Jalan-jalan ke Luar Negeri Atau Keliling Indonesia? Perdebatan yang Tak Perlu

"Pada akhirnya saya menyadari, traveling itu bukan tentang destinasi wisata, jalan-jalan ke luar negeri atau keliling nusantara."

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Mercusuar di Pulau Lengkuas, Belitung. Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

Kenapa sih harus jalan-jalan ke luar negeri? Indonesia itu indah lho..

Pertanyaan di atas kerap menjadi awal perdebatan klasik kenapa harus traveling ke luar negeri, kalau Indonesia saja begini indahnya. Ada juga yang bilang “Saya cinta Indonesia jadi saya lebih memilih keliling Indonesia” dan ada yang berpendapat “Jalan-jalan keliling Indonesia dulu lah, baru ke luar negeri.” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan terus bergulir dan dipertanyakan jika terus saja membahas tentang destinasi.

Ada lagi yang bilang, “Saya nasionalis, jadi lebih memilih jalan-jalan keliling Indonesia.”

Hei, traveling itu bukan tolok ukur nasionalisme seseorang. Bagaimana kita bisa tahu seberapa tinggi nilai nasionalisme seseorang jika hanya melihat daftar destinasi wisata mereka? Belum tentu orang yang sering ke luar negeri tak nasionalis.

Seperti yang dilakukan Adis travel blogger WhateverI’mBackpacker. Dia yang sudah sering keliling di berbagai negara Asia mengaku sering menceritakan keindahan Indonesia pada orang asing yang ia temui selama jalan-jalan. Hal sepele yang dilakukan Adis ini merupakan bagian meningkatkan promosi wisata, memperkenalkan Indonesia. Semakin banyak dikenal luas, semakin banyak yang akan berkunjung ke Indonesia.

Kita pasti setuju kalau Indonesia lebih Indah dari Singapura. Tapi, kenapa Singapura negara yang cuma sekecil ‘upil’ itu mempunyai jumlah kunjungan wisata yang lebih besar dari Indonesia? Tahun 2015, total kunjungan wisatawan mancanegara di Singapura sebesar 16,1 juta wisatawan mancanegara. Sedangkan negara kita ini hanya memperoleh 10 juta wisatawan mancanegara. Tanya kenapa? Karena fasilitas dan transportasi mereka lebih maju. Selain itu, kemajuan infrastruktur jugalah yang mendukung segala kemudahan wisata di sana. Karena Banyak orang mencari kenyamanan dan kemudahan liburan.  Jalan-jalan di Singapura memang nyaman. Tak ruwet dan bebas dari lalu lalang sepeda motor yang berjalan sembarangan. Kota mereka tertata rapi dan bersih. Saat berada di sini, sering terlintas di benak saya, bagaimana agar Indonesia juga bisa seperti ini?

Hal serupa pernah di alami oleh Trinity. Penulis buku The Naked Traveler itu menuliskan di salah satu bagian ceritanya bahwa turis asing berbondong-bondong mengikuti tur perjalanan hanya untuk melihat pohon pisang di salah satu obyek wisata di Puerto Rico. Iya benar, pohon pisang! Orang-orang begitu terlihat antusias melihat pohon pisang. Sedangkan bagi kita, pohon pisang ya hanya sebuah pohon pisang. Bukan hal yang istimewa. Pohon yang mudah kita jumpai di halaman belakang rumah. Belum terpikir menjadikan itu obyek wisata yang bisa menarik turis asing.

Menjadikan traveling sebagai sarana pembelajaran

Bersantai di depan Raffles Place Park Singapura. Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

Salah satu alasan saya tertarik untuk jalan-jalan ke luar negeri pada awalnya karena ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Saya begitu semangat ketika berbincang dengan turis asing yang saya temui di perjalanan. Selain menambah kosakata dan kelancaran bahasa Inggris, saya jadi mempunyai banyak teman. Bertukar budaya dengan saling berbagi cerita menjadi hal seru. Tak jarang dari cerita-cerita itulah, saya jadi tertarik untuk mengunjungi negara tempat mereka tinggal.

Tapi, ternyata saya tidak sepenuhnya tepat, tentang mengenal budaya dan bahasa baru hanya bisa dilakukan di luar negeri.

Perjalanan ke Bangka dan Belitung memberikan pencerahan tentang makna traveling yang sesungguhnya, traveling sebagai sarana pembelajaran.

Suatu waktu saya mengunjungi salah satu penangkaran tukik di daerah Bangka Barat. Penangkaran tukik tersebut dijaga oleh seorang kakek berumur sekitar 60 tahunan. Namanya pak Husin. Berbincang dengan pak Husin sama tak mudahnya seperti berbincang dengan turis asing. Saya harus benar-benar mendengarkan kalimat per kalimat yang beliau ucapkan. Kenapa? Karena beliau masih kesulitan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Di sela-sela kalimat, sering kali dia berucap dialek lokalnya.

Bertemu dan berbincang dengan Pak Husin merupakan suatu keberuntungan. Meskipun sebelumnya sudah mengetahui jika Indonesia ini kaya akan bahasa, namun beliau menyadarkan saya bahwa belajar budaya dan bahasa tak harus ke luar negeri. Indonesia itu unik.

***

Pada akhirnya saya menyadari, traveling itu bukan tentang destinasi mana yang lebih baik; jalan-jalan ke luar negeri atau keliling nusantara. Traveling juga bukan menjadi acuan seberapa besar nasionalisme kita kepada negeri tercinta ini. Bagi saya sekarang, traveling adalah tempat saya untuk belajar, kemanapun saya melangkah.

Traveling is the best way to learn. Jalan-jalan ke luar negeri membuat saya belajar bahwa Indonesia masih harus banyak berbenah, dan sarana mengenalkan Indonesia pada orang asing. Sementara saat saya menginjakkan kaki mengunjungi tempat-tempat wisata di Indonesia, saya belajar lebih mencintai setiap ‘cuilan surga’ negeri ini.

Baca Juga:

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU