa menyeberang. Sebenarnya bisa saja naik perahu untuk sampai kesana dengan biaya Rp 50.000, namun saya memilih untuk jalan kaki saja agar hemat biaya sekaligus perjalanan ini menjadi lebih bermakna. Setelah air laut surut saya menyeberang dan kemudian mendaki melewati kebun warga dan hutan. Jarak yang harus ditempuh sekitar 1 km.
Capai sih, tapi begitu menemukan tempat yang dicari, semua rasa capai itu akan terbayar lunas kok.
Traveling mengajarkan saya untuk menghargai sebuah proses
Sebelum saya secinta ini pada traveling, jujur saja, saya rasa saya kurang menikmati hidup. Hari yang monoton dan kegiatan yang itu-itu saja membuat saya menjadi mudah stres.
Suatu ketika saya ditegur seorang teman yang hobi backpacking, dia berkata “Apa gunanya hidup untuk galau? Hidup cuma sekali, kita harus bersenang-senang. Nikmati”
bisa dibilang karena dia pulalah saya ‘terjerumus’ pada dunia ini.
Ketika traveling saya tidak pernah berpikir kalau saya hanya membuang-buang uang. Bagi saya, hidup itu harus bahagia. Dan inilah cara saya mendapat kebahagiaan itu.
Sekarang, saya sangat menikmati hidup saya.
Percaya tidak percaya, tapi ketika duduk di alam terbuka, baik itu di puncak gunung maupun di pantai saya merasa pikiran menjadi sangat ringan. Itulah mengapa ketika saya menghadapi masalah yang saya rasa tidak dapat saya temukan jalan keluarnya, saya memilih untuk jalan-jalan ke alam terbuka. Alam bebas selalu sukses menjernihkan kepala saya. Ketika pikiran jernih,kita akan menjadi lebih mudah menemukan solusi yang mungkin sebenarnya ada di depan mata, namun tak pernah kita sadari karena terlalu ruwetnya isi kepala kita.
Dan saat duduk di puncak gunung, seringkali berkelabat pemikiran-pemikiran tentang hidup, “Siapa sih saya ini? Ternyata saya hanyalah seorang mahluk kecil di tengah alam yang besar ini.”